Kupang, Suaranuantara.co – Para ariolis (peramal) hingga hari ini masih di rujuk untuk menentukan langkah apakah yang tepat di ambil untuk kepentingan politik ke masa depan. Bahkan ada di antara kita mengakui kecanggihan analisa para ariolis ini karena di yakini ramalan mereka selalu nyaris tepat.
Maka otoritas kaum ariolis di jaga secara empirik, di akui secara teologis. Bahkan di masuk-akalkan secara rasional. Lambat laun juga ramalan mereka kemudian mendorong kliennya menghalalkan segala cara.
Bagaimana nasib umat manusia di masa depan? Bagaimana pula Indonesia di hari esok, atau bagaimana kiranya nasib NTT di tahun 2021? Pertanyaan-pertanyaan itu, bukan saja menarik karena memberi harapan dan arahan, tetapi yang lebih menarik justru jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut memberi prediksi, ramalan, nujum atau bahkan khayalan murni.
Sekadar reminding
Dahulu kala, pertanyaan tentang bagaimana nasib masa depan manusia atau satu bangsa selalu menggoda para ahli nujum, ahli ekonomi,sosial dan politik. Untuk menentukan kemungkinan terbaik di masa depan.
Dahulu kala bermacam cara di pakai para ariolis untuk membayangkan rona masa depan. Cara-cara itu, misalnya, memperhatikan tingkah laku kambing di padang penggembalaan. Atau kelakuan anjing penjaga rumah. Ada juga yang memakai kartu remi untuk meramalkan nasib hidup orang, termasuk melihat limbah atau ampas kopi di gelas yang sudah di minum.
Ada pula orang yang memperhatikan dan mencermati siulan burung nuri yang di siksa pemiliknya dalam kerangkeng. Hingga burung itu tak sanggup pergi jauh sebagaimana keharusan habitasinya. Jika pemilik burung sadar bahasa burung, mungkin saja siulan burung nuri itu adalah sejenis jeritan batin. Karena di kurung seturut suka pemilik burung.
Sampai hari ini pun ada praktek ariolis di kebudayaan kita. Masih ada di antaranya yang mempercayai masa depan di tuntun dan di tentukan setelah menilik urat ayam putih atau hati babi. Para politisi kerap kembali ke juru ramal untuk menentukan kemungkinan kemenangannya dalam politik elektoral. Para peramal itu biasanya laris manis saat-saat musim politik tiba, entah itu untuk Pilkada atau Pileg.
Ada pula di antara para peramal itu yang membisniskan ramalan untuk sekadar mendapat rokok gratis, uang transportasi dan bahkan untuk belanja beras di pasar. Kelakuan sejenis itu, juga ada di antara para pendukung politik yang membuai tokoh politik yang di dukungnya dengan informasi serba palsu.
Saya sering memperhatikan para calon anggota legislatif, yang rela merebahkan diri di pelataran tanah berdebu. Untuk memenuhi isyarat syarat dan langkah yang di perlukan juru ramal. Di suruhnya lidah klien menjulur sambil mendongakkan kepala lalu lehernya d ielus-elus peramal. Atau di biarkan begitu saja, karena di percayai bahwa pada akibatnya nanti jawaban atas ritus itu ikut menentukan kemenangannya atau kekalahannya.
Cara Lainnya
Lainnya ada juga yang di ludahi. Tetapi air ludah campur sirih pinang di terima tanpa interupsi karena di anggap cara itu sebagai bagian dari ritus untuk menemukan ketepatan ramalan. Karena itu, menggantungkan harapan pada juru ramal adalah sejenis irasionalitas di jaman serba hyper modern ini.
Mimpi-mimpi pun di tafsir para juru tafsir, seolah-olah kejadian yang terjadi pada Kitab Kejadian di masa pra Jesus itu terulang kembali hingga hari ini. Tetapi, ramalan para ariolis selalu menimbulkan perasaan was-was. Antara kebimbangan psikologis yang tak pasti dengan logika rasional yang membingungkan. Meski begitu, dalam lubuk hati yang paling jauh, di gantunglah harapan agar semuanya berjalan baik-baik saja dan sesuai dengan harapan terbaik.
Di jaman modern ini, jangan di kira bukan tanpa kehadiran juru ramal. Tetapi, ramalan mereka di jaman super modern ini menggunakan data statistik yang canggih. Mereka bahkan dengan sangat yakin menyebutkan, misalnya, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, selain China, akan menyentuh 5% dari rerata pertumbuhan ekonomi tahun-tahun sebelumnya.
Krisis Ideologi Besar
Di katakan, pertumbuhan ekonomi akan tampak mulai cerah pada paruh akhir 2020. Sementara itu, di bidang politik di sebutkan, ideologi besar dunia akan mengalami krisis hebat (atau tarung sengit) seiring dengan bangkitnya raksasa Asia Pasific, terutama negara-negara di tepi selatan Asia. Tetapi apa latah. Ternyata, ada pula di antaranya yang keliru besar. Para ariolis itu keliru, meski mereka ditaburi aneka data statistik. Begitu pun dengan ramalan politik. Banyak keliru.
