Ruteng, Suaranusantara.co – Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang ramai memperdebatkan polemik proyek pembangunan Geotermal.
Berbagai elemen warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di beberapa wilayah melakukan penolakan terhadap proyek yang dinilai mengancam keselamatan hidup dan keutuhan lingkungan.
Polemik ini semakin berkembang, tatkala beberapa masyarakat lainnya memberi penilaian yang berbeda dan mendukung pembangunan proyek tersebut.
Media ini akan mengulas sejarah, pengertian dan sejumlah fakta lain dari polemik Geotermal baik di tingkat internasional, nasional dan lokal kedaerahan.
Pengertian dan Sejarah
Energi panas bumi atau geothermal adalah bentuk sumber energi panas yang terdapat di dalam inti bumi, mengandung air panas, uap air, batuan, mineral serta gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam sistem panas bumi.
Energi panas bumi merupakan sumber energi tertua yang dimanfaatkan oleh manusia. Arkeologi di Amerika Utara menemukan fakta, energi tersebut sudah digunakan manusia sejak 10.000 tahun silam.
Dalam praktik industri, energi panas bumi pertama kali dikembangkan di wilayah Tuscan, Italia pada tahun 1818 dengan mengekstrak asam borat dari sumber air panas.
Pada tahun 1904, Kota Larderello menjadi kawasan industri asam borat pertama yang menghasilkan listrik dari energi ini. Kota Larderello pada tahun 1913, melalui sejumlah ekperimen menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi pertama di dunia.
Pasca perang Dunia II, Amerika Serikat menjadi produsen utama energi panas bumi. Dibangun pada tahun 1960 dan memiliki 20 fasilitas pembangkit listrik dengan 350 lebih titik sumur, The Geyser yang terletak di Pegunungan Mayacamas menjadi wilayah pembangkit listrik tenaga panas bumi terbesar di dunia.
Energi panas bumi dihasilkan oleh wilayah yang memiliki aktivitas vulkanik tinggi dan menjadi reservoir endapan air juga uap panas. Wilayah-wilayah ini berada didalam zona Cincin Api disepanjang samudra Pasifik, termasuk Indonesia.
Geotermal (Energi Panas Bumi) di Indonesia
Di Indonesia, energi panas bumi umumnya ditemukan pada daerah batas lempeng. Kondisi geografis ini membuat Indonesia memiliki potensi energi geothermal 40% dari potensi dunia, yakni sebanyak 23.965,5 Mega Watt (MW) dan tersebar di 331 titik diberbagai wilayah.
Eksplorasi sumber daya panas bumi telah dimulai pada tahun 1993 di Indonesia. Eksplorasi berhenti karena Krisis yang melanda Asia pada tahun 1998. Kondisi tersebut memaksakan para developer menjual semua asset pembangkit listrik tenaga panas bumi kepada PT. PLN Persero.
Panas dari inti bumi dapat mencapai suhu tinggi, bahkan melampaui 5000 derajat celcius. Panas dari inti bumi yang terus-menerus ini kemudian muncul ke lapisan permukaan bumi dalam berbagai bentuk seperti mata air panas, geiser, ventilasi hidrotermal, dan magma dari letusan gunung api.
Untuk memperoleh energi panas bumi, diperlukan pengeboran dan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) untuk mengubahnya sebagai tenaga listrik.
Energi panas bumi masuk dalam kategori Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan membutuhkan kekuatan finansial yang sangat besar.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kebutuhan finansial untuk mengembangkan EBT kian meningkat. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara akan ditutup dalam beberapa tahun ke depan.
Rencana peralihan energi ini membutuhkan investasi hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp14 triliun pada tahun 2060 untuk mengembangkan EBT beserta infrastruktur transmisi yang mendukungnya.
