Oleh: Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Berlin, Suaranusantara.co – Chauvinisme di Eropa. Ekonomi menjadi unsur yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial politik sebuah negara. Keruntuhan atau kekacauan ekonomi dapat dengan mudah meruntuhkan pula stabilitas sebuah negara.
Jerman adalah sebuah negara di Eropa dengan tingkat nasionalisme yang sangat tinggi. Semboyan yang sangat terkenal, Deutschland über alles — yang artinya ‘Jerman di atas segalanya’ secara positif menunjukkan tingginya jiwa nasionalisme. Namun pada sisi lain kalimat ini juga beraroma chauvinistik bahkan mengusung ide rasialisme yang cukup kuat.
Perlu diakui bahwa bangsa Jerman adalah bangsa yang kokoh dan unggul dalam beberapa bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan olahraga. Penguasaan ilmu pengetahuan teknologi melambangkan keunggulan kecerdasan akal (internal), sementara olahraga melambangkan keunggulan fisik (eksternal). Dalam bidang filsafat, aliran filsafat Jerman sangat berkarakter logis dan rasional dibandingkan aliran filsafat Perancis yang cenderung estetik. Keunggulan serta superioritas bangsa Jerman ini dibuktikan pada era Perang Dunia 1 dan 2, ketika ia seorang diri menghadapi perlawanan gabungan pasukan aliansi sekutu.
Chauvinisme di Jerman muncul ke permukaan di era tahun 1933 ketika Partai Nazi hadir meramaikan kancah politik Jerman. Kemunculan ini sebagai dampak dari melemahnya ekonomi Jerman akibat Perang Dunia I. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) menghukum Jerman yang kalah perang untuk membayar kerugian kepada negara pemenang perang. Hal ini menimbulkan keruntuhan ekonomi dalam negeri Jerman sehingga bangsa ini perlu bangkit dari keterpurukan, dan pemimpin politik Jerman dianggap gagal melakukannya.
Adolf Hitler tampil dengan menuangkan ide kebangkitan Jerman melalui bukunya Mein Kampf (Perjuanganku). Dalam buku itu Hitler menuliskan segala kegerahannya atas kondisi keterpurukan bangsa Jerman. Ia menuliskan pemikirannya tentang antisemitisme hingga rasisme yang memandang rendah bangsa lainnya. Mereka adalah kelompok-kelompok yang dianggap telah membuat bangsa Jerman terpuruk.
Kemunculan ideologi rasis dan chauvinistik ini menghancurleburkan Eropa ke dalam Perang Dunia II. Dendam Hitler atas kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I atas Perancis dan sekutunya tumpah ruah dalam palagan Perang Dunia II.
Dampak Chauvinisme
Chauvinisme terbukti telah menghancurkan nilai kemanusiaan, dan kini ide dan semangat ultra nasionalisme bangkit kembali di kalangan warga Jerman akibat memburuknya ekonomi negara tersebut. Covid-19 berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi Jerman, hal ini semakin diperburuk dengan munculnya ancaman Rusia terhadap Jerman atas dukungannya kepada Ukraina.
Lemahnya kondisi ekonomi ini membangkitkan semangat ultra-nasionalisme sayap kanan Jerman. Kini Jerman menghadapi kebangkitan sayap ultra nasionalisme yang cukup mengkhawatirkan dalam hubungan antar kelompok sosial di Jerman. Rasisme dan sentimen orang asing mulai melonjak di Jerman. Penelitian Universitas Bielefeld Jerman menunjukkan bahwa 8% responden yang disurvey setuju dengan pandangan ekstremis sayap kanan, yang sebelumnya berada di kisaran 2%. Bahkan terdapat 5% responden yang mendukung munculnya sistem diktator pada pemerintahan Jerman (Detik, September 2023).
