Depok, Suaranusantara.co, PT Diandra Teknologi Indonesia (DTI) dipertemukan kepada pimpinan Bakamla RI yang hendak merealisasikan Human Resource Management System (HRMS) project yang terintegrasi dengan sistem manajemen Check-In/Check-Out HRD.
Dari hasil preliminary meeting dan kunjungan ke lokasi (survey) diperoleh informasi bahwa kebutuhan teknis Bakamla RI adalah HRMS CI/CO development, interior design (meeting room, interview toom, class room) dan pembuatan manual berupa video profile.
Didi Nurisky alias Reza mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak menjadi leader karena telah memperkenalkan PT DTI kepada Bakamla RI.
Namun dalam pertemuan selanjutnya yang membahas perihal teknis, hanya team member DTI saja yang mempresentasikan proposal dan rencana kerja sesuai kebutuhan Bakamla (klien) dalam hal pengembangan software, yang nantinya diintegrasikan sistem dan bangunan gedung pengelola (manajemen) dan network security system.

Reza tidak memiliki latar belakang di bidang IT maupun interior design, sehingga tidak menguasai permasalahan maupun solusinya.
Demikian halnya dengan Esti (istri Reza) yang meminta agar materi desain interior dipresentasikan oleh rekan tim, sementara presentasi video profile yang (dibuat oleh rekan yang direkomendasikan oleh Reza) tampilannya mengejutkan karena tidak relevan dengan kebutuhan.
Setelahnya baru diketahui bahwa Esti tidak memiliki skill yang dibutuhkan dalam pengerjaan desain interior dan tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengoperasikan komputer sehingga tidak bisa menggambar desain menggunakan 3D dan tidak bisa membuat presentasi.
Esti hanya menggambar layout ruangan menggunakan coretan pensil–yang tidak mungkin dipresentasikan di hadapan Tim Bakamla RI–apalagi di hadapan 2 pejabat penting yang didampingi Litbang.

PT DTI membantu mempersiapkan materi presentasi berisi slide desain interior 3D HRMS Bakamla RI yang dibuat atas bantuan seorang arsitek profesional. Keputusan ini menjadi masalah ketika Reza dan Esti tidak mau membayar tagihan dari arsitek tersebut.
Ketika harus mengajukan proposal yang telah direvisi, Reza tidak dapat menghitung cost guna untuk quotation dan tidak dapat membuat draft kontrak.
Namun ketika PT DTI selesai menghitung dan memperkirakan nilai project sekitar Rp 1,4 milyar, Reza tiba-tiba bersikeras bahwa dirinya yang harus menandatangani quotation atas nama PT DTI.
Reza telah diingatkan tentang Perpres No.16 Tahun 2019 yang mengatur bahwa proyek dengan nilai di atas pagu Rp 200 juta harus dilaksanakan lewat tender. Namun Reza tidak paham mekanisme pengerjaan proyek pemerintah, sehingga tidak bisa memberikan kontribusi selama proses teknis pembuatan proposal yang seharusnya dibuat berdasarkan TOR dan melibatkan Litbang Bakamla RI.
Waktu pengajuan sudah sangat mendesak, sehingga tidak memungkinkan pengerjaannya dapat dilakukan pada akhir tahun. Ketika salah seorang anggota tim mengundurkan diri dari project tersebut, pengunduran ini disalahartikan, sehingga muncul sengkarut masalah.
Reza yang ketika itu mengaku sebagai Bendahara PB Kota Depok, menjanjikan perputaran modal usaha PT DTI melalui Ketua DPD PB, Aditya Baramuli. Dana PT DTI dialihkan oleh Reza yang mengaku sebagai Ditektur perusahaan, padahal namanya tidak tercantum secara resmi dalam legalitas perusahaan.