Jakarta, Suaranusantara.com – Sejauh mata memandang Campo de Fiori terlihat begitu indah. Sekumpulan orang bercengkrama, tertawa di tempat yang berarti “ladang bunga” tersebut. Di antara mereka, berdiri sebuah patung pria bertudung dengan wajah sedih. Tangan kanannya memegang sebuah kitab dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan. Itulah patung Giordano Bruno, seorang kosmolog, filosof, dan bekas biarawan Dominikan, yang dibakar hidup-hidup oleh Gereja Katolik pada 17 Februari 1600.
Di lansir Tirto, Rabu, 17 Februari 2021, peristiwa ini sengaja di rekam. Di bawah kaki patung Giordano Bruno, tertera keterangan (Qui dove il rogo arse – Di sinilah api berkobar) yang tugur di sana. Ini mengingatkan kita, manusia zaman ini, bahwa ada masa ketika para wakil Tuhan menghukum gagasan yang dianggap menyeleweng dengan cara menganiaya dan membunuh orang-orang yang menyampaikannya.
Dokumen-dokumen yang merekam enam belas interogasi Giordano Bruno selama ia di kurung oleh lembaga inkuisisi hilang tanpa sempat di bukakan kepada khalayak. Seperti yang di tulis Anthony Gottlieb di The New York Times pada Desember 2008, hingga kini, lebih dari empat abad sejak ia dibakar, kita tidak tahu untuk apa sebetulnya Bruno berkorban. Apa yang ia pertahankan dengan menolak “mengaku salah” sampai akhir.
Kadang Giordano Bruno di bicarakan sebagai penista agama. Bangsawan Venesia yang bernama Giovanni Mocenigo. Dalam suratnya kepada kantor inkuisisi pada Mei 1592 mengaku, telah mendengar Bruno berkata: 1) Kristus adalah tukang sulap. 2) Dunia kekal tetapi hukuman ilahiah fana. 3) Hosti tidak berubah jadi Tubuh Kristus. 4) Masak Perawan Suci bisa melahirkan? 5) Para biarawan adalah kutu-kutu kupret.
Mocenigo memang pernah bergaul rapat dengan Bruno. Ia menyewa jasa Bruno buat mengajarkan metode mnemonic atau “seni mengingat”nya yang termahsyur.
Hubungan Renggang
Namun, di kemudian hari, hubungan keduanya berubah jadi masam karena Mocenigo yang tak kunjung terampil merasa di tipu. Selain itu, ada pula desas-desus bahwa Bruno telah main gila dengan istrinya.
Laporan Mocenigo bukan persinggungan pertama Bruno dan inkuisisi. Bertahun-tahun sebelumnya, saat ia baru berumur 27 tahun, Bruno mendengar bahwa lembaga angker itu sedang menyelidikinya karena pilihan bacaannya. Termasuk, satu eksemplar Commentaries, karya Erasmus, pemikir yang getol menuntut reformasi Gereja Katolik dan penuh marjinalia yang ditemukan di kamar mandinya.
Ia juga di selidiki karena gagasan-gagasan yang ia sampaikan dalam perdebatan dengan koleganya. Dalam perdebatan itu, ia mempertahankan penalaran seorang paderi abad keempat yang menyatakan bahwa Kristus tidak sepenuhnya Ialhi.
Bruno yang ketakutan mencampakkan jubah biarawannya. Ia kabur, lalu bertualang ke Jenewa, Toulouse, Lyon, Paris, London, Oxford, Wittenberg, Praha, Helmstedt, Frankfurt, dan Zürich. Ia tidak pernah menetap di satu kota selama lebih dari tiga tahun, sebelum akhirnya ia kembali memenuhi undangan Mocenigo.
Bagi otoritas Gereja, pelarian Bruno ialah pengakuan. Mereka memecat dan mengucilkannya in absentia. “Tetapi bagi Bruno, itu adalah pembebasan,” tulis Joan Acocella di The New Yorker.
“Dan ia pun menjadi orang yang kita kenal, atau yang kita kira kita kenal: pemikir bebas, tukang menyebarkan kesesatan, orang yang bakal dihukum bakar hidup-hidup,” katanya lebih lanjut.
Salib
Konon, sesaat sebelum unggunan disulut, seseorang menyorongkan salib kepada Bruno. Namun ia memalingkan wajahnya dengan dongkol. Cerita lain mengisahkan, waktu itu ia hanya menggeram dan gemetar serta kesakitan karena Gereja telah memaku lidahnya. Gereja khawatir, ia bakal menghasut massa dengan kemampuan wicaranya yang luar biasa.
Kadang Bruno dibicarakan sebagai martir ilmu pengetahuan. Bruno menyusun sebuah sistem kosmologi selama lima belas tahun pelariannya. Prinsip pertama dalam pemikiran itu adalah heliosentrisme atau pandangan bahwa pusat semesta ialah matahari, bukan bumi.
Gagasan itu, kita tahu, mula-mula disampaikan oleh astronom Polandia Nicolaus Copernicus pada 1543, lima tahun sebelum Bruno lahir. Di luar pertukaran peran bumi dan matahari, semesta yang dibayangkan Copernicus tidak jauh beranjak dari geosentrisme Ptolemy yang diyakini Gereja.
