Jakarta. Suaranusantara.co – Perlindungan saksi bertujuan untuk memastikan keamanan, sebab keberadaan saksi sangat mempengaruhi berjalannya proses peradilan. Saksi dapat memberikan petunjuk jalan keluar dalam proses penyelesaian suatu kasus.
Namun saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, rentan terhadap ancaman yang membahayakan saksi sendiri, keluarganya maupun harta bendanya sehingga mempengaruhi keterangan di persidangan. Karena adanya ancaman, maka saksi dan korban patut mendapatkan perlindungan.
Istilah saksi-saksi berkembang seiring penerapan hukum secara pidana. Salah satunya adalah saksi korban. Korban disebut sebagai saksi karena suatu pemikiran bahwa status korban di pengadilan adalah sebagai saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri.
Oleh karena itu korban menempati posisi sentral bagi pihak-pihak yang berperkara serta bagi hakim untuk melihat kejadian sebenarnya. Hal ini berbeda dengan saksi pelapor.
Prosedur
Saksi terlebih dahulu harus menandatangani perjanjian yang berisi kesepakatan antara Kepala Penuntut Umum dan saksi. Perjanjian tersebut mencakup tanggung jawab saksi untuk berperilaku layak dan tidak terlibat dalam kegiatan kriminal.
Perlindungan terhadap saksi akan tetap berlaku hingga keselamatannya tidak lagi dipertanyakan. Namun, jika mereka tidak mengikuti ketentuan perjanjian perlindungan atau tidak menandatangani perjanjian perlindungan, mereka tidak masuk dalam perlindungan terhadap-saksi. Jika tindakan dan perbuatan seorang saksi membahayakan saksi-saksi lainnya yang di lindungi, atau jika saksi tersebut sangat merusak tempat keselamatan, maka ia tidak dapat menjadi sebagai saksi.
Dalam kondisi tertentu ada pengecualian di perusahaan yang menetapkan aturan untuk menjaga kerahasiaan perusahaan. Umpamanya ketika seorang karyawan memberikan persetujuannya untuk menjadi saksi karena kepentingan umum.
Namun dalam melakukan pengungkapan, faktor keamanan saksi dan alasan pengungkapan tetap menjadi bahan pertimbangan. Mereka mendapat perlakuan yang sama, atau mendapat perlindungan dan informasi yang di peroleh juga dirahasiakan.
Undang-Undang Perlindungan Saksi menetapkan struktur, aturan dan prosedur untuk perlindungan orang-orang yang harus bersaksi di pengadilan. UU ini juga menetapkan tugas dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat guna memastikan bahwa saksi tersebut aman.
Salah satu anggota keluarga korban, atau bahkan orang dekat korban dapat mengajukan perlindungan atas-nama-saksi. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) tidak mengatur masalah perlindungan saksi dalam perkara pidana. Regulasinya terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan terutama yang terkait dengan tindak kejahatan kejahatan berat, sebab saksi perlu mendapatkan perlindungan hukum, agar merasa aman dalam membantu pihak yang berwenang ketika menindaklanjuti laporan adanya tindak pidana.
Kendala dan Hambatan
Namun sayangnya perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) dalam perkara tindak pidana pada praktiknya masih sering mendapat banyak kendala dan hambatan karena berbagai faktor.
Secara internal, masih terdapat banyak kekurangan, baik dari pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan, maupun Undang-Undang yang mengaturnya. Kendala lainnya adalah belum optimalnya kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait.
Sedangkan hambatan eksternal antara lain adalah faktor masih rendahnya tingkat pendidikan, selain juga faktor ekonomi. Kemudian rasa takut bertemu dengan penyidik atau karena tidak mengetahui adanya aturan Undang-Undang perlindungan saksi. Bahkan bisa juga karena adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak-pihak tertentu.
Penegakan hukum pidana memang tidak semudah yang dibayangkan oleh masyarakat, apalagi dalam mendapatkan keterangan saksi. Hal ini terbukti dalam berbagai kasus kekerasan seperti kejahatan terhadap anak, kejahatan terhadap perempuan, kejahatan dalam rumah tangga, dan yang lainnya.
Saksi takut melaporkan adanya (dugaan) tindak pidana. Padahal perlindungan hukum bagi warga Indonesia merupakan suatu keharusan karena merupakan bagian integral hak asasi manusia, sebagaimana konstitusi maupun instrumen HAM Internasional yang mendapatkan ratirifikasi dari pemerintah. Selain bahwa hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subyek hukum.