Ruteng, Suaranusantara.co – PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero mengajukan pinjaman (utang) sebesar 2,6 Triliun kepada bank Jerman KfW (Kreditanstalt für Wiederaufbau).
Dilansir dari data Kementerian BUMN, utang yang diberikan KfW sebesar Euro 150 juta, atau dikonversi ke rupiah menjadi Rp 2,6 triliun.
Pinjaman pendanaan tersebut ditandatangani oleh Direktur Perencanaan Korporat PLN, Syovie F. Roekman dengan Senior Sector Coordinator KFW Jens Wirth, dalam gelaran International Monetary Fund-World Bank di Nusa Dua, Bali, 2018 silam.
Syovie F. Roekman menjelaskan, proyek kelistrikan ini merupakan wilayah pengembangan yang kapasitasnya akan diperluas dengan membangun pembangkit baru di tempat yang sama.
“Pinjaman tersebut dilakukan PLN untuk menyelesaikan pembangunan proyek Geotermal di NTT”, jelas Syovie.
Ia menambahkan kapasitas listrik yang dibangun sebesar 40 megawatt (MW), dengan rincian PLTP Ulumbu, Kabupaten Manggarai 5 GPP sebesar 20 MW, di Kabupaten Ngada, Mataloko 2 GPP 10 MW dan Mataloko 3 GPP 10 MW.
Utang PLN Selangit, Proyek Mangkrak dan Sarang Korupsi
Direktur Utama (Dirut) PLN, Darmawan Prasodjo menyebut hingga tahun 2023, utang PLN mencapai Rp396 triliun.
Jumlah utang PLN tersebut, dipaparkan Darmawan saat gelar Rapat Dengar Pendapat RDP (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (3/12/2024)
Jumlah hutang tersebut masih lebih baik, lantaran pada tahun 2020 utang PLN mencapai angka Rp450 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir mengungkapkan penyebab melangitnya utang PLN.
Erick Thohir menyebut salah satu penyebabnya adalah proyek Pembangkit Listrik 35.000 megawatt (MW) yang gagal mencapai target waktu penyelesaian.
Megaproyek yang diproyeksikan selesai pada 2019 namun pemerintah merevisi jadi tahun 2025. Proyek tersebut rawan akan kembali molor ke tahun 2029.
“Hingga Agustus 2021, proyek ini baru mendekati 30 persen dengan 10.469 MW yang telah dilakukan commercial operation date (COD)”, jelas Erik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus aktivitas mencurigakan dalam kerja PLN.
Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir, sudah ada empat Dirut PLN yang tersandung korupsi. Mereka adalah Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir.
Terbaru, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) POLRI tengah menangani dugaan korupsi PLN.
Pejabat PLN Pusat telah dipanggil untuk dimintai keterangan. Proyek mangkrak ini ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 triliun.
“Masih tahap penyelidikan ya,” kata Arief Adiharsa, Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Kamis (6/3/2025).
PLTP Geotermal di NTT Mendapat Penolakan
Belum selesai dengan persoalan skandal korupsi yang sedang mendera, PLN kini dipusingkan dengan penolakan warga terhadap pembangunan PLTP Mataloko di Kabupaten Ngada dan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai, Flores, NTT.
Proyek ambisius PLN tersebut dinilai akan mengancam keberlangsungan hidup dan keutuhan alam ciptaan.
Uskup Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden secara tegas menolak eksplorasi geotermal yang ada di wilayah Keuskupan Agung Ende.
Mgr. Paulus menyebut eksplorasi geotermal tidak membawa asas manfaat, tetapi justru membawa petaka bagi masyarakat sekitar lokasi eksplorasi geotermal.
“Setelah mendengar sejumlah kesaksian dari sejumlah orang dari Sokoria dan Mataloko, dan pembicaraan dengan sejumlah imam, saya menentukan sikap menolak geotermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di tiga Kevikepan di Keuskupan Agung Ende,” ujarnya.
Senada dengan sikap Gereja dan warga di PLTP Mataloko, penolakan serupa juga terjadi di PLTP Poco Leok (perluasan PLTP Ulumbu).
Warga dan sejumlah elemen gerakan secara masif menolak pembangunan proyek tersebut.
Proyek ini dianggap telah mengabaikan dan mengorbankan hak ulayat dan hak masyarakat adat setempat.
