“Sangat disayangkan proyek yang menghabiskan dana Rp 7 miliar dari APBN belum berhasil mengolah sampah di Labuan Bajo. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) harus mengevaluasi proyek ini. Percuma dibangun jika tidak sesuai harapan,” tutur Abraham.
Sebagaimana diketahui, pemerintah pusat telah membangun pengolahan sampah termal di TPA Warloka, Labuan Bajo tahun 2020 dan mulai beroperasi bulan April 2021. Pembangunan TPA itu seiring dengan penetapan Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata premium.
TPA menggunakan teknologi insinerasi yang dikembangkan BPPT seperti telah digunakan TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Teknologi insinerasi atau pembakaran sampah adalah mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer. Panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik.
Insinerasi sangat populer di beberapa negara seperti Jepang di mana lahan merupakan sumber daya yang sangat langka. Denmark dan Swedia telah menjadi pionir dalam menggunakan panas dari insinerasi untuk menghasilkan energi. Beberapa negara lain di eropa yang mengandalkan insinerasi sebagai pengolahan sampah adalah Luksemburg, Belanda, Jerman dan Prancis.
Sebelumnya, Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, Rudi Nugroho mengemukakan pengolahan sampah proses termal (PLTSa) di Warloka berkapasitas 20 ton per hari. Metode termal fokus pada pemusnahan sampah secara cepat, ramah lingkungan, dan menghasilkan listrik hingga 700 kilowatt (Kw). Listrik dipakai untuk AC, penerangan, dan menggerakan mesin yang ada di PLTSa tersebut.
“Insinerator merupakan alat pembakar sampah yang dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran dengan suhu tertentu. Alat ini bisa membakar sampah sampai habis,” jelas Rudi.