Paris Suaranusantara.co – Grup konglomerat LVMH berpusat di Paris dan menaungi banyak rumah mode ternama dunia, seperti Louis Vuitton, Givenchy, Fendi, Dior, dll. Mereka mengumumkan langkah untuk menempuh cara lebih berkelanjutan dalam rangka memperhatikan lingkungan sekitar.
Program ramah lingkungan itu di lakukan dengan menjual sisa-sisa produksi bahan pakaian yang lewat website di online marketplace. Material yang di tawarkan adalah kain dan kulit. Inisiatif perusahaan ini merupakan alternatif bagi para desainer dan label muda.
Sehingga mereka dapat menciptakan karya dari material berkualitas tinggi dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan demikian juga dapat menjadi nilai tambah karena limbah-limbah material bekas tersebut dapat tersalurkan dengan baik.
Aturan Baru
Selain jual-beli bahan sisa produksi, LVMH kini merencanakan pengesahan aturan baru. Yakni melarang para brand ternama membakar atau membuang produk-produk mereka yang belum terjual. Agar para rumah mode dan label terlibat lebih memilih opsi untuk melakukan teknik upcycling dan menjual sisa-sisa produksi.
Kabarnya, limbah sisa produksi berupa kain menghabiskan biaya di industri mode sebesar 120 milliar USD setiap tahunnya seperti yang di rilis oleh Queen of Raw.
“Telah lama inventaris sisa produksi yang di buang begitu saja menjadi isu besar yang tak terlalu di perhatikan oleh banyak orang,” kata Stephanie Benedetto, salah satu pendiri Queen of Raw, kepada Business of Fashion. “Hal ini tentu tidak ideal untuk banyak orang dan planet kita, dan turut memengaruhi profit perusahaan.”
Selain LVMH, situs online marketplace TheRealReal turut merilis koleksi bertajuk ‘upcycled‘ yang menggunakan bahan dasar kain-kain bekas dan pakaian bekas.
Program bertajuk ‘ReCollection‘ tersebut akan merilis 50 pakaian pertama yang di donasikan dari label-label seperti Balenciaga, Dries Van Noten, dan Stella McCartney.
“Ini hanya permulaan,” ucap Allison Summer, direktur yang bertanggung jawab terhadap insiatif TheRealReal dalam menjalankan program ini. “Kami melihat banyak inventaris yang berakhir menjadi stok yang mati. Sehingga kami merasa sebaiknya stok-stok tersebut di olah kembali menjadi koleksi yang baru.”