Pengelolaan sumber daya energi panas bumi diatur oleh beberapa kebijakan, diantaranya: UU Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi; Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dan Pemanfaatan Data Dan Informasi Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung; Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 Tahun 2018 tentang Penawaran Wilayah Kerja Panas Bumi, Pemberian Izin Panas Bumi, Dan Penugasan Pengusahaan Panas Bumi; Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional; dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Dampak Buruk Geotermal (Energi Panas Bumi)
Energi panas bumi diklaim sebagai sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. Namun fakta tragis dan menakutkan ditemukan dibeberapa wilayah eksplorasi di Indonesia.
PLTP Sorik Marapi yang berlokasi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara menjadi salah satu temuan yang paling menghebohkan, sebagai dampak buruk dari pengelolaan energi panas bumi tersebut.
Kebocoran pipa gas yang yang terjadi secara berulang di wilayah tersebut menyebabkan lima orang warga meninggal dunia dan ratusan warga mendapat perawatan medis karena mengalami keracunan.
Syarifah Ainun, permanent member dari Chemical Engineering Degree Region Sumatera, mengatakan dampak proyek pembangkit listrik panas bumi ini tidak bisa dipandang remeh, terutama efek jangka panjang dari senyawa gas hidrogen sulfida jika terus terpapar.
Menurut Laporan Geothermal dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada November 2022, proyek keberlanjutan pembangkit listrik dari penambangan panas bumi meningkatkan risiko bencana di setiap tahapan operasinya.
JATAM juga mengingatkan ancaman kematian dan konsekuensi jangka panjang terhadap kesehatan dan keutuhan lingkungan adalah hal mendesak yang mesti diperhatikan.
Dilansir dari beberapa sumber, pengembangan energi panas bumi dinilai berpotensi menimbulkan dampak buruk dan menyebabkan beberapa ancaman diantaranya:
Penggundulan Hutan dan Kerusakan Ekosistem
Banyak potensi panas bumi di Indonesia terletak di atau dekat dengan kawasan hutan konservasi. Pengembangan PLTP sering kali memerlukan pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, yang menyebabkan penggundulan hutan dan kerusakan ekosistem
Polusi Air
Proses eksplorasi dan pengoperasian PLTP dapat menyebabkan polusi air, seperti yang terjadi dibeberapa titik, di mana pencemaran air sungai mengakibatkan berkurangnya sumber air bersih bagi masyarakat sekitar.
Emisi Gas Rumah Kaca
Meskipun emisi CO2 dan H2S dari PLTP lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, emisi ini tetap ada dan bervariasi tergantung pada karakteristik reservoir dan jenis uap yang digunakan.
Risiko Keracunan
Kasus fatal keracunan H2S telah dilaporkan di berbagai lokasi pengembangan PLTP. Analisis toksikologi menunjukkan konsentrasi sulfida dan tiosulfat yang sangat tinggi dalam jaringan tubuh korban, mengonfirmasi keracunan H2S sebagai penyebab kematian
Gangguan Sosial dan Budaya
Masyarakat lokal sering kali menolak pembangunan PLTP karena khawatir akan dampak negatif terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi mereka.
Kurangnya perhatian terhadap aspek sosial dalam penilaian lingkungan dapat memicu penolakan dan protes dari masyarakat. Ini disebabkan oleh sosialisasi yang terbatas dan kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengembangan.
Geotermal (Energi Panas Bumi) di Flores, NTT
Penolakan Geotermal masif digaungkan setelah Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan pulau Flores, NTT sebagai Pulau Panas Bumi pada tanggal 19 Juni 2017.
Penetapan itu disahkan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017.
Ancaman adanya proyek panas bumi ini mendapat penolakan dari masyarakat. Serangkaian aksi demonstrasi dilakukan.
Terbaru, lima elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) melakukan demontrasi di kantor DPRD dan Kantor Bupati Kabupaten Ngada, Rabu (11/3/2025).
Warga menuntut agar pemboran geothermal di Mataloko segera dihentikan karena telah merusak lingkungan dan ekosistem alam.
