Jakarta, Suaranusantara.co – Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP) sukses menggelar seminar nasional yang bertajuk ‘Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Bisakah Diterapkan dalam KUHP Baru?’ secara luring dan daring, Selasa (01/06).
Kegiatan ini bertujuan untuk membedah issue dan menghadirkan para pakar ilmu hukum, mulai dari Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, hingga Guru Besar Universitas Pancasila, dan dihadiri oleh akademisi dan praktisi hukum.
Seminar dibuka oleh Dekan FHUP, Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum FHUP, Prof. Dr. M. Hatta, S.H., M.H.
Keynote Speaker, Wamenkumham, Prof. Dr, Eddy Hiariej, S.H., M.Hum menyampaikan tentang berbagai kendala yang besar dalam upaya perampasan aset hasil tindak pidana, karena pelaku menyembunyikan hasil tindak pidana itu di luar negeri. Ini menyebabkan penelusurannya untuk tujuan asset recovery mengalami berbagai tantangan yuridis karena perbedaan aturan hukum.
Proses hukum diwarnai perdebatan yang memakan waktu hingga berbulan-bulan, namun mengambil contoh tindak pidana hasil korupsi yang ada di negara Phillipina dan Peru, asset recovery tidak pernah banyak, bahkan kurang dari 40%.. Sehingga RUU Perampasan Aset yang diajukan Pemerintah kepada DPR mencoba untuk mengantisipasi hal tersebut.
Putusan Hakim dalam Permohonan Perampasan Aset
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, Dr. H. Suhadi, S.H., M.H., menyampaikan paparan bahwa perampasan aset yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia belum secara komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan aset hasil tindak pidana, karena hanya mengatur perampasan aset melalui proses pidana dan tidak secara tegas mengatur perampasan aset tanpa pemidanaan.
Paparan ini menggarisbawahi bahwa perampasan aset tanpa pemidanaan sangat penting karena hukum pidana yang berlaku di Indonesia cenderung masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidananya, menemukan pelakunya dan menghukumnya. Jadi hanya terbatas penjatuhan sanksi pidana badan (penjara) tapi penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana masih belum menjadi bagian penting.
Perampasan aset dalam KUHP Baru merupakan bagian dari pidana tambahan (perampasan aset in personam) sehingga perampasan aset yang tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut RUU Perampasan Aset, tidak dapat diterapkan KUHP Baru, meskipun dalam KUHP Baru telah memperluas obyek perampasan sebagaimana diatur dalam Pasal 91 dan 92 KUHP Baru.
Perampasan Aset oleh Penyidik
Paparan dilanjutkan oleh Kasubdit 1 Dittipidkor Bareskrim Polri, KBP Ahmad Sulaiman, S.I.K., M.H., yang membahas tentang Non Conviction Based Asset Forfeiture atau Perampasan Perdata/atau Perampasan In Rem (Perampasan Obyek) yang merupakan tindakan terhadap aset itu sendiri dan tidak terhadap seorang individu.
Titik tekan dari perampasan in rem adalah mengungkap hubungan antara aset dengan tindak pidana, bukan hubungan antara aset dengan pelaku. Yang pada KUHP baru dapat diberlakukan pada kejahatan bermotif ekonomi antara lain Korupsi, Narkotika, Perbankan, Kehutanan dan Sumber Daya Alam, Penipuan, Penggelapan, Pencucian Uang, dll. Sehingga diutamakan perampasan asset melului proses pidana, dikecualikan adanya kondisi sebagaimana draft UU Pasal 7.
Penelusuran Aset oleh Kejaksaan
Kasubdit Pelacakan Aset dan Pengelolaan Barang Bukti, Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Arip Zahrulyani, S.H., M.H., menyampaikan paparan terkait Pasal 64 yang mengatur mengenai adanya pidana tambahan, yang terkait dengan Pidana pokok; Pidana tambahan; dan Pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ada dalam Undang-Undang.
Sementara Perampasan Aset dana KUHP Baru Pasal 66 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 huruf b terdiri atas Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, sedangkan Pasal 66 ayat (2) berbunyi, Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.
Penyitaan yang dilakukan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Pandangan Ahli Hukum Pidana
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, yang juga menjabat selaku Anggota MKKE BPK RI dan Sekretaris PDIH FHUP, Prof. Dr. Agus Surono, S.H., M.H., menyampaikan paparan yang diawali dengan latar belakang urgensi perlunya UU Perampasan Aset, diantaranya bahwa UU Perampasan Aset untuk melaksanakan ketentuan dalam Bab V United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Perampasan Aset dalam sistem hukum pidana dan hanya dapat dilaksanakan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana ditentukan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kualifikasi nilai aset yang dapat dirampas berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset adalah:
- Aset Tindak Pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas: a. Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah); dan b. Aset yang terkait dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
- Perubahan nilai minimum Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah
Sementara Pasal 12 ayat (1) KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023) menyatakan bahwa Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan, dan Pasal 12 ayat (2) KUHP menyatakan Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundangundangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
RUU Perampasan Aset dapat diterapkan untuk semua jenis tindak pidana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa RUU Perampasan Aset dapat dimasukkan ke dalam KUHP Baru. Meski banyak delik yang tersebar dalam berbagai pasal dan bab, namun pada intinya, bahwa setiap tindak pidana yang ada motif ekonominya, maka RUU Perampasan Aset dapat diterapkan.
Jadi yang terpenting adalah menemukan unsur yang merugikan perekonomian negara, bukan hanya korupsi saja, tetapi semua tindak pidana, bukan hanya bagi negara tetapi juga masyarakat, yang kemudian dikelola sesuai mekanisme undang-undang Perampasan Aset untuk dikembalikan lagi demi kepentingan masyarakat. Inilah nilai filosofis yang menjadi dasar pemikiran RUU Perampasan Aset.
Seminar nasional ini mencuri perhatian karena topik yang diangkat memang menjadi atensi dari berbagai kalangan, bukan hanya akademisi dan praktisi hukum saja tapi juga masyarakat umum yang ingin mengetahui lebih jauh tentang perkembangan penegakan hukum di Indonesia. Selama berjalannya seminar, pertanyaan diajukan oleh peserta dengan antusias, karena wacana pengetahuan ilmu hukum yang disampaikan juga memperluas wawasan para peserta, baik dari sisi pandang praktisi maupun ahli hukum pidana(*)