Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Dosen Program Magister Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.com – “Filsafat Metafisika mendapat tempat yang begitu kuat dan luhur di dunia filsafat timur, bahwa setiap benda selalu dilihat bukan saja atas wujudnya melainkan juga makna yang terkandung di dalamnya.”
Menolak Tahayul
Filsafat mengajak manusia untuk melepaskan diri dari relasi tahayul dan mitos. Ia mengajarkan manusia untuk mencapai kebenaran melalui sarana yang logis dan rasional. Manusia berupaya membangun kesadaran baru bahwa dasar pijak sebuah kebenaran haruslah dapat diterima secara akal. Untuk itu maka manusia dituntut untuk selalu menguji setiap kebenaran yang datang, melakukan uji falsifikasi, bahwa kita layak meragukan bahwa segalanya adalah benar. Tidak sekedar menerima kebenaran jika hanya berpedoman pada asumsi yang belum terbukti. Asumsi hanyalah pintu awal untuk kemudian diuji dengan beragam metode uji untuk akhirnya dapat dinyatakan sebagai hal yang benar.
Ide Filsafat Eropa tidak lepas dari pengaruh kekuatan filsafat positivisme yang menyatakan bahwa kebenaran adalah ketika anda telah mampu meletakkan rasionalitas nan logis dalam setiap pikiran dan sikap tindak. Aliran positivisme yang muncul di Eropa sekitar abad XVIII-XIX telah mampu merubah cara pandang manusia Eropa untuk berpijak pada fakta, ilmu pengetahuan yang logis (Syarifudin, 2015). Hal ini mengakibatkan manusia tidak lagi melandaskan setiap pemikiran dan tindakan semata pada asumsi atau bahkan mitos-mitos tertentu, seperti mitos dalam mitologi Yunani (Muhammad, 2021).
Filsafat yang rasional juga didukung oleh gerak pancaindera sebagai sebuah sarana pencapaian kebenaran. Fakta bahwa objek adalah benar selain diterima akal, juga diserap oleh pancaindera ragawi. Di sinilah kita menguji segala hal yang datang ke dalam diri, apakah ia merupakan hal yang benar atau memang patut kita tolak sebagai sebuah kebenaran secara argumentatif. Manusia terus mengembangkan kemampuannya dan bergerak untuk mencari beragam kebenaran yang baru untuk mengganti kebenaran yang dianggapnya telah using. Dinamika akal fikir yang penih keraguan rupanya mampu membawa manusia ke sebuah zaman yang semakin maju.
Filsafat yang menuntun manusia untuk memecahkan beragam pertanyaan secara mendasar baik gerak semesta alam, perubahan sel organisme, hingga relasi humanisme manusia. Pertanyaan itu terus menantang manusia untuk tidak berhenti mencari kebenaran-kebenaran yang selalu baru. Spekulasi juga acapkali menghadang karena kebenaran yang diharapkan juga acapkali tidak ditemui, inilah relativitas akal manusia yang tumbuh terus sesuai pertumbuhan peradaban umat manusia di bumi.
Spiritualitas dan Kearifan Manusia
Pertanyaan yang juga muncul dalam benak akal manusia adalah sejauhmanakah ia mampu menerima konsep-konsep metafisika dalam dirinya? Metafisika merupakan pemahaman filosofis bahwa sebuah objek hadir tidak saja dilihat dalam gerak fisik objek, melainkan juga makna yang tersemat dalam objek tersebut. Metafisika merupakan filsafat yang mengkaji segala yang berada dibalik atau dibelakang gejala-gejala fisik. Metafisika menelaah sebuah sistem yang terdalam dari sebuah kenyataan dan keberadaan (Mustansyir, 1997).
Meja bukan sekedar dilihat dari bentuk serta kekuatan meja, melainkan juga makna yang tersemat atas objek meja tersebut. Hakikat ia disebut meja, mengapa ia disematkan nama meja, apakah berkaitan dengan fungsi kerja objek ataukah ada alasan lain yang lebih rasional?
