Jakarta, Suaranusantara.co – Kesimpulan kemiskinan sebagai akar kejahatan tidak sepenuhnya benar jika menjadikan Indonesia sebagai contoh kasus. Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah. Surga bagi kandungan nikel, emas dan kekayaan laut. Sudah banyak data yang menunjukkan fakta-fakta tersebut.
Dengan modal seperti ini sepatutnya Indonesia tidak tertatih-tatih dalam melaksanakan tujuan bernegara yang di antaranya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Tetapi apa daya, selama negara berdiri, pelaksanaan misi tersebut masih jauh panggang dari api.
Kejahatan kerah putih tumbuh subur di Bumi Pertiwi. Money laundering, illegal logging, terorisme, maupun jenis kejahatan transnasional lainnya ditemukan di Indonesia. Tak terkecuali korupsi yang masif terjadi dari level desa hingga pemerintah pusat. Banyak pula data yang telah menunjukkan fakta ini.
Menarik untuk menjadikan persoalan-persoalan tersebut sebagai wacana untuk memastikan apakah posisi Indonesia sudah seperti yang dibayangkan pahlawan bangsa. Para founding fathers menyoal pentingnya bangsa Indonesia menjadi merdeka dengan beragam diskursus. Terdapat proses panjang yang mengiringi perjalanan bangsa sebelum proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Proses memerdekakan bangsa dilanjutkan dengan mendirikan Republik harus melalui banyak tahap. Termasuk bagaimana merumuskan konsensus dasar berbangsa dan bernegara. Namun apa lacur, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai ideologi dan semboyan pemersatu belum membumi dan dipraktikkan sebagaimana mestinya oleh pemangku kepentingan.
Pancasila dan kebinekaan kita masih berada pada tataran lip service. Penyelenggara negara melanggar sumpah jabatan, politik transaksional tak terhindari. Sementara rakyat selalu menjadi korban dari penyelewengan aparatur negara maupun pejabat publiknya yang bertindak lalim.
Disadari atau tidak, lemahnya praktik nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan membawa dampak kerusakan besar bagi negara. Rezim kehilangan kepercayaan dari rakyat, hukum tidak berdaulat dan rentan menjadi komoditas. Kesenjangan sosial, dekadensi moral hingga kekerasan terhadap kelompok minoritas masih mengisi ruang-ruang kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Negara yang dijalankan oleh roda pemerintahan selalu gagap menjawab tantangan zaman. Contoh termutakhir dapat dilihat dari penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air yang sudah merenggut lebih dari 139.000 jiwa. Pemerintah lamban menangani pandemi yang sejak awal sejatinya dapat diprediksi. Termasuk tidak cekatan mengatasi dampak tambahan yang mengiringi.
Proses Panjang
Pancasila sebagai ideologi negara sudah sepatutnya menjadi standar yang harus dijalankan penyelenggara negara secara konsisten di berbagai level. Celakanya dibutuhkan proses panjang untuk memastikan sejauh mana ideologi ini kekal dan abadi. Kita turut menjadi bagian proses panjang ini.
Konsistensi melaksanakan Pancasila terdengar normatif tetapi esensial dan relevan dalam setiap zaman. Dengan menerapkan Pancasila dan semangat kebinekaan yang konsisten, korupsi dan kejahatan lain di Indonesia niscaya dapat ditekan.
Demikian pula kasus-kasus intoleransi yang rupanya hingga kini masih menjadi tantangan tersendiri. Artinya para pejabat publik memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan misi bernegara tercapai sekaligus dalam mengimplementasikan dasar-dasar bernegara, tanpa harus merasa Pancasilais apalagi antikritik.
Tidak cukup hanya menempatkan logo burung garuda di setiap instansi, tetapi pemimpin lembaga harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan adminstrasi pemerintahan. Sebab pelaksanaan Pancasila tidak cukup dengan menghafal setiap sila atau melaksanakan apel upacara oleh instansi pemerintah.
Penerapan Pancasila harus diiringi pemahaman atas konsekuensi yang timbul dari pelanggaran setiap sila yang ada. Mari lihat semangat peraturan klaster pertambangan dan aturan lainnya dalam UU Omnibus Law. Terdapat ruang besar untuk memperdebatkan di mana semangat Pancasila dan kebinekaan yang dijalankan oleh penyelenggara negara.
Belum lagi hasil revisi UU KPK yang dipaksakan hingga menimbulkan reaksi keras dari elemen masyarakat dan mahasiswa. Semua ini sudah cukup merefleksikan lunturnya nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan dalam peraturan perundang-undangan yang dirancang penyelenggara negara. Maka timbul tudingan beleid disusun untuk kepentingan kelompok, bukan rakyat luas.
Mempraktikkan semangat Pancasila dan kebinekaan bukan perkara mudah. Indonesia memiliki pekerjaan besar untuk memastikan ideologi Pancasila tercermin dalam roda pemerintahan. Sebab ideologi bukan sebatas knowledge tetapi menjadi value. Seluruh elite dan pemangku kepentingan harus menunjukkan value itu.