Jakarta, Suaranusantara.co – Dalam beberapa hari terakhir, ramai dibicarakan masalah kritik terhadap pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Bermula dari pernyataan Presiden Jokowi sendiri pada 8 Februari 2021 silam. Ia menegaskan, pemerintahan perlu dikritik.
Tidak ada yang aneh dengan pernyataan tersebut. Menjadi ramai setelah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakan bagaimana mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi. Orang takut mengkritik pemerintah karena menghindari berurusan dengan aparat kepolisian.
Memang faktanya, tidak sedikit pengkritik pemerintah selama ini dilapor, dipanggil, dan diperiksa polisi. Di antara mereka ada yang masih tinggal di penjara. Alasannya macam-macam. Fakta ini mencitrakan pemerintahan Jokowi seolah-olah antikritik. Lebih dari itu, ada yang menilai pemerintahan ini otoriter.
Sesungguhnya, penilaian seperti itu tidak perlu terjadi. Tidak perlu ada pula rasa takut dalam mengkritik pemerintah. Yang terpenting, kritik dilakukan sesuai dengan koridor hukum. Ada rambu-rambu yang harus ditaati dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Bukan asal omong. Termasuk, mematuhi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Aturan ini sudah menjadi momok selama ini dan mengantar sejumlah orang ke jeruji besi.
Karena itu, mengkritik haruslah berbasis data dan fakta. Yang terjadi selama ini, orang mengkritik dengan cara menyebarkan berita bohong atau hoaks. Yang penting menyerang pemerintah. Argumentasi belakangan. Kadang, kritik hanya didasarkan pada data bodong.
Inilah yang menjadi masalah. Ini pula yang membawa sejumlah orang harus berurusan dengan aparat kepolisian. Sebab mereka juga tidak bisa mempertanggungjawabkan data dan fakta yang mereka lemparkan ke publik ketika berurusan dengan aparat penegak hukum.
Kami berpendapat, pemerintahan ini akan menerima setiap kritik dengan hati terbuka. Syaratnya, basis kritiknya jelas dan argumentatif. Tidak berdasarkan berita hoaks dan data bodong. Data yang menjadi basis kebijakan pemerintah seyogyanya dibalas atau disanggah dengan data yang juga valid oleh kelompok oposisi. Itu baru fair dalam mengkritik. Lebih elegan lagi, bila setiap kritik disertai usulan solusi.
Selain itu, pilihan media dalam menyampaikan kritik juga harus jadi pertimbangan. Kritiklah pemerintah lewat media-media arus utama baik cetak maupun elektronik. Termasuk dengan menulis opini yang kaya data dan argumentatif. Sebab media-media ini dilindungi Undang-Undang Pers.
Jangan memakai media “abal-abal” dalam mengkritik. Apalagi memanfaatkan media sosial. Kritik lewat media sosial, apalagi tidak berdasarkan fakta, sangat rentan melanggar hukum. Melanggar UU ITE.
Kritik tetap dan harus dilakukan oleh siapa pun, terutama oleh kelompok oposisi. Kritik juga penting untuk menyehatkan demokrasi kita. Tanpa kritik, kekuasaan akan berjalan dalam ruang gelap dan rentan transaksional. Sebab power tends to corrupt.
Minim kritik juga akan mematikan demokrasi. Juga hanya akan mengembalikan bangsa ini ke era otoritarianisme. Kritik, seperti kata filsuf Jerman Jurgen Habermas, akan membawa masyarakat kita menjadi masyarakat yang lebih komunikatif. Masyarakat yang tidak asal bisa omong tetapi juga mau mendengar satu sama lain.
Jadi, jangan takut mengkritik pemerintah. Mengkritik pemerintah adalah sebuah keharusan. Yang penting basisnya data dan fakta. Bukan hoaks dan data bodong. Juga dilakukan secara elegan tanpa melanggar aturan yang berlaku. Selamat mengkritik pemerintah.