Jakarta – suaranusantara.co – Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) diminta menghentikan pengusutan kasus dugaan korupsi proyek Pasar Danga, Nagekeo, NTT.
“Saya menilai kasus ini dipaksakan. Buktinya sejak penetapan tiga orang tersangka pada Maret 2023 sampai sekarang tidak ada kemajuan dalam penyidikan. Kalau bukti yang dituduhkan polisi lengkap, tentu tiga orang tersangka sudah divonis hakim di pengadilan tingkat pertama. Saya menduga keras bukti tidak lengkap karena memang diduga dipaksakan,” kata pengajar S2 Ilmu Hukum Pidana Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, Dr. Edi Hardum, S.IP, SH, MH, kepada pers Rabu (27/12/2023).
Menurut Edi, Polda NTT seharusnya memonitor semua kasus yang ditangani setiap Polres. Kalau penyidikan sebuah kasus memakan waktu hampir setahun tentu harus segera dievaluasi Kapolresnya.
“Saya memonitor kasus ini sudah berkali-kali diberitakan media massa. Mengapa pihak Polda NTT tidak menegur Kapolres Nagekeo atau mengambil alih pengusutan kasus tersebut ? “ tegas alumnus S3 Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta ini.
Menurut Edi yang juga sebagai advokat dari Kantor Hukum “Edi Hardum and Partners”, menetapkan orang menjadi tersangka dalam waktu yang lama tanpa ada kepastian perkaranya maju atau dihentikan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Edi mengingatkan semua pimpinan Polri terutama Polda NTT dan Polres Nagekeo akan jargon Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yakni PRESISI yang merupakan akronim dari prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan.
“Saya hanya menekankan pada transparansi berkeadilan. Saya menilai penyidikan kasus Pasar Danga tidak transparan kepada masyarakat, di mana masalahnya ? Mengapa bukti belum lengkap sehingga kejaksaan terus menolak berkasnya ? Atau ?” ujar alumnus S2 Ilmu Hukum UGM, Yogyakarta ini.
Menurut advokat yang sering membela orang-orang kecil ini, kalau laporan masyarakat buktinya kurang lengkap atau kurang dari alat bukti ya harus ditolak.
“Kalau dipaksanakan apalagi sampai penetapan tersangka resikonya selalu ditolak kejaksaan berkasnya. Kalau kejaksanaan terus menolak penyidik tentu harus ksatria keluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Ini sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Pasal 109 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi,”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”.
Dari bunyi Pasal 109 Ayat (2) KUHAP itu, tegas Edi, alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu (1) tidak cukup bukti, (2) peristiwa tersebut bukan tindak pidana, dan (3) demi hukum.
Dari bunyi norma tersebut, kata Edi, penyidik mengeluarkan SP3 bukan karena adanya upaya hukum dari tersangka seperti praperadilan.
“Praperadilan itu salah satu cara, tetapi kalau penyidik menyadari sendiri berdasarkan gelar perkara intern penyidik bahwa tidak cukup bukti atau dua alasan lainnya di atas (Pasal 109 ayat 2 KUHAP), maka penyidik keluarkan SP3,” kata Sekjen Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) Jabodetabek ini.
Menurut Edi, Kapolres Nagekeo dan jajarannya seharusnya tidak perlu malu mengeluarkan SP3 terhadap tiga orang tersangka yang diduga terlibat kasus korupsi Pasar Danga, Negekeo jika buktinya tidak cukup.
Perang Dingin
Menurut Edi, dirinya mendengar informasi, Kapolres Nagekeo sedang “perang dingin” dengan Bupati Nagekeo terkait beberapa hal, antara lain,
pertama, pembangunan sebuah rumah ibadah di Nagekeo yang tidak disetujui oleh warga sekitar, namun Kapolres memaksakan pembangunannya dan Kapolres sendiri yang meresmikan rumah ibadah itu. Akibatnya, sampai sekarang rumah ibadah itu belum ada IMB-nya.
Kedua, Kapolres Nagekeo diduga ikut “menangani” sejumlah proyek di Nagekeo terutama terkait pembangunan Waduk. “Saya mendengar informasi Bupati merasa dilangkahi oleh Kapolres yang seharusnya bekerja sesuai Tupoksi yakni menjaga keamanan tetapi malah diduga ikut “bermain proyek”,” kata dia.
Akibat perang dingin itu, kata Edi, Kapolres sedang berusaha mentersangkakan Bupati Nagekeo dalam kasus Pasar Danga.
“Kalau mentersangkakan orang tanpa bukti tapi karena balas dendam atau perang dingin tentu rusak wibawa hukum. Ya, semoga Kapolres Nagekeo tidak seperti itu, dan semoga informasi yang saya dapat salah,” kata Edi.
Edi juga mempersilahkan Kapolres Nakegekeo menjadikan siapa pun tersangka termasuk Bupati Nagekeo, yang terpenting buktinya memadai. “Saya tidak sedang membela Bupati Nagekeo atau siapa pun, saya hanya membela penegakan hukum yang benar, termasuk Polri terutama Polres Nagekeo agar bekerja sesuai tuntunan KUHAP. Sebab, kalau bukti tidak cukup maka akan seperti nasib tiga orang yang telah menjadi tersangka, namun belum juga sukses dilimpahkan kepada kejaksaan.
“Bisa juga pihak Polres nanti dipraperadilankan dan tentu malu juga kalah dipraperadilan,” kata dia.
Edi menegaskan, dirinya belum terlalu percaya dengan informasi “perang dingin” Bupati dan Kapolres Nagekeo itu termasuk dugaan keterlibatan Kapolres dalam pembangunan Waduk dan pembangunan rumah ibadah.
“Namun, kedua informasi tersebut saya meminta pihak Polda NTT mengeceknya. Sebab, saya banyak teman dari Nagekeo yang menginformasikan kepada saya. Ya, bisa saja informasi ini benar, bisa juga salah. Jadi mohon pihak Polda mengeceknya,” kata dia.
Menurut Edi, kalau informasi-informasi itu benar, maka Polda NTT sebaiknya, pertama, ambilalih dan hentikan penyidikan kasus Pasar Danga. Kedua, berhentikan Kapolres Nagekeo dari jabatannya. “Ini demi citra Polri dengan jargon Presisi,” kata mantan anggota Senat Mahasiswa UGM, Yogyakarta ini.
Willy Grasias