Penulis: Achmad Ubaedillah Duta Besar RI di Brunei Darussalam dan Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Fokky Fuad Wasitaatmadja Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Globalisasi digital di hampir semua aspek kehidupan berakibat pada perubahan tatanan dan nilai sosial. Perubahan itu telah menimbulkan guncangan dan kekacauan sosial (social disruption) yang berakibat melahirkan keterasingan manusia. Keterasingan manusia semakin diperparah oleh hantaman pandemi covid-19 dalam skala global.
Dalam hubungan internasional pun mengalami perubahan tak kalah serius dan dinamis. Lembaga dan sejumlah kesepakatan internasional tak lagi ditaati negara anggota PBB. Dunia seakan tak memiliki arah dan nakhoda. Kekuatan Barat, Amerika dan sekutunya, tak lagi sedigdaya di masa lalu, sebaliknya penetrasi Tiongkok makin progresif menjadi petanda perubahan global itu. Bersamaan dengan ini, perang antara Rusia dan Ukraina menjadi salah satu contoh paling mencolok dari melemahnya muruah lembaga perkumpulan negara-negara dunia tersebut.
Dunia membutuhkan paradigma baru yang tidak saling menegasikan, tapi saling menghidupkan dan semangat saling berhubungan (connectivity) menuju tatanan dunia baru yang lebih guyub. Dalam konteks ini, Pancasila dapat menjadi alternatif paradigma ‘serba saling’ tersebut. Karakter Pancasila sebagai titik temu (common denominator) bangsa Indonesia saatnya naik kelas untuk dikenalkan kepada dunia.
Itu bukan tawaran baru, melainkan hanya pengulangan sejarah masa lalu saat Bung Karno dengan percaya diri mengenalkan Pancasila kepada dunia dalam pidatonya di Sidang Umum PBB di New York, September 1960. Semangat serupa telah dicontohkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menyerukan semangat Dasasila Bandung dalam pidatonya di hadapan Sidang Umum PBB ke-78 di New York, beberapa hari lalu.
Membuminya Pancasila
Kemunculan era modern pada abad ke-18 dan ke-19 dengan mengusung kebenaran logika membutuhkan sebuah sistem nilai untuk mempertahankan eksistensinya. Setiap bangsa di dunia berlomba, dan bahkan bertarung untuk mempertahankan peradabannya melalui filsafat dan ideologi.
Pancasila lahir tidak lepas dari situasi global awal abad ke-20 yang ditandai oleh diskursus ideologi di Barat, yaitu liberalisme versus sosialisme. Masa itu merupakan era Perang Dunia II dan masih berlanjut setelahnya yang ditandai sebagai masa Perang Dingin. Periode itu berlangsung hingga awal 1990-an ditandai munculnya negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia.
Masa transisi Indonesia ditandai dengan tuntutan demokratisasi dalam kehidupan sosial dan politik. Sebuah tuntutan yang normal dalam kehidupan masyarakat modern. Di fase sejarah peralihan itu mayoritas rakyat Indonesia menuntut keterbukaan dan kebebebasan dalam berserikat dan berkumpul sesuai dengan konstitusi. Tak terdengar wacana meggantikan Pancasila dengan dasar negara atau ideologi lain. Bukti Pancasila telah membumi di sanubari bangsa Indonesia.
Fase selanjutnya Pancasila seolah tertelan bumi dalam hiruk pikuk Reformasi, tapi ia masih setia mendampingi Indonesia. Hingga saat ini Pancasila tetap kukuh sebagai elemen penting Indonesia yang telah menghantarkannya sebagai negara demokrasi baru di dunia. Meski Pancasila tidak menjadi diskursus publik kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di masa Orde Baru, Pancasila di era Reformasi masih kukuh menjadi rujukan konstitusi dan politik nasional.
Sebagai falsafah negara, Pancasila berpijak pada dua nilai mendasar sebagai ontologinya, yaitu nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan. Nilai ketuhanan menunjukkan sebuah karakter manusia Indonesia yang selalu terikat dengan kosmologi ketuhanan. Dengan sifat ketuhanan yang ada dalam jiwa, manusia Pancasila akan memperlakukan manusia lainnya secara beradab, bahwa manusia bertuhan sejalan dengan perilaku manusia yang bermoral. Ketaatan kepada Tuhan diwujudkan dalam perilaku etik manusia Indonesia.
Pancasila untuk Dunia
Postmodern lahir sebagai reaksi terhadap modernitas yang sarat logika dan ilmu pengetahuan. Keduanya kembali dipertanyakan dan digugat. Teknologi digital yang mampu menjangkau manusia di belahan mana pun dan telah menembus batas geografis ideologis.
