Penulis: Anna Saraswati* FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Marbury vs Madison adalah kasus kontroversial yang menjadi tonggak bersejarah praktik judicial review di Mahkamah Agung AS (1803). Kasus ini menjadi bahan diskusi menarik saat perkuliahan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Fakultas Hukum UI Depok, bersama dosen pengampu, Mohammad Novrizal, SH. LL.M.
Terlebih saat ini, ketika banyak komentar pengamat politik tersebar di media, sesaat setelah Ketua MK, Anwar Usman, membahas tentang pemimpin muda. Sementara lembaga MK di saat yang sama masih sedang menguji gugatan batas usia capres dan cawapres.
Dosen menjelaskan tentang Teori Umum tentang Hukum dan Negara, dimana Hans Kelsen mengungkapkan bahwa penerapan UU dapat dijamin secara efektif, hanya jika ada organ selain badan legislatif (pembuat UU) yang dipercayakan untuk menguji apakah suatu UU bersifat konstitusional atau tidak, dan juga berwenang membatalkannya apabila UU tersebut dinyatakan inkonstitusional.
Sehingga terkait hal ini, menurut Kelsen, dapat dibentuk suatu badan khusus, misalnya pengadilan khusus (pengadilan konstitusi). Dengan kekuasaan yang dimilikinya, lembaga ini dapat mengontrol konstitusionalitas UU, atau melakukan peninjauan kembali (judicial review). Selain kepada pengadilan khusus, kekuasaan semacam ini dapat juga diberikan kepada pengadilan umum khususnya Mahkamah Agung, yang berarti tanpa membentuk peradilan konstitusi secara khusus.
Secara literal, judicial review merupakan pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim selaku pemegang kekuasaan yudisial, sehingga dikatakan bahwa hakim memiliki hak atau kewenangan menguji (toetsingsrecht). Pengujian ini dilakukan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Marbury vs Madison
Sejarah judicial review bermula ketika Presiden Quincy Adams (petahana) kalah melawan Thomas Jefferson dalam pemilu AS tahun 1800. Ketika itu, menjelang masa peralihan jabatan, Adams membuat beberapa keputusan penting, termasuk pengangkatan John Marshall sebagai hakim agung. Kemudian James Madison menggantikan jabatan Marshall yang sebelumnya, yakni sebagai Secretary of State.
Adams juga mengangkat para pejabat, yakni William Marbury, Denis Ramsay, Robert Townsend dan William Harper, sebagai hakim perdamaian (Justices of Peace) pada masa peralihan. Namun karena terdesak oleh waktu, proses serah terima salinan surat pengangkatan mereka belum terlaksana hingga periode peralihan tersebut berakhir. James Madison menahan surat pengangkatan Marbury dkk, Sehingga melalui kuasa hukum Charles Lee, mantan Jaksa Agung Federal, pihak Marbury dkk memperkarakan tindakan Madison (Desember 1801).
Marbury dkk meminta agar Mahkamah Agung Federal, dibawah pimpinan John Marshall, untuk memerintahkan pemerintah untuk melaksanakan ‘writ of mandamus’ atau menyerahkan surat-surat pengangkatan yang telah ditandatangani dan dicap resmi (sealed) oleh presiden sebelumnya. Namun pemerintahan Jefferson menolak permintaan ini, dan Kongres yang dikuasai kaum Republik mendukung pemerintah, bahkan mengesahkan UU yang menunda semua persidangan Mahkamah Agung selama satu tahun.
Mahkamah Agung akhirnya menyidangkan perkara Marbury vs Madison pada Februari 1803 yang jadi sorotan publik, Melalui putusan John Marshall yang ditulisnya sendiri, Mahkamah Agung membenarkan bahwa pemerintahan Quincy Adams telah memenuhi semua persyaratan yuridis sebelum mengangkat Marbury dkk, sehingga dianggap berhak atas surat-surat pengangkatan mereka menurut hukum.