Lembaga Berita Deutsche Welle melaporkan bahwa kelompok-kelompok Neo-Nazi telah melipatgandakan kegiatan pawai mereka guna menolak kebijakan bagi orang asing, pengungsi, imigran di Jerman. Sebanyak 110 pawai besar dijalankan oleh kelompok Neo-Nazi dan kelompok-kelompok sayap kanan Jerman guna mendorong Jerman lebih aktif menolak kehadiran pengungsi dan imigran di Jerman (DW.com, Agustus 2023). Berdasarkan catatan Kepolisian Jerman sepanjang tahun 2022 kelompok sayap kanan dan Neo Nazi bertanggungjawab atas terjadinya 23.493 tindak kejahatan di Jerman, dan sebanyak 610 kejahatan diantaranya berkaitan dengan kebencian terhadap kelompok komunitas Muslim di Jerman (aa.com.tr., September 2023).
Kebangkitan Sayap Kanan Polandia
Tidak hanya Pemerintah Jerman yang dipusingkan dengan munculnya gerakan sayap kanan berideologi ultra-nasionalisme, Polandia juga turut resah dengan bangkitnya gerakan sayap kanan tersebut. Michael Duffin dalam penelitiannya yang berjudul: Poland’s Evolving Violent Far Right Landscape yang dipublikasikan pada September 2022 melaporkan bahwa Kelompok sayap kanan yang berideologi fasis di Polandia terdiri atas kelompok pendukung Neo Nazi, kelompok Ultra-Nasionalis, kelompok neo-fasis, hingga pendukung klub sepakbola (hooligans) Polandia.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa kelompok-kelompok radikal ultra-nasionalis tersebut mulai memerangi warga asing dan minoritas termasuk kaum muslim Polandia yang berjumlah sekitar 10.000 orang. Mereka mulai melakukan serangan terhadap beberapa masjid di Polandia. Kelompok ini awalnya muncul pada tahun 1989 sebagai sebuah gerakan perlawanan terhadap sistem komunisme di Polandia yang saat itu tengah berkuasa.
Kelompok sayap kanan ini menolak masuknya imigran dan kelompok-kelompok minoritas yang mereka anggap merusak nilai-nilai tradisional masyarakat Polandia. Mereka ini muncul semakin aktif akibat melemahnya kondisi ekonomi yang melanda sebagian warga. Mereka menganggap bahwa para pendatang termasuk di dalamnya para pekerja dan pelajar asing telah mengambil alih pekerjaan di Polandia yang seharusnya dikuasai oleh warga lokal.
Faktor Ketimpangan Sosial Ekonomi
Invasi Rusia terhadap Ukraina semakin meningkatkan semangat anti orang asing di Polandia, merekapun telah bersiap jika Rusia sampai menginvasi Polandia. Hal ini semakin meningkatkan ide kaum sayap kanan tersebut untuk membentuk pasukan paramiliter guna menangkal ancaman asing Rusia atas Polandia.
Laporan penelitian Duffin di atas juga menjelaskan bahwa Polandia menjadi tempat menarik bagi para kelompok sayap kanan di seluruh negara Eropa, karena Polandia mempresentasikan masyarakat homogen kulit putih Eropa. Sejak tahun 1990 berbagai kelompok sayap kanan dan Neo-Nazi dari Jerman, Ceko, Hungaria Slovakia, dan negara sekitar Polandia berkumpul di Polandia untuk menghadiri konser musik Neo-Nazi. Tidak hanya konser musik, tetapi juga dimeriahkan oleh pertunjukan beladiri bertajuk “MMA Whites Only” dan diselenggarakannya kegiatan pelatihan paramiliter.
Munculnya kelompok sayap kanan dengan ideologi fasis ultra-nasionalisme yang menolak keragaman sosio kultural umumnya lebih disebabkan oleh hadirnya ketimpangan sosial-ekonomi diantara kelompok sosial yang ada. Mundurnya ekonomi sebuah negara menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan ultra-nasionalisme di beberapa negara Eropa. Mereka beranggapan bahwa kaum pendatang telah mengambil lapangan kerja yang seharusnya dikuasai oleh warga lokal, khususnya dalam hal ini yang terjadi di Jerman dan Polandia.