Oleh: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar indonesia
Jakarta, Suaranusantara,co – Kemajuan teknologi yang berdampak terhadap kecerdasan emosional manusia ini menjadi salah satu topik pembahasan dalam webinar bertajuk ‘Ngobral’ di Universitas Al-Azhar Indonesia. Perubahan gaya hidup karena perkembangan teknologi informasi semakin nyata dewasa ini. Kemudahan bertransaksi dapat kita lakukan hanya dengan jari jemari lewat smartphone. Demikian pula dengan berkomunikasi, koordinasi, proses belajar mengajar, hingga pekerjaan di sektor pemerintah maupun swasta
Namun kecanggihan teknologi informasi sesungguhnya tidak dapat menggantikan kecerdasan otak manusia yang memiliki akal dan rasa. Mesin Artificial Intelligence (AI) yang canggih hany dapat menirukan apa saja, tapi tidak dapat menggantikan akal budi dan perasaan manusia.
Kecanggihan teknologi informasi dan kemudahan dengan adanya aplikasi bukan hanya mengubah gaya hidup, tetapi juga budaya manusia. Teknologi mengurangi gerak manusia untuk bertemu langsung untuk saling berinteraksi. Budaya baru ini kelihatannya menyebabkan kurangnya empati dalam kehidupan sosial.
Keseimbangan Emosi dan Rasio
Dr. Kussusanti, M.Si., salah seorang dosen UAI, yang juga Trainer Specialist di beberapa perusahaan BUMN, Kementrian dan berbagai institusi, yang menjadi narasumber Ngobral, mengutip quote dari American Management Association, New York, yang menyatakan bahwa “Seseorang direkrut karena skill dan pengalamannya, tapi ia dipecat karena kelemahan attitude dan perilakunya” – The Values of Emotional Intelligence.
Kesimpulannya, yang menentukan kesuksesan seseorang memang IQ (kecerdasan intelektual) tapi skala IQ di sini hanya 1% hingga 20%. Sedangkan EQ (kecerdasan emosional) memberikan kontribusi terhadap kesuksesan dengan skala prosentase yang lebih tinggi yakni 27% hingga 48%.
Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional (EQ) adalah keterampilan mengidentifikasi, menggunakan, memahami, dan mengendalikan emosi, sebagai dasar berpikir kreatif dan problem solving. Sehingga meningkatnya kekuatan emosi menuntun keputusan seseorang, yang berkaitan dengan pikiran rasional.
Terkandung wilayah manusiawi dalam EQ yang berhubungan dengan harapan, kepercayaan, keyakinan, persahabatan, cinta, kesetiaan yang mendorong tindakan. Kinerja dan produktivitas kerja optimal tercapai bukan melalui kecerdasan intelektual (IQ) melainkan kecerdasan emosional (EQ). Menurut Dr. Daniel Goleman (1995) kaum intelektual tidak pernah mencapai tingkat puncak kesuksesan tanpa kecerdasan emosi.
Perlu adanya keseimbangan emosi dan rasio dalam berkomunikasi. Apabila emosi terlalu menguasai otak, seseorang tidak akan dapat berpikir jernih. Sedangkan jika rasio terlalu menguasai otak, maka yang seseorang menjadi kaku dan tidak fleksibel.
Terpaan teknologi telah banyak mengubah gaya hidup dan budaya peradaban manusia. Kemudahan hasil dari berkembangnya teknologi menimbulkan dampak sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang paling nyata adalah Berkurangnya empati dan belas kasih, yang sangat dimungkinkan karena Berkurangnya intensitas tatap muka. Hal ini juga berakibat berkurangnya teknik berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dalam kehidupan sosial.
Tingkat Kecerdasan
Doan and Strickland (2014) menyatakan bahwa terpaan teknologi berdampak mengurangi kepekaan dan kemampuan merasakan emosi. Sehingga mempengaruhi kemampuan daya pikir, pengambilan keputusan dan menentukan solusi.
Tingkat kecerdasan emosi yang rendah menyebabkan manusia memiliki sifat dan karakter antara lain menyendiri, cemas, takut, gugup, gelisah, tingkat emosi yang rendah, selalu bergantung, tidak stabil, menjadi agresif dan manipulatif, suka berbohong utnuk menutupi kesalahannya, bersikap kasar (sarkastik) berlebihan, tidak mau mendengarkan saran orang lain, merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain sehingga meremehkan orang lain, hanya yakin dengan gagasannya sendiri, membatasi diri pada pekerjaannya saja, komunikasi dengan jawaban sempit.
Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki karakter yang sangat berbeda yang bukan hanya menguntungkan dirinya sendiri tetapi juga bermanfaat bagi orang-orang disekitarnya. Karakter tersebut antara lain memiliki inisiatif, cenderung mencarikan solusi (bukan fokus pada masalah), menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi persoalan, menyukai tanggung jawab dan berkomitmen dalam upaya menyelesaikannya, kreatif dan tekun sehingga tidak melihat kesulitan hanya sebatas penghalang tetapi mencari penyelesaian.
Karakter EQ tinggi membuat seseorang lebih memiliki empati dan memiliki keinginan untuk membantu orang lain, dan lebih percaya diri saat menghadapi kesulitan. Sehingga biasanya memiliki gaya tersendiri atau unik, yang berbeda dengan orang-orang yang mudah menyerah dan lebih banyak mengungkapkan alasan (excuse) untuk pembenaran.
Meningkatkan Kecerdasan Emosi
EQ bukan bawaan sejak lahir, sehingga dapat dibentuk dengan latihan, dapat dipelajari dan dapat dirasakan. Teknik meningkatkan kecerdasan emosional juga dapat dilakukan dengan mengambil pelajaran dari pengalaman secara langsung, atau diambil dari pelajaran dalam lingkungan sosial.
Pelatihan EQ membantu seseorang dengan teknik mengenai bagaimana menyesuaikan diri dengan orang lain, menghadapi lawan bicara, menyampaikan pesan juga mengungkapkan empati.
Selain itu, meningkatnya kecerdasan emosional juga dapat tercapai dengan meningkatkan kemampuan 3V yakni kemampuan vocal, visual dan verbal. Selain juga dengan teknik melatih kemampuan bukan hanya sekedar mendengarkan tapi juga menyimak penyampaian pesan dari orang lain.(Red/CBN)