Opini: Charles Jama
(Alumni 1997 SMA N 2 Langke Rembong)
Ruteng. Suaranusantara.co – Artikel ini hadir sebagai bentuk apresiasi dan refleksi estetika pendidikan di SMAN 2 Langke Rembong.
Tahun ini tepatnya November 2023 SMA N 2 Langke Rembong merayakan panca windu. Sebuah perayaan syukur karena selama empat puluh tahun lembaga pendidikan ini telah melahirkan manusia yang merdeka.
Merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan berpikir, merdeka dalam merayakan pendidikan dan merayakan ekspresi estetik.
Mereka yang lahir dari lembaga pendidikan ini telah menjadi aktor mundi, mereka bukan sekadar pesiarah di muka bumi Nuca Lale.
Mereka telah menjadi dian peradaban di berbagai pelosok negeri ini.
Bukit Pengetahuan yang Kokoh
Dalam rentangan perjalanan pendidikan di Manggarai, SMA N 2 Ruteng sekarang dikenal dengan SMA N 2 Langke Rembong menjadi salah satu tiang pengokoh dan penyokong dunia pendidikan.
Sekolah ini menjadi ujung tombak dalam menjalankan perintah Undang-Undanga Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagi insan pendididikan di Manggarai, sekolah ini dulunya dijuluki “perguruan di atas bukit” alias sekolah eta poco (bersekolah di gunung). Ya, karena letaknya di bukit di bawah kaki gunung Poco Likang.
Di bukit inilah ribuan manusia telah dibimbing. Prestasi-prestasi dalam bidang akademik ditorehnya.
Dari sekolah ini lahir orang-orang bertalenta baik di bidang seni, olah raga, maupun para religius sehingga sekolah ini juga dijuluki Seminari Negeri 2 Ruteng, menurut bapak Willy Grasias guru agama Katolik waktu itu.
Sekolah ini juga melahirkan birokrat dan politisi hebat, juga lahir pengusaha-pengusaha sukses dan para religius imam dan suster.
Sekolah yang berada di bukit ini telah menjadi menara tempat meneropong masa depan. SMAN 2 Langke Rembong menjadi mercusuar pengetahuan dan menjadi kompas pendidikan masa kini.
Sebelum lahirnya kurikulum merdeka, sekolah ini telah menerapkan kurikulum merdeka.
Para guru yang hebat dan humanis meskipun terkadang cukup keras dengan siswanya, memberi kebebasan dalam menekuni minatnya.
Yang berminat olah raga diperhatikan secara baik dengan menyiapkan jam khusus untuk pembinaan olah raga.
Pada waktu itu, barangkali sekolah ini yang memiliki guru olah raga dengan bidang ilmu yang sesuai. Beberapa siswanya menjadi atlet terbaik di Kabupaten Manggarai dan Nusa Tenggara Timur.
Bagi siswa yang memiliki bakat di bidang seni dibina secara profesional oleh guru yang mumpuni. Salah satu murid sekolah ini pernah mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam ajang Bahana Suara Pelajar di Tingkat Nasional yaitu Yance Andur.
Siswa yang memiliki kecerdasan lain juga dibimbing secara baik dalam waktu-waktu tertentu, sesuai jadwal. Sekolah di bukit ini, menggali secara serius kompetensi yang ada pada siswanya. Aspek kognitif, psikomotorik, afektif selalu diperhatikan dalam setiap pelajaran.
Perpustakaan sekolah selalu dikunjungi oleh siswa-siswi yang enggan dengan pelajaran tertentu.
Tidak ada paksaan serius terhadap siswa oleh guru-guru ketika siswa mengalami kejenuhan yang akut. Guru hanya memberi motivasi dan orientasi terhadap kebutuhan siswanya.
Boleh dibilang, merdeka belajar telah tumbuh benihnya di SMAN 2 Langke Rembong.
Selalu ada konversi dan konpensasi terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar pada bidang-bidang tertentu. Dengan catatan memiliki kecerdasan lain untuk masa depannya.
Satu pertanyaan filosofis yang dilontarkan oleh guru-guru sekolah di atas bukit, terhadap siswanya. Mengapa manusia harus belajar? Pertanyaan ini, selalu menjadi bahan refleksi siswa-siswi dalam diskusi, baik sebelum maupun setelah pelajaran bahkan di luar jam pelajaran.
Berbagai respon dilakukan oleh siswa-siswi di atas bukit ini, terhadap pertanyaan di atas. Yang jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) kerap membawa buku-buku eksata. Dalam ukuran siswa saat itu adalah sesuatu yang mengagumkan dan membanggakan jika memiliki buku bacaan. Buku-buku ini entah diperoleh dengan cara meminjam atau warisan dari kakak kelas sebelumnya. Bagi mereka yang terpenting adalah mendaki ke bukit untuk menimba pengetahuan kemudian pengetahun yang diperoleh itu menjadi benih dan disemaikan di segala penjuru.
Siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Bahasa mengekspresikan pertanyaan itu dalam relasi sosial dan komunikasi yang interaktif. Tidak heran mereka menjadi orang yang cerdas dalam bidang politik maupun menjadi pengusaha yang sukses. Melalui pertanyaan di atas, dalam konteks pendidikan multikultural merupakan upaya dalam menjaga kesetaraan dan keseimbangan (equility and balance).
Konsentrasi pendidikan bukan hanya tentang mencapai target nilai tertinggi dalam setiap mata pelajaran. Akan tetapi menuju pada kesadaran tentang kesetaraan dan keseimbangan sebagai manusia yang belajar. Hal inilah yang direfleksikan oleh siswa-siswi dari jurusan IPS dan Bahasa.
Pertanyaan filosofis di atas adalah cara agar siswa-siswinya menyadari diri sebagai manusia. Pertanyaan ini menimbulkan kekuatan dalam diri mereka yang belajar di atas bukit pengetahuan ini. Mereka mampu memandang objek yang ada di depannya. Memahami diri siapa aku sebenarnya.
“Perguruan di atas bukit ini” menjadi akar peradaban dan pembentuk kebudayaan. Di bukit pengetahuan ini multikulturaisme dan pluralisme ditanam dan dirawat dengan baik oleh guru-gurunya.
Di bukit inilah bunga bermekaran dan mutiara-mutiara pembangunan dihasilkan. Di bukit pengetahuan yang kokoh ini setiap individu dihargai dan sekaligus bertanggungjawab terhadap dirinya.
Bukit Humanisme Melawan Homo Homini Lupus
“Konco (sapaan akarap siswa di sekolah ini) sa su bayar tadi kuenya”. Ole..begitu kah, terimakasih e konco. Kalau saya ada uang nanti sa ganti bayar. Ole, jangan begitu e konco”.
Begitulah kisah di kantin Opa Alo bagi siswa-siswi di sekolah ini.
Saat pulang sekolah pun demikian, tiba-tiba saja ada yang sudah membayarkan angkutan kota. Meskipun lebih senang berjalan kaki untuk menikmati masa remaja, kisah kasih di sekolah.
Poses pendidikan di SMA N 2 Langke Rembong merupakan jalan kritis terhadap potensi manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Dalam kegiatan pembelajaran, target utama pendidikan di sekolah ini adalah tentang humanisme. Sekolah ini berusaha untuk memadatkan esensi cita-cita pendidikan yaitu kemanusiaan dalam hidup bersama.
Sekolah di bukit ini menyadari betul tentang bahaya di masa depan, yaitu manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Karena itu penting membangun kesadaran kebersamaan. Hal ini untuk pertama, menghindari kemampuan akal budi manusia yang terbatas dalam menghadapi disharmoni. Kedua, menetralisir kecenderungan sikap patriarki pada manusia dalam mengeksploitasi alam akibat kuatnya rasionalisasi. Ketiga, menguat pada konsep kebenaran terutama kapitalisasi dunia pendidikan.
Terhadap tiga hal ini, saya menemukan upaya humanisasi sekolah dalam mendidik siswa-siswinya. Saya jarang mendengar teman-teman yang secara ekonomis mengalami kesulitan diusir dari sekolah. Misalnya, karena tidak membayar uang sekolah.
Sekolah ini, menyadari peran pendidikan seni atau olah raga maupun bidang lainnya dalam penguatan humanisme bagi siswa-siswi.
Estetika pendidikan menjadi asupan dalam mengatasi dehidrasi berpikir siswanya. Proses pembelajaran di kelas memberi kebahagiaan meskipun selalu saja ada duri yang bercampur garam menusuk pori-pori hati. Atau bahkan cuka dicucukkan pada luka kemalasan.
Bagi siswa-siswi itu semua akan berujung pada kebaikan. Semuanya karena cinta, hampir tidak terdengar persoalan hukum akibat memberi hukuman kepada siswa.
Dalam konteks pendidikan yang kekinian, memang benar bahwa kekerasan terhadap anak tidak boleh ada. Begitulah esensinya estetika pendidikan dalam humanisme melawan homo homini lupus.
*Penulis: Alumni 1997. Saat ini bekerja sebagai Dosen Seni dan Koordinator Prodi Magister Ilmu Linguistik Program Pascasarjana Univetsitas Nusa Cendana, Kupang.