Namun Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk memaksa pemerintah agar menyerahkan surat-surat yang diminta penggugat, sebab permintaan penggugat, agar pemerintah mengeluarkan ‘writ of mandamus’ sebagaimana ditentukan UU Peradilan AS (Judiciary Act) Tahun 1789 tersebut bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi AS.
Mahkamah Agung, di bawah pimpinan Chief Justice John Marshall, memeriksa perkara Marbury vs Madison, dan akhirnya menggunakan dalil melalui kewenangan yang ditafsirkannya dari konstitusi. Sehingga, meskipun dalam pertimbangannya membenarkan hak Marbury dkk adalah sah menurut hukum, namun gugatan Marbury dkk ditolak. Tapi yang lebih penting lagi, putusan tersebut justru membatalkan UU yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Section 2 Article III (UUD Amerika Serikat).
Dari sinilah berkembang pengertian bahwa Mahkamah Agung adalah lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution) yang bertanggungjawab menjamin agar norma dasar yang terkandung sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan.
Sehingga, menurut John Marshall, segala Undang-Undang buatan Kongres harus dinyatakan ‘null and void’ apabila bertentangan dengan konstitusi yang menjadi ‘the supreme law of the land’. John Marshall berperan penting dalam penyelesaian kasus Marbury vs Madison (1803) dengan memperkenalkan mekanisme ‘constitutional review’ atau ‘judicial review’ untuk yang pertama kalinya dalam perkembangan sejarah praktik peradilan di Amerika Serikat, bahkan juga di dunia.
PMM MBKM UAI
Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang dilaksanakan oleh Tim Unit Pelaksana Teknis (UPT) Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) memberikan kesempatan kepada mahasiswa UAI yang berminat turut serta (minimal semester 5) dalam kegiatan MBKM, baik Flaship Outbound maupun MBKM Mandiri.
Mahasiwa peserta dari kampus UAI yang lolos dapat mengikuti berbagai kegiatan program studi di luar kampus, seperti yang sudah berjalan di kampus Universitas Indonesia ini dalam program PMM.
Program PMM menjadi salah satu program favorit para mahasiswa. Tantangan yang harus dihadapi oleh peminat program MBKM adalah harus bersaing ketat dengan ribuan mahasiswa dari berbagai universitas lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Para mahasiswa peminat program MBKM harus berjuang untuk bisa lolos, mulai dari memenuhi persyaratan administratif dokumen hingga mengikuti serangkaian test dan prosedur dari masing-masing mitra Kemendikbudristek yakni perguruan tinggi negeri maupun swasta, dan perusahaan pemerintah maupun swasta yang terdaftar secara resmi sebagai mitra.
Mahasiwa peminat dapat memilih mitra melalui situs resmi MBKM Kemendikbudristek maupun berkoordinasi dengan Tim UPT MBKM Mandiri UAI. Namun demikian, hingga saat ini tercatat puluhan hingga ratusan mahasiswa peserta dari Kampus UAI yang sudah lolos test program MBKM dan berangkat menuju kampus-kampus dan perusahaan magang di berbagai tempat atau daerah, seperti di Malang, Yogya, Bandung, Jabodetabek, dan lain-lain, untuk program PMM, Magang Bersertifikat, Kampus Mengajar, bahkan KKN.
Kesempatan ini menggembirakan bagi mahasiswa yang lolos seleksi, karena berarti mereka memiliki kesempatan untuk belajar di lingkungan baru dengan kawan-kawan dan komunitas baru, sehingga dapat meningkatkan soft skill mereka. Selama mengikuti kegiatan MBKM, para mahasiswa peserta selalu dimonitor agar dapat dipastikan manfaatnya juga tingkat efektivitas kegiatan bagi peningkatan mutu pendidikan dengan bekal ilmu dan pengalaman yang bermanfaat.
_____________
*Anna Saraswati, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), mahasiswi peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) PKKM UAI di FH Universitas Indonesia