Arif berasal dari Bahasa Arab yang mengandung makna bijak, bahwa seseorang memiliki sebuah pilihan-pilihan tindakan tertentu didasari atau dilandasi oleh sebuah perilaku yang bijak. Dalam perspektif filsafat, bijak juga menjadi sebuah landasan dalam bersikap serta bertutur-kata. Bahwa filsafat sendiri juga bermakna orang yang mencintai hal yang bijaksana. Bagaimana kita menyatakan bahwa seseorang telah mencapai sebuah taraf yang bijaksana? Dalam ukuran filsafat Eropa, rasionalitas menjadi sebuah ukuran untuk menyatakan seseorang telah mencapai sebuah kebijaksanaan,
Dalam pendekatan Filsafat Metafisika, manusia mencoba memahami melampaui hadirnya sebuah objek. Bahwa ketika seseorang melihat sebuah benda, ia mencoba melampaui dari apa yang ia lihat atas wujud objek tersebut. Filsafat Metafisika mendapat tempat yang begitu kuat dan luhur di dunia filsafat timur, bahwa setiap benda selalu dilihat bukan saja atas wujudnya melainkan juga makna yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh sederhana jika anda hendak memberikan nama bagi seorang anak yang akan lahir, maka anda akan memberikan nama bagi anak itu dengan makna-makna tertentu yang mengandung doa dan harapan. Nama anak seperti Muhammad, kemudian nama sahabat Nabi, ataupun nama-nama dalam Bahasa Jawa memiliki sebuah kehendak dari pemberi nama bahwa anak yang dilahirkan akan sesuai dengan harapan dan doa dari orangtuanya. Dalam filsafat timur tidak kita kenal istilah what is the name? (Apalah arti sebuah nama?) seperti yang diungkap oleh pujangga Inggeris William Shakespeare (1564-1616).
Metafisika Spriritualisme
Salah satu cabang Filsafat Metafisika adalah Metafisika Spriritualisme yang mencoba menelaah ruh, ide, dan segala gejala-gejala spiritualitas manusia. Spiritualisme adalah aliran filsafat yang berkaitan dengan gagasan keruhanian (Nur, 2013). Spiritualisme juga dimakna sebagai jiwa atau sesuatu yang bersifat imateriil yang memiliki kehendak dan kesadaran serta kecerdasan (Kurnisar, 2015).
Metafisika Spiritualisme bukanlah semata mistisisme atau bahkan klenik. Metafisika adalah sebuah pemahaman tentang apa dibalik yang ada, bahwa sesuatu yang ada memberikan makna tertentu. Bahwa sebuah objek benda tidak sekedar dapat dilihat semata dari hadirnya, melainkan juga dari setiap makna yang coba dihadirkan oleh setiap yang menatapnya. Metafisika juga mampu menjelaskan secara ilmiah mengenai eksistensi ada Tuhan bagi manusia. Bahwa kebutuhan atas sebuah kekuatan agung yaitu Tuhan dapat dijelaskan melalui metafisika.
Metafisika Spiritualisme sebagai cabang Filsafat Metafisika memberikan landasan yang lebih rasional bagi eksistensi Ketuhanan yang selama ini selalu diselimuti oleh kabut pengetahuan. Pemahaman manusia atas eksistensi Tuhan dan segenap kekuatan Adi Kodrati hadir secara lebih rasional dan menghindarkan manusia dari mitos-mitos. Walau Tuhan berada dalam alam keyakinan, akan tetapi ia mendapat tempat yang lebih mudah difahami secara epistemologis oleh nalar manusia.
Pendekatan Anselmus
Anselmus (1033-1109) seorang filsuf dan teolog menjelaskan bahwa rasionalitas akal manusia selalu membutuhkan ide tentang suatu yang sempurna. Bahwa akal manusia hanya mampu mencapai sesuatu yang terbatas dan relatif, maka akal akan menerima bahwa dibalik sesuatu yang terbatas ini tentunya ada yang tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas atau mutlak itu menjadi dasar dari lahirnya sesuatu yang bersifat relatif dan terbatas ini (Khoiriyah, t.t.).
