Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Skandal Iran-Contra adalah peristiwa yang terjadi pada periode tahun 1985-1987. Meski sudah lama terjadi, namun menjadi hal menarik untuk diamati apabila dikaitkan dengan peristiwa konflik Palestina-Israel yang tengah terjadi saat ini.
Skandal Iran-Contra merupakan hal yang paling mengejutkan di era abad XX yang melibatkan Amerika Serikat dan Iran. Kedua negara ini merupakan sebuah negara yang saling bermusuhan sejak tumbangnya rezim Shah Iran dan bangkitnya Revolusi Islam Iran yang digulirkan oleh Imam Khomeini di tahun 1979. Awalnya skandal ini bermula dari hubungan perang dingin antara Blok Barat vs Blok Timur, antara AS vs Uni Sovyet, antara Liberalisme vs Komunisme di era tahun 50-80an. Penyebaran ideologi komunisme di kawasan Asia-Amerika Tengah harus dibendung oleh Amerika Serikat dan Sekutunya. (https://www.britannica.om/event/Iran-Contra-Affair)
Kekuatan Blok Barat dengan Amerika Serikat sebagai sponsor utamanya berupaya membendung kekuatan Komunisme yang mulai masuk ke kawasan Amerika Selatan. Setelah Kuba jatuh ke tangan kelompok komunis, negara berikutnya adalah Nicaragua. Kelompok Komunis Sandinista Nicaragua harus diperangi oleh kekuatan Amerika Serikat dan para Sekutunya. Problem utamanya adalah anggaran belanja Amerika Serikat tidak dapat digunakan untuk mendukung kelompok Contra sebagai musuh kelompok komunis Sandinista karena terlarang menurut hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Presiden AS Ronald Reagen pada saat itu berfikir keras untuk menghancurkan kelompok komunis Sandinista Nicaragua melalui penyaluran senjata dan bantuan keuangan kepada gerilyawan kelompok pejuang anti komunis Contras yang berperang menghadapi Sandinista Nicaragua. Ketidakmungkinan menyediakan persenjataan bagi kelompok Contra dalam menghadapi kelompok komunis Sandinista ini menjadikan Presiden Reagen harus berfikir keras mencari beragam cara agar ia tidak terjerumus dalam permasalahan hukum.
Pada posisi yang rumit ini, terjadilah penyanderaan terhadap para diplomat dan kontraktor asal AS oleh kelompok Hizbullah di Lebanon. Ini yang semakin membuat Presiden Reagen berfikir keras menghadapi dua kasus berbeda yang terjadi pada saat yang bersamaan dan melibatkan kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat di Timur-Tengah dan Amerika Selatan sekaligus.
Presiden Reagen segera mengutus Robert McFarlane selaku US National Security Advisor untuk melakukan negosiasi pembebasan sandera di Lebanon ini. Dalam kesepakatan negosiasi antara Iran dan AS ini terdapat keinginan Iran untuk membeli persenjataan militer dari Amerika Serikat guna menghadapi Irak dalam perang Irak-Iran. Keingingan Iran ini segera ditentang oleh Menlu AS George Schultz dan Menhan AS Caspar Weinberger karena kesepakatan semacam itu bertentangan dengan hukum AS. Berbeda dengan pendapat dua menteri di atas, McFarlene sebagai utusan Presiden Reagen justru mendukung kesepakatan dengan Iran ini karena tindakan penjualan senjata ke pihak Iran untuk menghadapi Irak menurutnya justru akan menguatkan posisi Amerika Serikat di Timur Tengah dan dapat menarik Lebanon menjadi sekutu kuatnya di timur tengah. Hasil penjualan senjata ini bernilai USD 30 Juta, dimana Iran menerima sekitar 1500-2000 peluru kendali. (https://www.history.com/topics/1980s/iran-contra-affair).
Pada sisi yang bersamaan tindakan menjual senjata kepada Iran dapat menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk membiayai kelompok pejuang Contras dalam menghadapi kelompok komunis Sandinista di Nicaragua. Dalam hal ini terdapat keuntungan secara politik yang diperoleh Amerika Serikat dalam menghadapi kedua kasus ini secara bersamaan. Tetapi tentunya tindakan menyediakan senjata bagi Iran dan menyalurkan hasil keuntungannya untuk membiayai gerakan kelompok Contras ini merupakan tindakan ilegal dalam hukum AS, oleh karena itu tindakan ini harus dirahasiakan.
Menurut hukum AS, Iran adalah sponsor utama terorisme Internasional, sehingga Iran harus mendapat sanksi embargo secara internasional. Jadi penjualan senjata kepada Iran oleh Amerika Serikat merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum AS sendiri. Penjualan senjata oleh Amerika Serikat kepada Iran ini melibatkan Israel untuk menyalurkan senjata dari AS kepada Iran yang dimulai sejak bulan Agustus 1985. Hasil penjualan senjata ini kemudian digunakan untuk mendukung perjuangan kelompok Contras dalam melawan Sandinista di Nicaragua melalui pelatihan dan bantuan rahasia yang dilakukan oleh Dinas Rahasia CIA (https://www.google.com/amp/s/voi.id/amp/91446/terbongkarnya-skandal-iran-contra-yang-melibatkan-as-pada-gerakan-terorisme-dalam-sejarah-hari-ini-5-oktober-1986).