Aksi demonstrasi juga dilakukan di Kabupaten Manggarai. Warga bersama Serikat Pemuda NTT yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Pocoleok melakukan aksi demonstrasi pada Senin (3/3//2025).
Aliansi tersebut mendesak Bupati Manggarai mencabut SK penetapan lokasi. Mereka juga meminta bank KfW menghentikan pendanaan dan seluruh aktivitas proyek di Poco Leok.
Tidak hanya di daerah, aksi penolakan juga berlangsung secara nasional di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Flores Tolak Geotermal menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (12/3/2025).
Mereka meminta Kementrian ESDM melakukan audit dan mencabut SK penetapan Flores sebagai pulau panas bumi.
Mereka juga menyebutkan proyek geotermal Daratei Mataloko sebagai contoh nyata kegagalan, yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan.
Proyek tersebut telah menyebabkan kerusakan parah pada lahan pertanian, pencemaran sumber mata air, serta hilangnya habitat bagi berbagai makhluk hidup. Hubungan sosial masyarakat adat dengan lingkungan budaya mereka pun turut terkoyak.
“Keberadaan lumpur dari dalam yang keluar tanpa henti meninggalkan rongga pada lempengan cincin api Flores, yang tentunya menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat,” ujar salah satu peserta aksi Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia.
Tidak hanya warga, Gereja Katolik Flores, NTT juga mengeluarkan seruan menolak pembangunan proyek Geotermal di wilayah enam Keuskupan.
Seruan tersebut disampaikan melalui Sidang tahunan para Uskup provinsi Gereja Ende yang dilaksanakan di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere, pada 10 hingga 13 Maret 2025.
Dalam seruannya, para Uskup bersepakat menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi geothermal yang dinilai merusak sumber daya ekosistem di wilayah Flores dan Lembata.
Para Uskup dalam seruannya juga mengupayakan pembangunan berkelanjutan yang senantiasa memperhatikan kesejahteraan sosial dan kelestarian alam.
Para Uskup berpandangan, pulau-pulau kecil di wilayah Flores dengan ekosistem yang rapuh sangat berisiko dengan eksploitasi proyek Geotermal yang tidak bijaksana.
Eksploitasi tidak bijaksana yang dimaksud adalah lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan yang terancam mengalami kerusakan.
“Kita telah menyaksikan sejumlah persoalan yang muncul dari (rencana) eksplorasi dan eksploitasi energi geothermal”, lanjut para Uskup.
Para Uskup juga menilai, energi geothermal bukanlah pilihan yang tepat untuk wilayah Flores dan Lembata, dengan alasan topografinya yang dipenuhi gunung dan bukit juga sumber mata air permukaan yang amat terbatas.
Pilihan eksploitatif ini juga dinilai bertabrakan dengan arah utama pembangunan yang menjadikan wilayah Flores sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.
Para Uskup juga mendorong penggunaan energi ramah lingkungan, seperti energi surya, dengan tanggung jawab dan visi keberlanjutan.
“Gereja akan terlibat dalam aksi nyata, seperti kampanye lingkungan, advokasi kebijakan publik, dan gerakan sosial untuk keadilan”, seruan para Uskup dalam surat gembalanya.
Geotermal (Energi Panas Bumi) Dicoret Dari PSN
Energi panas bumi atau Geotermal di Flores telah dicoret dari daftar Program Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Kabar tersebut berdasarkan rilis terbaru PSN yang ditetapkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025-2029.
RPJMN tahun 2025-2029 tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada Senin (10/2/2025).
Dokumen tersebut menyatakan, PSN terbaru ini merupakan daftar indikatif yang telah mendapat evaluasi dan penilaian yang mengacu pada kesiapan proyek, ketersediaan pendanaan, serta berdasarkan persetujuan Presiden.
“Dari total 77 PSN , sebanyak 29 merupakan program baru sedangkan 48 lainnya merupakan program carry over dari pemerintahan Jokowi”, kutipan lampiran Perpres tersebut.
Penulis: Patris Agat