Gelombang Demonstrasi Warga
Polemik penolakan Geotermal masif digaungkan oleh masyarakat setelah Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan pulau Flores, NTT sebagai Pulau Panas Bumi pada tanggal 19 Juni 2017.
Penetapan itu disahkan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 2268 K/30/MEM/2017.
Ancaman adanya proyek panas bumi ini mendapat penolakan dari masyarakat. Serangkaian aksi demonstrasi dilakukan.
Terbaru, lima elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) melakukan demontrasi di kantor DPRD dan Kantor Bupati Kabupaten Ngada, Rabu (11/3/2025).
Warga menuntut agar pemboran geothermal di Mataloko segera dihentikan karena telah merusak lingkungan dan ekosistem alam.
Aksi demonstrasi juga dilakukan di Kabupaten Manggarai. Warga bersama Serikat Pemuda NTT yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Poco Leok melakukan aksi demonstrasi pada Senin (3/3/2025).
Aliansi tersebut mendesak Bupati Manggarai mencabut SK penetapan lokasi. Mereka juga meminta bank KfW menghentikan pendanaan dan seluruh aktivitas proyek di Poco Leok.
Tidak hanya di daerah, aksi penolakan juga berlangsung secara nasional di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Flores Tolak Geotermal menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (12/3/2025).
Mereka meminta Kementrian ESDM melakukan audit dan mencabut SK penetapan Flores sebagai pulau panas bumi.
Mereka juga menyebutkan proyek geotermal Daratei Mataloko sebagai contoh nyata kegagalan, yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan.
Proyek tersebut telah menyebabkan kerusakan parah pada lahan pertanian, pencemaran sumber mata air, serta hilangnya habitat bagi berbagai makhluk hidup.
Hubungan sosial masyarakat adat dengan lingkungan budaya mereka pun turut terkoyak.
“Keberadaan lumpur dari dalam yang keluar tanpa henti meninggalkan rongga pada lempengan cincin api Flores, yang tentunya menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat,” ujar salah satu peserta aksi Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia.
Dugaan Korupsi PLN
Sikap ngotot yang ditunjukan oleh PLN dan Pemda menimbulkan dugaan terjadinya praktik korupsi dalam proyek Geotermal ini.
Praktisi Hukum, Siprianus Edi Hardum menilai, langkah Pemerintah menggandeng langsung PLN sebagai pemodal adalah pilihan yang keliru.
Edi menambahkan, tidak transparan dalam tahapan yang dilakukan adalah indikasi kuat terjadinya pelanggaran terhadap asas-asas Pemerintahan.
“Ini patut diduga Hery Nabit dan PLN melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada kongkalikong disana”, tutup Edi.
Terbaru, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama 17 Eksekutif Daerah di seluruh Indonesia dan Eksekutif Nasional WALHI melaporkan 47 kasus kejahatan lingkungan.
Laporan tersebut disampaikan WALHI kepada Kejaksaan Agung RI. Laporan ini mencakup kerugian negara serta dugaan praktik korupsi di berbagai sektor lingkungan hidup.
Salah satu dugaan korupsi yang dilaporkan terjadi di pembangunan proyek Geotermal Poco Leok.
Walhi mencium adanya indikasi penyalahgunaan wewenang oleh oknum pemerintahan yang terlibat dalam proyek tersebut.
“Geotermal Poco Leok di Kabupaten Manggarai diduga kuat sarat dengan tindakan korupsi oknum pemerintahan,” ujar Staf Walhi NTT dalam keterangan pers pada Sabtu (8/3/2025)
Untuk diketahui proyek pembangunan Geotermal di Flores, NTT telah dicoret dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Kabar tersebut berdasarkan rilis terbaru PSN yang ditetapkan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025-2029.
RPJMN tahun 2025-2029 tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada Senin (10/2/2025).
Sebelumnya, Tim Independen Bank Pembangunan Jerman (KfW) menemukan proses yang dilakukan oleh pemerintah dan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak sesuai standar lingkungan dan sosial internasional.
Karena itu, tim utusan bank tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek ini.
Mereka juga merekomendasikan pihak PLN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai untuk memperbaiki proses mendapatkan persetujuan masyarakat.
“Penentangan yang terus berlangsung dan konsisten dari masyarakat adat menunjukkan tidak tercapainya persetujuan yang tulus, dan PLN gagal dalam mengatasi keluhan dan kekhawatiran masyarakat secara efektif,” ujar salah satu utusan KfW.
Penulis: Patris Agat