Sabu, Suaranusantara.co – Anggota DPD RI asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto melihat salah satu penyebab tingginya angka stunting di NTT karena minimnya pendidikan atau edukasi. Tingginya angka stunting juga karena kurangnya informasi tentang kesehatan dan pencegahan stunting.
“Minimnya akses para ibu dan calon ibu di pedalaman NTT untuk mendapat informasi dan edukasi mengenai stunting menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka stunting di NTT,” kata Abraham dalam acara Rembuk Stunting di Kabupaten Sabu Raijua, NTT, Jumat, 13 Oktober 2023.
Ia menjelaskan ibu-ibu yang berada di pedalaman banyak yang tidak mendapat informasi dan edukasi tentang stunting. Hal itu karena petugas kesehatan tidak sampai ke wilayah-wilayah pedalaman akibat jalan yang rusak. Bahkan ada kampung atau desa yang belum ada jalan raya.
Disisi lain, banyak wilayah di NTT yang tidak mendapat sinyal handphone (HP) atau internet. Kondisi itu menyebabkan terbatasnya informasi yang diterima masyarakat, termasuk masalah stunting.
Kemudian ada masalah pendidikan yang rendah. Karena lebih banyak masyarakat NTT, khususnya ibu-ibu hanya lulusan SD.
“Ini semua menjadi persoalan dasar yang harus diselesaikan,” tegas pemilik Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang ini.
Senator yang sudah tiga periode ini mengutip Organisasi Kesehatan Dunia yang menyatakan sekitar 20 persen kasus stunting terjadi sejak anak berada dalam kandungan. Hal itu terjadi akibat makanan yang dikonsumsi ibu selama hamil kurang bergizi. Akibatnya, janin tidak mendapatkan cukup nutrisi.
“Salah satu kegiatan mencegah stunting pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah melakukan pendampingan pengasuhan balita melalui program Bina Keluarga balita (BKB),” jelas anggota Komite I DPD RI ini.
Pemilik Hotel Harper Kupang ini juga mengutip lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebutkan stunting di awal kehidupan seorang anak dapat menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan kognitif.
Kerusakan itu diikuti dengan perkembangan motorik dan intelektual yang kurang optimal pada anak. Akibatnya mengganggu proses pendidikan sang anak pada usia selanjutnya.
“Kondisinya adalah tidak sehat. Ketika tidak sehat maka tidak bisa belajar secara efektif. Akibatnya kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah. SDM yang rendah akan susah membantu kembangkan ekonomi dan daya saing dengan provinsi lain atau negara lain,” tutur Abraham.
Ketua Majelis Pendidikan Kristen (MPK) Provinsi NTT ini menyebut sejumlah langkah mencegah stunting. Pertama, memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada bayi hingga berusia 6 bulan. Kedua, memantau perkembangan anak dan membawa ke Posyandu secara berkala.
Ketiga, memberikan Makanan Pendamping Asi (MPASI) yang bergizi dan kaya protein hewani untuk bayi yang berusia di atas 6 bulan.
Sementara makananan tambahan untuk pencegahan stunting adalah kelor, ikan, telur, kacang-kacangan, hati ayam, sayur dan buah.
Hingga Februari 2023, jumlah anak stunting di NTT mencapai 15,7 persen atau 67.538 anak. Angka itu turun bila dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 17,7 persen atau 77.338 anak.