Struktur yang terdiri dari benda-benda langit yang itu-itu saja, yang mengitari sebuah pusat dalam lingkaran-lingkaran konsentris. Sementara semesta yang dibayangkan Bruno adalah tanpa batas.
Matahari kita, katanya, cuma satu dari yang banyak – yang tak terhitung—dan di luar sana boleh jadi ada kehidupan-kehidupan lain. Ketidakterbatasan itu pun bukan gagasan baru. Seabad sebelum Bruno, kardinal dan matematikus Jerman, Nicholas dari Cusa telah mengajukan gagasan serupa. Bedanya, Bruno menambahkan bahwa semesta ialah sesuatu yang tak terpahami dan seluruh teori tentangnya, termasuk teori yang ia susun, hanyalah sebuah “pendekatan” alih-alih “penggambaran.”
Terakhir, Bruno menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta terdiri dari partikel-partikel yang identik (ia menyebutnya “bibit-bibit”) sebagaimana pernah disampaikan oleh sejumlah pemikir sebelum dia. Namun, menurutnya, bibit-bibit itu bukan hanya menyusun makhluk dan benda-benda, tetapi juga Tuhan.
Bumi pusat semesta
Pada masa itu, tulis Acocella, Gereja mengajarkan bahwa Bumi adalah pusat semesta. Di sini orang bekerja untuk keselamatan. Kemudian, seandainya ada kehidupan di planet-planet yang jauh, universalitas ajaran agama-agama bumi jelas akan tergerus.
Orang bisa bertanya, apa peduli para penghuni planet lain terhadap ajaran rasul-rasul yang seluruhnya lahir di bumi, yang tidak pernah bicara tentang mereka? Dan terakhir, iman agama-agama Abrahamik, termasuk Kristiani, menempatkan Tuhan sebagai entitas esa yang tak dapat disamakan dengan apa pun.
Namun, faktor yang mengunci nasib buruk Bruno adalah situasi zamannya. Pada masa Nicholas dari Cusa, kata Gottlieb, Gereja Katolik belum terdesak oleh “kesesatan Protestan” dan dapat bersikap toleran terhadap pandangan-pandangan yang kurang jamak. Seabad setelah Bruno, penulis Prancis Bernard le Bovier de Fontenelle bahkan mempopulerkan gagasan “kejamakan dunia”. Sayang, hukuman yang ia dapatkan “hanya” pelarangan atas bukunya.
Kepala tim petugas inkuisisi yang menangani kasus Bruno adalah seorang Jesuit bernama Roberto Bellarmino. Menurut pakar Renaisans Ingrid Rowland dalam bukunya Giordano Bruno: Philosopher/Heretic (2008), Kardinal Bellarmino yang kelak, pada 1930, di angkat menjadi santo itu pernah berkata, “Saya hampir tak pernah membaca buku tanpa keinginan menyensornya habis-habisan.”
Pada 1615, Bellarmino menulis, “Pengakuan bahwa matahari … hanya berotasi tanpa berpindah dari timur ke barat, dan bahwa planet kita terletak di lingkaran ketiga dan mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa, adalah hal yang sangat berbahaya. Itu … mencederai iman suci kita dan mengesankan bahwa teks-teks suci berdusta.”
Teks Suci
Teks-teks suci itu, ujar Bellarmino, bersepakat secara harfiah bahwa bumi cuma bercokol di tengah semesta dan mataharilah yang berkeliling. Menolak pandangan itu, “sama sesatnya dengan menolak bahwa Ibrahim mempunyai dua anak dan Yakub mempunyai dua belas, sama keblingernya dengan menolak kelahiran Yesus dari perawan suci. Sebab hal-hal itu di nyatakan secara langsung oleh Roh Kudus melalui mulut para rasul dan murid-murid mereka.”
Celaka bagi Bruno, celaka pula bagi Galileo Galilei. Romo Niccolo Lorini, dalam laporannya kepada kantor inkuisisi menggambarkan tulisan-tulisan Galileo sebagai upaya sang ilmuwan dan para pengikutnya untuk menafsirkan ulang Alkitab. Itu berarti pelanggaran terhadap Konsili Trente, katanya, dan “agaknya berbahaya seperti Protestanisme.”
Kita tahu kelanjutan cerita itu. Gereja Katolik terus-menerus mengusik dan menekan Galileo. Alasannya, “ada kecurigaan keras bahwa ia sesat”, sebelum memenjarakannya hingga mati pada 1642. Kita membayangkan temuan-temuan yang mungkin di hasilkan Galileo seandainya ruang geraknya tak di batasi.
Pada 1992, Vatikan mengumumkan permintaan maaf kepada masyarakat dunia dan mengakui bahwa Galileo benar. Pada 2000, Kardinal Angelo Sodano, Menteri Luar Negeri Vatikan, berkata bahwa Gereja menyesal karena dulu telah menggunakan kekerasan dalam menangani kasus Bruno—sekalipun hingga kini mereka tetap menganggapnya sesat.
Apakah permintaan maaf dan pengakuan dosa itu berguna buat Galileo Galilei dan Giordano Bruno? Tentu tidak. Tetapi ia berguna bagi kita. Ia mengingatkan kita bahwa keyakinan, yang rambu-rambunya di tetapkan oleh para wakil Tuhan di dunia, bisa salah. Dan, setiap yang bisa salah semestinya tidak menghukum orang dengan cara merampas darinya hal-hal yang tak terkembalikan.