Jakarta, Suaranusantara.co – Presiden Jokowi diminta menjadikan kasus HAM sebagai standar untuk menentukan Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto yang memasuki masa pensiun pada November 2021. Meskipun Jokowi sebagai kepala negara memiliki hak prerogatif dalam menunjuk panglima, diharapkan Presiden mendengarkan aspirasi publik terkait hal itu.
Menurut Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, aspirasi publik terkait pergantian Panglima TNI penting untuk dicermati. Alasannya, pemilihan panglima tidak hanya berimplikasi kepada dinamika internal TNI, namun juga kepentingan masyarakat pada umumnya.
“Kami menilai calon panglima TNI ke depan harus memiliki komitmen terhadap demokrasi, supremasi sipil, dan perlindungan serta pemajuan HAM. Pada konteks ini, Presiden harus betul-betul mencermati rekam jejak setiap calon Panglima TNI yang ada untuk memastikan dia tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM,” kata Gufron, Rabu (6/9/2021).
Imparsial meminta Presiden mencermati kasus pembunuhan aktivis Papua, Theys Hiyo Eluay, sebagai ukuran dalam menentukan Panglima TNI selanjutnya. Bahkan Jokowi bisa melibatkan lembaga-lembaga kredibel untuk menyeleksi calon panglima sebelum menyodorkan nama calon ke parlemen.
Gufron turut menyinggung pentingnya figur panglima bebas dari kasus HAM agar tidak menjadi beban dalam penyelesaian kasus-kasus HAM. Seperti, penyelesaian kasus Talangsari Lampung, Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus penghilangan paksa 1997-1998, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dan lainnya.
“Kendati proses pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden, Presiden sebaiknya tetap perlu mencermati serta mempertimbangkan berbagai pandangan dan saran yang berkembang di publik,” bebernya.
Selain itu, Presiden juga harus memastikan, sosok Panglima TNI yang diusung harus memastikan berjalannya reformasi TNI. Artinya, Jokowi diharapkan untuk menghindari nuansa politik kedekatan untuk menentukan calon panglima.
Gufron menyebut, Presiden bisa melakukan pendekatan normatif dan substantif. Pendekatan normatif dilakukan dengan mengedepankan rotasi antarmatra dalam menentukan calon panglima untuk menjaga stabilitas di lingkungan TNI.
Sedangkan pendekatan substantif dalam menentukan Panglima TNI, Presiden bisa melibatkan Komnas HAM, lembaga-lembaga terkait dan akademisi untuk menilai kualitas calon panglima TNI yang ada. Pendekatan normatif dan substantif lebih layak diterapkan dibanding pendekatan politik.
“Pendekatan politis memaknai pergantian Panglima TNI hanya sebagai pemberian jabatan bagi orang-orang terdekat di lingkaran kekuasaan, faktor pertimbangan utamanya adalah keuntungan politik,” ujar Gufron.