Jakarta, suaranusantara.co – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dinilai salah tafsir dalam pembangunan wilayah adat di Papua. Alasannya, pembangunan wilayah tidak sesuai dengan desain adat yang sudah ada.
“Supaya program dapat terlaksana, Bappenas perlu kerjasama dengan Dewan Adat Papua dan Perguruan Tinggi di Papua,” kata anggota DPD RI Dapil Papua Barat Filep Wamafma di Jakarta, Senin, 15 Februari 2021.
Ia menyebut tipologi pembangunan di Papua harus memperhatikan masalah adat, agama, dan pemerintahan. Tiga sektor ini adalah stakeholder utama perancang kebijakan pembangunan di daerah berbasis wilayah adat.
Filep melihat kebijakan pengembangan ekonomi yang dilakukan Bappenas tidak sesuai dengan pemaknaan wilayah adat yang sebenarnya. Seharusnya, pembangunan identik dengan tiga hal mendasar yaitu masyarakat adat beserta hak-haknya, hukum adat yang mendasari keberlangsungan hidupnya, dan nilai sosiologis masyarakat adat.
Filep menyarankan program pemerintah memfokuskan diri pada pengakuan hak-hak masyarakat adat terlebih dahulu. Apapun tipikal pembangunan yang dilakukan, jika tidak menghormati dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang selama ini pernah dirampas, maka pembangunan bisa kontra produktif.
Sebagaimana diketahui Bappenas telah membuat Strategi Percepatan Pembangunan di Papua, yang disebut dengan Strategi Quick Wins di 7 wilayah adat Papua.
Di Wilayah Domberay akan dikembangkan Sentra Kakao, Pariwisata Danau Anggi, dan Pendirian Pusat Kajian Keanekaragaman Hayati Bertaraf Internasional di Universitas Negeri Papua.
Di wilayah Bomberay dikembangkan sentra Pala di Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana, Pembangunan Jalan menuju perkebunan Pala di Fakfak dan Kaimana, dan pariwisata Teluk Triton di Kaimana.
Di Wilayah Mee Pago akan dikembangkan Sentra Kopi, pembangunan RSUD Paniai, dan pengembangan Sentra Food Estate Sagu dan Padi.
Sementara di Wilayah Anim Ha akan dikembangkan Perkebunan Karet Rakyat. Wilayah Adat Saereri akan dioptimalkan Bandara Frans Kaesipo dan dikembangkan hilirisasi perikanan.
Wilayah Adat Tabi akan difokuskan untuk pengembangan Sentra Kakao dan Kelapa dan penguatan Peran Universitas Cenderawasih. Sementara di Wilayah Adat La Pago yang akan difokuskan untuk Pengembangan Sentra Kopi dan Peternakan.
Di tempat terpisah, anggota Komite IV DPD RI dari Provinsi Lampung Abdul Hakim terkesan dengan layanan di Desa Cintamulya, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan. Desa ini adalah satu dari beberapa desa yang menjadi proyek percontohan smart village atau desa cerdas.
Pantauan Hakim memperlihatkan di desa tersebut, ada mekanisme komputerisasi yang memudahkan warga dalam hal pelayanan. Cukup dengan menempelkan kartu tanda penduduk elektronik, warga bisa memilih layanan apa yang hendak diinginkan.
“Warga tinggal tekan saja pilihan layanan di layar sentuh komputer. Nanti ini terhubung dengan server dan langsung menindaklanjuti layanan yang dibutuhkan. Misalnya surat menyurat,” kata Hakim.