Oleh: Dr. Heriyono Tardjono. Pengajar Pasca Sarjana. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co. Gadis bertubuh kecil dan bermata bundar itu terlihat sangat menikmati pemandangan pesona langit pagi dari kaca jendela pesawat yang membawa kami terbang dari Jakarta ke Palembang. Baru beberapa saat yang lalu roda pesawat lepas landas mengantar kami mengudara di pagi yang cerah menembus barisan-barisan awan yang masih bersemburat merah, pertanda fajar belum lama merekah.
Gadis itu duduk di kursi tepat di samping kursi yang saya duduki. Sekedar basa-basi adat ketimuran saya menyapa dan bertanya dari mana atau hendak kemana. Ia menjawab, mau pulang ke rumahnya di Palembang, setelah mengikuti acara do’a bersama di salah satu Vihara di Jakarta. “Oh, Mbak penganut Buddha, tho?” tanya saya. Ia mengiyakan sembari menyungging senyum ramah. Kemudian menjelaskan bahwa ia adalah penganut Buddha aliran Metheria, salah satu aliran dalam agama Buddha yang banyak dianut oleh masyarakat di negara Taiwan. Mey Oselin, nama lengkap gadis itu.
Sembari terus asyik mengobrol, saya menyempatkan untuk membuka dan memakan roti isi abon ayam yang dibagi-bagikan oleh pramugari, sesaat setelah pesawat tinggal landas. Kebetulan pesawat yang kami gunakan adalah satu-satunya maskapai penerbangan murah yang masih mau memberikan cemilan gratis kepada para penumpangnya. Ini jugalah yang menyebabkan saya begitu istiqomah menggunakan maskapai ini, jajanan gratis sungguh telah sukses memincut hati saya.
Dengan masih terus mengunyah saya memperhatikan Mey, yang tidak menyentuh sama sekali rotinya. Kemudian saya bertanya kepadanya “Kenapa kok gak dimakan rotinya Mey?”. Dia menjawab “Nggak Kak, soalnya isinya daging ayam,”. Saya kembali bertanya, ada apa dengan ayam, apakah alergi dengan ayam, atau khawatir ayamnya terinfeksi virus flu burung.
“Saya vegetarian Kak, tidak makan daging,” jawabnya. Ia kemudian bercerita mengapa memutuskan untuk menjadi vegetarian, dan manfaat menjadi vegetarian bagi kesehatan. Ia juga menuturkan tokoh-tokoh nasional yang vegetarian (menurut ceritanya, Kak Setho juga seorang vegetarian).
Saya merasa bahwa Mey mulai berusaha mempengaruhi saya agar saya juga mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang vegetarian. Bahkan ia sampai menjelaskan bahwa vegetarian adalah jalan hidup orang-orang yang jiwanya penuh welas asih, karena dengan tidak memakan daging, berarti terhindar dari membunuh sesama makhluk Tuhan. Karena makhluk tersebut bisa terus hidup dan berkembang biak dan bisa terus beranak pinak. Dengan memakan daging berarti kita telah merenggut kehidupan mereka dengan paksa.
“Kalau hewan itu berkembang biak dengan cara bertelur, kasihan telurnya, siapa yang akan mengerami, sementara induknya kita goreng dan dengan tanpa merasa berdosa kita lumat dengan nikmat. “Jadi Kak, kalau Kakak masih mau makan daging, berarti Kakak dengan sadar telah berbuat kejam terhadap sesama makhluk hidup,” imbuhnya.
Saya termangu dan manggut-manggut mendengar penjelasan Mey. Sesaat akibat pengaruh ceramahnya, timbul perasaan berdosa karena sampai sekarang masih dengan sadar menyakiti sesama makhluk hidup dengan cara memakannya. Akan tetapi tiba-tiba muncul pertanyaan dalam diri saya, yang kemudian saya sampaikan kepada Mey.
“Bukankah vegetarian itu juga masih memakan sayur, dan bukankah sayur itu adalah tumbuhan, dan kerena dia tumbuhan bukankah dia juga adalah makhluk hidup, yang berarti tumbuhan juga bereproduksi dan berkembang biak? Sehingga dengan memakan tumbuhan kita juga telah merenggut haknya untuk terus tumbuh dan berkembang,” kata saya.
“Jadi dengan masih memakan sayuran, kamu, Mey, sang vegetarian yang penuh welas asih pun, sebenarnya telah berlaku kejam. Karena telah merenggut kehidupan makhluk hidup. Kasihan bayam yang kamu makan karena dia tidak bisa berfotosintesa lagi. Kasihan kankung yang secara paksa telah di cabut akarnya dari tempatnya menjalar. Dan kasihan jeruk yang telah di pisahkan dari cabang tempatnya bergelantung dengan nyaman,” saya mencerocos.
Dan sekarang giliran si Mey Oselin yang termangu dan manggut-manggut mendengar penjelasan saya. Sementara saya lanjut mengunyah roti isi abon ayam. Bahkan setelah roti saya habis, sisa perjalanan saya menuju Palembang saya habiskan untuk mengunyah roti jatah Mey. “Sayang kalo tidak dimakan mubadzir nanti,” ujar saya dengan santai, yang disambut tawa kecut Mey Oselin.
Photo courtesy: doktersehat.com