Hal menarik dalam kasus Iran-Contra ini adalah keterlibatan Israel dalam penyaluran senjata rudal senilai USD 30 Juta kepada Iran. Israel walau tak memiliki hubungan diplomatik dengan Iran maupun Irak, tetapi digunakan oleh AS untuk menyalurkan persenjataan yang telah dibeli kepada Iran. Selain itu usulan penyaluran keuangan kepada kelompok Contras melalui penjualan senjata ini berdasarkan pertimbangan dari Letnan Kolonel Oliver North, seorang perwira Marinir AS yang bekerja selaku Deputy Director of Political Military Affairs for National Security Council. Hal menarik lainnya adalah terdapatnya aturan hukum AS yang melarang bantuan apapun kepada kelompok manapun yang hendak menggulingkan pemerintahan Nicaragua melalui Boland Amandement pada tahun 1982 (https://www.teenvogue.com/story/what-was-iran-contra).
Dengan demikian kasus penjualan senjata peluru kendali kepada Iran dan hasil penjualan sebesar USD 30 Juta ini melanggar dua hukum yang berlaku di AS sekaligus: Pelanggaran atas larangan penjualan senjata kepada Iran dan adanya larangan terhadap dukungan penggulingan pemerintahan Nicaragua berdasarkan Boland Amandement. Berlakunya dua hukum ini dilanggar dan disimpangi oleh Presiden Reagen kala itu untuk melindungi kepentingan luar negeri AS kala itu.
Skandal ini terkuak ketika proses penjualan senjata kepada Iran disertai dukungan kepada kelompok Contras termuat dalam beberapa surat kabar Lebanon. Berita ini menggegerkan Amerika Serikat dan segera dilakukan penyelidikan menyeluruh terhadap skandal yang terjadi. Kongres Amerika Serikat segera membentuk Congressional Committees Investigating The Iran-Contra Affair pada tahun 1987. Para pihak yang terlibat dalam skandal ini juga dihadapkan pada sidang Kongres untuk menguak fakta yang terjadi, salah satunya adalah Letnan Kolonel Oliver North. (https://www.brown.edu/Research/Understanding_the_Iran_Contra_Affair/overview-case.php).
Selain itu pemberitaan pun mulai menyerang pemerintahan Reagen, ketika New York Times pada tanggal 12 Oktober 1986 memberitakan bahwa paukan Pemerintah Nicaragua berhasi menembak jatuh sebuah pesawat kargo yang mengangkut bantuan militer untuk kelompok penentang Sandinista. Salah seorang awak pesawat yang selamat berhasil ditangkap dan diinterogasi oleh aparat Nicaragua. Eugene Hasenfus, awak yang selamat tersebut menjelaskan bahwa penerbangan untuk memasok kebutuhan pemberontak Nicaragua ini diawasi oleh anggota CIA di El Salvador (https://historia.id/politik/articles/main-mata-iran-dan-amerika-dalam-iran-contra-DbemQ/page/3).
Walau kasus ini terjadi pada masa era Presiden Ronald Reagen berkuasa, terdapat hal menarik yang juga harus diperhatikan sejak kasus Iran-Contra yang melibatkan AS, Iran, Israel ini menarik untuk ditelaah dalam konteks kekinian. Hubungan antara AS Iran yang selalu berkonflik ternyata menghasilkan hubungan gelap dibalik layar. AS menyediakan senjata bagi Iran dan berupaya menjadikan Lebanon sebagai sekutu penting di kawasan Timur Tengah selain Israel.
Iran tentunya memiliki kepentingan dalam penguasaan wilayah Timur-Tengah. Ia bersaing dengan negara besar lainnya dalam berebut pengaruh seperti Saudi Arabia. Memberi dukungan pada Palestina tentu akan berdampak pada dukungan politik dari negara-negara Islam bagi Iran. Ketika beberapa negara Timur-Tengah abai terhadap penderitaan rakyat Palestina, maka Iran dan Lebanon tampil untuk membela kepentingan Palestina demi perluasan pengaruhnya di Timur Tengah. Ketika banyak negara Timur-Tengah tidak mempedulikan nasib Palestina menjadi masuk akal bagi Iran masuk membela kepentingan Palestina dalam menghadapi Agresi Israel yang telah menewaskan sekitar 8000 warga sipil Palestina dimana 40% darinya adalah anak-anak (https://www.cfr.org/backgrounder/what-hamas).
Dalam relasi konflik Palestina-Israel yang melibatkan Hizbullah Lebanon dukungan Iran sebagai pendukung Palestina patut dikritisi. Dukungan Hizbullah Lebanon Lebanon dukungan Iran kepada para Pejuang Palestina menghadapi Israel apakah merupakan sebuah dukungan yang sesungguhnya untuk mencapai kemerdekaan Palestina ataukah bagian dari sebuah permainan semata? Ataukah dukungan kelompok Hizbullah Lebanon dan juga Iran dalam konflik Palestina-Israel ini sekedar mencari panggung dalam upaya mencari pengaruh yang lebih luas di kawasan Timur Tengah bagi Iran dan Lebanon? Hal ini patut dikritisi secara mendalam karena keduanya sempat menjalin proses jual-beli senjata dengan AS dengan melibatkan Israel di dalamnya dalam kasus Iran-Contra di masa lalu. Semoga tampilnya Iran, Lebanon, Yaman dalam dukungannya atas Palestina merupakan bentuk perjuangan nyata untuk membela kepentingan dalam pencapaian kemerdekaannya, dan bukan karena adanya agenda tertentu.