Habib Riziq, sebagai misal. Para peramalnya mematok dirinya bakal menjadi habib agung di seantero negeri ini. Karena itu, para peramalnya memompanya dengan serial keyakinan agar Riziq segera balik ke tanah air, setelah sang habib merantau jauh di negeri seberang. Tetapi, Riziq tidak pernah menyadari kepulangannya ke tanah air yang meski disambut riuh di bandara Soeta justru mempercepatnya masuk dalam jebakan hukum yang melilitnya hingga hari ini di tahanan.
Contoh lain lagi, komplotan pencuri uang dana bansos. Pelakunya begitu tega nian mengambil duit untuk kaum papa yang dibela partainya. Justru dia sial karena diramalkan partai tempatnya berteduh bakal terus berkuasa entah sampai kapan. Peramal-peramal di sekitarnya, mungkin juga memegang kuasa cukup, entah di legislative, atau di eksekutif atau mungkin pula di elit partai politik itu.
Tetapi semua ramalan itu, sirna seketika ketika KPK mengumumkan jutaan saluran dana bansos yang dicuri elit partai itu. Mereka curi tanpa hati nurani yang secukupnya. Tindakan keji ini mungkin dituntun peramal bangsat. Selain itu, para peramal ekonomi dan politik pun kini terperangah, karena mereka tidak pernah menghitung hadirnya Covid-19. Mereka pun luput dari perhitungan wabah Covid-19 yang mengakibatkan lambannya pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, mendorong para ahli ramal ekonomi dan politik memilih membungkam diri di hari-hari ini.
Masa depan kita di prediksi dengan cara futuristic. Futuristik artinya mengamati kecenderungan di masa yang baru lalu dan mengextrapolasikannya ke masa depan yang dekat.
Bagaimana NTT?
NTT barusan Pilkada di sembilan kabupaten. Gejala empiric yang tampak ialah semua incumbent kalah. Kalah tipis atau kalah tebal, ya kalah juga. Para pencermat politik menyebutkan, kekalahan incumbent hanya membuktikan dengan amat sangat jelas. Tentang bangkitnya kesadaran kritis rakyat atas realitas pembangunan yang pernah di kerjakan.
Rakyat menilai para incumbent tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan (asas representasi) atau tidak mengerjakan apa yang pernah diucapkan atau dijanjikan. Di sisi lain, para pengamat politik menilai tidak terpilihnya para incumbent sekaligus membuktikan teori-teori demokrasi.
Hanna F. Pitkin (1967) buat semacam formula atau tesis pokok atas mengapa representasi kepentingan rakyat harus mewujud pada exercise kekuasaan? Representasi kepentingan rakyat adalah tindakan terbaik yang terwujud melalui tindakan pemimpin. Tindakan pemimpin terbaik adalah merepresentasi demokrasi.
Penjelasan kunci tentang hubungan tindakan lembaga pemerintahan dengan representasi demokrasi serta mengapa demokrasi bermakna melalui penggunaan kekuasaan ada argumennya.
Ada dua argumen. Pertama, umumnya secara normatif menyepakati bahwa tindakan pemerintah merupakan ekspresi atau wujud kepentingan rakyat. Kedua, rakyat berpolitik karena mereka berpendapat pemerintah adalah representasi kepentingan mereka untuk mengatasi seluruh keluhan dan tuntutannya.
Akibatnya, rakyat memegang teguh pandangan bahwa sebuah pemerintahan adalah sebuah lembaga representatif kepentingan demokrasi bila dalam seluruh tindakan pemerintah (public policy) seturut keinginan sebagian besar rakyat, bukan keinginan sebagian kecil rakyat.
Penggunaan Istilah
Para ahli menyebut dengan macam-macam istilah. Istilah representasi di sebut dengan aneka istilah. Robert Dahl (1971) menyebut dengan istilah responsiveness untuk menjelaskan bahwa kharakteristik utama dari demokrasi bermakna ialah jika pemerintah menyambung secara responsif pada pilihan-pilihan rakyatnya.
William Rijker (1965) menyebut dengan istilah responsible dengan penjelasan mirip Dahl. Philippe Schmitter and Terry Lynn Karl (1991), menyebut dengan istilah accountable. Menekankan bahwa demokrasi politik modern adalah satu sistem pemerintahan. Dengan mana pemerintah di tuntut kemampuan tanggung gugat untuk setiap tindakan mereka. Yang sesuai dengan yang di minta rakyat pemilihnya.
Para incumbent yang kalah adalah contoh unrepresentative regime. Karena itu, dukungan politik untuk mereka sebagai aktor representasi di batalkan dengan cara minus dukungan untuk mereka. Maka bagi para pemenang Pilkada harus sanggup meramalkan dirinya. Bakal di pilih lagi atau tidak di tentukan oleh apakah tindakan politik selama kepemimpinannya merepresentasikan kepentingan rakyat atau tidak.
Satu saja saran saya, bekerjalah seolah-olah esok hari Anda di berhentikan oleh rakyat. Karena itu Anda bekerja bukan supaya Anda terpilih kembali,. Tetapi Anda bekerja supaya kepentingan rakyat di jawab melalui kepemimpinan Anda. Anda harus kerja sungguh-sungguh dan bebaskan diri untuk menguntungkan diri sendiri dan lingkungan diri sendiri atau yang serba untuk diri sendiri.
Penulis: Pius Rengka, pengamat social politik, tinggal di Kupang.