Oleh: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah setelah selesai melakukan investigasi dan memberikan beberapa rekomendasi kepada Presiden Jokowi, terkait evaluasi secara menyeluruh terhadap persepakbolaan nasional.
Penyampaian laporan TGIPF ini termasuk pertimbangan karena banyak hal dalam tata kelola sepak bola di Indonesia yang belum memerhatikan hak asasi manusia (HAM) yang sesuai peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana disampaikan oleh seorang pakar hukum pidana dan HAM, Dr. Mohammad Arqon, dari Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, HAM di Indonesia diatur dalam Piagam HAM, yang diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Pelaksanaannya pun harus selaras dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB dan Deklarasi HAM. Sementara sifat pelanggaran HAM berat adalah adanya perintah (komando), adanya senjata, dilakukan secara sistematis, meluas dan umumnya dilakukan oleh aparatur.
Investigasi TGIPF
Tragedi Kanjuruhan menelan korban sekitar 132 jiwa, usai pertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (01/10). Kerusuhan ini tidak hanya menjadi perhatian publik dalam negeri saja, tapi sudah menjadi sorotan dunia internasional. Tragedi Kanjuruhan termasuk ‘3 besar bencana sepak bola’, setelah bencana kemanusiaan serupa terjadi di Lima, Peru (1964) dan Ghana (2001).
Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) berdasarkan Kepres Nomor 19 Tahun 2022. TGIPF ditetapkan pada 4 Oktober 2022, dipimpin oleh Menko Polhukam, Mahfud MD. Laporan hasil investigasi setebal 124 halaman selesai lebih awal pada Jumat (14/10) atau 14 hari setelah insiden. TGIPF meyakini bahwa penyebab ratusan korban berjatuhan adalah karena adanya gas air mata dan yang menembak adalah aparat. Padahal FIFA sudah melarang penggunaan gas air mata ini.
TGIPF menyatakan bahwa PSSI tidak melakukan sosialisasi dan prakondisi terkait pelatihan yang memadai terkait regulasi FIFA dan PSSI kepada pihak penyelenggara pertandingan. Sehingga TGIPF merekomendasikan Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif agar mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. TGIPF pun meminta pihak pihak yang terbukti bersalah menjalankan proses hukum pidana.
Mengapa masa kerja TGIPF amat pendek?
Menurut penilaian pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, sejauh ini belum ada yang sepenuh hati menggubris rekomendasi TGIPF terkait tragedi kanjuruhan.
Padahal kasus ini seharusnya sudah terlihat sebagai peristiwa nasional yang harus ada tindak lanjutnya. Fickar menyoroti pengurus PSSI yang belum ada yang mengundurkan diri. Selain itu, belum ada pernyataan bahwa pihak kepolisian akan mematuhi semua rekomendasi TGIPF. Menurutnya, polisi mestinya memiliki kemampuan untuk mengusut para pihak terkait, seperti panitia penyelenggara, pengurus PSSI, dan penanggung jawab keamanan. termasuk aparat kepolisian.
TGIPF menjalankan tugas sejak awal Oktober 2022, dan berhenti bekerja sejak 30 Oktober 2022. Ini sesuai atau berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2022 yang menyatakan masa kerja TGIPF hanya 30 hari. Dengan demikian, TGIPF tidak dapat lagi memantau perkembangan pengungkapan kasus Kanjuruhan ini. TGIPF juga tidak dapat mengevaluasi atau memastikan bahwa semua pihak terkait mematuhi dan menjalankan semua rekomendasi yang mereka ajukan.
Case Study dan Diskusi perkuliahan Hukum dan HAM : Lailatul Jannah, Johanes Steven Immanuel, Monica Sari, Jane Latifarah, Mardiana Saraswati, Nauefal Ardiansyah, Rifdah Syarifah dan Nikita Tyas.