Jakarta, Suaranusantara.co – Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hukum adalah produk resultante dari perkembangan situasi politik, sosial ekonomi hingga hukum. Karena itu, tidak boleh alergi terhadap perubahan, karena hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya. “Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk membuat resultante atau kesepakatan baru terkait kontroversi di dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema Menyikapi Perubahan UU ITE di Jakarta, Kamis, 25 Februari 2021.
Diskusi di selenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan di lakukan secara Dalam Jaringan (Daring).
Mahfud menyebut jika dalam UU ITE di temukan substansi yang memiliki watak haatzai artikelen atau berwatak pasal karet maka harus di ubah.
Dia menyebut pemerintah mempertimbangkan membuat resultante baru mencakup dua hal. Pertama, di buat kriteria implementatif. Artinya, apa kriterianya sebuah pasal atau sebuah aturan bisa di terapkan secara adil. Kedua, menelaah kemungkinan di lakukannya revisi perubahan.
Pasal Karet
“Jika memang di dalam undang-undang itu ada substansi-substansi. Yang berwatak haatzai artikelen, berwatak pasal karet maka bisa di ubah dan bisa di revisi. Revisi itu dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam undang-undang itu,”ujar Mahfud.
Dia menegaskan telah membentuk Tim kajian terkait revisi UU ITE. Tim di bagi menjadi dua yaitu Sub Tim I bertugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal tertentu dalam UU-ITE yang sering menimbulkan multitafsir.
Kemudian Sub Tim II melakukan telaah substansi UU-ITE atas beberapa pasal dalam UU yang di anggap multitafsir untuk menentukan perlu tidaknya di lakukan revisi.
Baca juga: Revisi Undang-Undang ITE Harus Komprehensif
Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Badikenita Sitepu menilai usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE) sudah tepat. Alasannya, UU ITE banyak menimbulkan kontroversi di masyarakat karena banyak pasal yang di anggap karet.
”Banyak pasal karet yang menjadi masalah di tengah masyarakat. Penerapannya sering menimbulkan kontroversi dan polemik, sehingga masyarakat menduga di jadikan alat pemerintah untuk membatasi kritik,” kata Badikenita di Jakarta, Rabu, 4 Maret 2021.
Ia menyebut revisi harus punya tiga landasan dasar, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara yuridis, ada pasal yang multitafsir. Sehingga penerapan pasal ini menimbulkan ketidakadilan. Sedangkan bila di tilik secara filosofis, telah terjadi pergeseran norma.