Upaya melindungi sebuah keyakinan ideologi atau paham keagamaan kini seakan kurang relevan lagi. Paham ideologis dan pandangan teologis terbuka untuk diuji oleh siapa pun. Membelanya secara membabi buta hanya akan meninggalkan kesia-siaan. Semua narasi terbuka untuk diuji, bahkan digugat. Itulah metode dekonstruksi yang tak padang bulu.
Dalam konteks kemanusiaan, kemunculan postmodern merupakan sebuah kritik tajam atas modernisme yang dinilai gagal mengangkat martabat manusia. Munculnya peperangan, kekerasan di mana-mana ialah bukti nyata bahwa objektivitas logika dalam ilmu pengetahuan manusia modern gagal mengatasinya (Setiawan dan Sudrajat, 2018). Lalu, bagaimana dengan Pancasila?
Pancasila kini berada dalam sebuah era bebas nilai. Munculnya pemikiran baru yang mendobrak segenap tatanan nilai dan norma menjadi tantangan serius bagi Pancasila yang mengusung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagai ontologinya.
Satu hal yang tampak dalam peradaban postmodern ialah ketiadaan makna manusia sebagai subjek. Kehendak bebas atas nama humanism without values telah merusak eksistensi manusia itu sendiri. Padahal, manusia menjadi subjek yang utuh ialah karena nilai dan norma yang diusungnya. Nilai dan norma yang didobrak oleh kehendak bebas manusia justru berpotensi membawa manusia ke dalam kelam peradaban.
Dalam situasi keterasingan manusia umumnya mencari jalan pelarian melalui agama atau spiritualitas. Agama selalu memberikan jalan keluar bagi problem peradaban sepanjang sejarah kemanusiaan. Namun, jalan itu tidak sepi dari jebakan yang dapat menjadikan manusia kurang manusiawi meskipun berbalut baju agama.
Pemahaman agama yang kaku harus serba pasti sering kali melahirkan sikap beragama yang cenderung formalistis dan dangkal. Itu banyak menjangkiti kaum terdidik perkotaan dan kalangan muda milenial. Yang pertama mewakili kelompok mapan, yang kedua mewakili kelompok instan dalam banyak hal, termasuk beragama.
Pengajaran pendidikan agama Islam di sekolah tidak lagi menarik bagi kelompok itu. Bukan karena kurikulumnya, melainkan akibat pemahaman beragama yang intoleran di kalangan guru agama. Fakta itu telah dibuktikan oleh sebuah riset lapangan yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2018.
Temuan itu tampaknya berkorelasi dengan kecenderungan ketertarikan kalangan muda kepada pandangan dan tren beragama para selebritas dan para propagandis, yang getol menyuarakan narasi intoleran dan esklusifisme dalam beragama.
Formalisme Islam sesungguhnya tidak menjadi masalah, tetapi akan berpotensi menciptakakan sikap-sikap eksklusif dalam beragama. Itu telah menjadi realitas keberislaman Indonesia dewasa ini, ketika agama pada ahirnya dijadikan sebagai unsur penentu diri dan kelompok. Hal itu sangat rentan melahirkan sikap dan perilaku yang berseberangan dengan semangat integratif membangun kohesivitas sosial yang dinamis dan produktif dalam sebuah bangsa yang majemuk.
Menghadapi gejala global kecenderungan ekslusivitas beragama tersebut, Pancasila dapat menjadi rujukan kembali ke titik normal, titik moderasi. Ruang dialog yang diberikan Pancasila memberikan peluang bagi para diplomat dan diaspora Indonesia yang tersebar di penjuru dunia, untuk mengenalkan Pancasila kepada masyarakat dunia akan pentingnya dialog dan moderasi atau jalan tengah dalam segala hal.
Jika PBB sudah menjadikan pidato Bung Karno To Build the World a New yang diorasikan di hadapan sidang PBB pada 30 September 1960 sebagai Warisan Arsip Dunia (Djumala, 2023), tak ada alasan bagi para diplomat dan diaspora Indonesia untuk mengenalkan Pancasila ke dunia secara meyakinkan.
Selagi dunia sedang mencari healing alternatif untuk mengurangi keterasingan umat manusia. Pancasila dapat menjadi tawaran solusi keterasingan akibat dari disrupsi sosial yang tengah terjadi. Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi? Menunda bisa dipahami sebagai sikap kurang percaya diri dengan dasar negara tercinta. (Sumber: Media Indonesia)