Oleh: Anna Saraswati FH Universitas Al-Azhar Indonesia
“Tidak semua orang suka teh atau kopi, begitupun terhadap filsafat. Pekatnya kopi yang telah diseduh atau mengeluarkan aroma teh tidak berarti mencirikan kenikmatannya. Layaknya pula mendalami filsafat, seseorang tidak serta-merta langsung paham, apalagi berubah seperti pecinta kebijaksanaan sebagai arti kata “philo” dan sophia” membutuhkan proses, dan proses menapaki dunia filsafat setidaknya tercermin dalam buku ini” (Prolog buku Sebelum Filsafat)
Saya ingat ketika baru ‘berkenalan’ dengan mata kuliah Filsafat Hukum. Keetika mendengar kata ‘filsafat’ saja, sesaat memori saya kembali ke bangku kuliah di Universitas Indonesia, saat saya berteman dengan beberapa mahasiswa Jurusan Filsafat, yang berambut gondrong, tidak peduli dengan penampilan, hanya ikut tersenyum dan bicaranya irit, kalau sedang kumpul-kumpul di sela istirahat jam kuliah.
Namun ‘mindset‘ saya berubah, saat menemukan sebuah buku berjudul Sebelum Filsafat (2013) karya Fahruddin Faiz, diantara deretan buku-buku perpustakaan Aksara Pinggir.
Buku yang bermula dari catatan kuliah pengasuh ‘Ngaji Filsafat’ di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta ini pada awal pembahasan menuturkan bahwa “Filsafat adalah kisah pergumulan dan perjuangan manusia dalam memahami dunia dan eksistensi, serta esensi hidupnya.”
Dengan gaya bahasa yang crunchy, penulis ‘Sebelum Filsafat’ mengalir bertutur dengan pilihan kosa kata yang ringan, sederhana dan mudah dipahami. Suguhan ini berbeda dengan kebanyakan materi ‘berat’ di literasi lainnya yang membahas Filsafat Hukum.
Menurut Faiz, filsafat menjadi stimulasi rasa keingintahuan dan pertanyaan mendasar, agar kita tidak mudah percaya begitu saja. Segala sesuatu yang kita lihat atau kita dengar mesti dipertanyakan kembali, bukan ‘asal telan’. Jadi. filsafat menantang manusia untuk tidak hidup secara mekanis, sekedar mengekor, taklid, atau mengalir tanpa arah.
Tantangan filsafat untuk menguji kehidupan yang kita jalani ini, kian menemukan relevansinya di era digital, dengan derasnya arus teknologi informasi. Sang guru ngaji memberikan contoh misalnya kita tidak langsung percaya begitu saja setelah membaca posting di media sosial, tapi harus menguji dulu kebenaran, kebaikan juga kemanfaatan ulasan tersebut.
Filsafat dapat memperjelas konsep dan menyusun argumen. Terlebih karena di sekitar kita banyak perdebatan yang terjadi karena konsep definisi dasarnya berbeda. Argumen yang dibuat dengan pemahaman dasar tentang filsafat berguna untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa?’. Sementara dalam perjalanan hidup setiap manusia banyak sekali sisa-sisa pertanyaan yang belum terjawab.
Faiz dengan ringan menuturkan bahwa pada akhirnya, filsafat membentuk pribadi bijaksana. Sebab apabila sudah kritis, manusia akan sampai pada kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu berada di atas kebenaran. Tidak jarang, kebenaran yang tidak disertai kebijaksanaan itu justru hasilnya kontra produktif. Filsafat itu ‘cinta kebijaksanaan’ sehingga dapat mengetahui timing, posisi, dan proporsi.
So, guys, ‘Sebelum Filsafat’ adalah buku yang wajib bagi mereka yang ingin mengenal lebih dekat dunia filsafat dari perspektif yang sederhana. Buku ini cocok untuk dipelajari oleh para pemula yang memiliki ketertarikan terhadap filsafat! Let’s go reading it!