Sesuatu yang tidak terbatas atau absolut secara logis menjadi dasar dari lahirnya segala sesuatu yang terbatas dan relatif. Dan sesuatu yang tidak terbatas adalah Tuhan itu sendiri, sedangkan yang terbatas dan relatif adalah selainNya.
Tuhan dibutuhkan oleh manusia sebagai Zat Yang Maha, yang tidak ada yang lebih besar lagi dariNya, yang dengan itu manusia tunduk dengan arif untuk mengendalikan segala kemanusiaannya dihadapanNya. Bahwa segenap norma dan sistem etik hidup manusia tidak mampu melampauiNya, dan segala selainNya tunduk pada dan dihadapanNya. Maka tidak ada selainNya, dan Dia ada bukan hanya ada di dalam alam pikiran manusia, tetapi Dia dalam adaNya. Ketika tidak ada norma dan segenap norma dihadapanNya yang lebih besar dariNya, maka Tuhan adalah maksimal dalam segenap kebesaran dan kesempurnaanNya. Disinilah manusia menundukkan dirinya pada kesempurnaanNya, dan segenap norma etik terbangun untuk dan menuju padaNya.
Dalam pendekatan Anselmus maka dapat dijelaskan bahwa kearifan manusia muncul sebagai bentuk dari nilai kepatuhan terhadapNya yang disebarluaskan kepada sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Kearifan manusia dalam perspektif Anselmus merupakan ide relatif karena ia diwujudkan oleh sebuah nilai dinamis. Pada sisi lain terdapat sebuah ruang absolut yang terbatas, segala yang tak terbatas ini menjadi sebuah landasan logis bagi lahirnya kearifan manusia. Maka kearifan manusia selalu bertumpu pada nilai-nilai absolut Tuhan itu sendiri.
Spititualisme
Dalam perspektif Ibn Arabi (1165-1240), Tuhan memiliki kedekatan dengan hambaNya, Keesaan dan KeagunganNya itu tertanam dalam diri setiap manusia dalam bentuk ruh yang tak terbaca oleh pancaindera. Kedekatan ini tidak berarti bahwa manusia mendekat dalam makna jarak materi fisik, melainkan kedekatan dalam jiwa dan hatinya yang selalu meletakkan Tuhan dalam dirinya (Maulana, 2018).
Dalam perspektif metafisika al-Ghazali (1058-1111) rasionalitas akal manusia memiliki keterbatasan dalam mempersepsi alam, sedangkan naql (Qur’an dan Hadits) melampaui segala keterbatasan itu. Akal bagi al-Ghazali diletakkan sebagai pendukung atau penopang bagi naql (Atabik, 2014). Inilah sesungguhnya puncak konsep spiritualisme, yaitu ketika manusia mampu meletakkan Tuhan dalam dirinya.
Tuhan dan segala yang berkaitan dengan keyakinan spiritualisme merupakan sebuah kebutuhan intuitif manusia. Kebutuhan akan sebuah kekuasaan yang melindungi manusia dari segala ancaman bahaya merupakan hal yang layak dan tidak dimatikan oleh nalar rasional, karena kebutuhannya adalah bersifat spiritual. Kekuaasan adi kodrati atas semesta alam menunjukkan bahwa manusia bukanlah makhluk utama dengan konsep antroposentrisnya yang mengendalikan semesta alam. Bahwa kebutuhan atas sebuah kehendak adi kodrati menjadi kebutuhan yang paling dalam bagi manusia.
Tatanan alam semesta bergerak disebabkan oleh sesuatu, dan sesuatu yang menjadikan segalanya ada tampaknya bukanlah sebuah spekulasi, disinilah ide tentang Tuhan memasuki ranah nalar manusia. Bahwa hadirnya entitas Zat Yang Maha Agung menjadikan manusia menundukkan segala karakter antroposentrisnya dan menjadikan manusia berbuat dan bertindak lebih arif. Antroposentrisme telah menjadikan manusia menjadi selalu besar dan selalu benar, maka harus ada yang lebih besar dan sempurna dibandingkan manusia itu sendiri untuk menciptakan sebuah kearifan akal budi.
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thaha [20]: 14)