Manggarai, Suaranusantara.co – Sebanyak 27 desa di Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melaksanakan pesta demokrasi bertajuk Pemilihan kepala desa (Pilkades) pada Kamis (26/08/2021). Senyum sumringah dan tawa kelakar terpancar manis dari wajah si pemenang berikut para pendukungnya.
Dalam euforia kebahagiaan atas “kepercayaan” ini tentunya kita perlu membangun “keadaban” dalam memilih diksi yang akan di sampaikan kepada masyarakat. Pilihan kata itu harus tepat, lahir dari kedalaman hati, bukan semata wujud reaksi emosional.
Ini sebagai “warning” awal dalam menciptakan ikhlim yang kondusif dan damai. Meski demikian, riak-riak kebahagiaan itu perlu dalam suasana “kehati-hatian” karena kehidupan kita masih berada dalam bayang-bayang pandemi Covid-19.
Sementara itu, pada kesempatan yang masih sama, laku hidup kita utamanya masyarakat di 27 desa tersebut, masih dibayangi oleh penyesalan yang tak kunjung usai. Penyesalan sebagai wujud dari kerja keras, kerja tepat dan kerja cerdas.
Kebersamaan
Dalam raut wajah penyesalan itu, nada-nada pengharapan dan penguatan hadir sebagai wujud empati. Bahwa setiap pertarungan selalu menyisakan luka dan suka, sedih dan senang. Luka dan kesedihan itu pun harus di letakkan sebagai “luka bersama”. Bukan semata luka dan sedih dari seorang petarung sejati saja.
Kalah dan menang adalah fakta yang tak bisa terhindarkan. Meski demikian, diri sosial dan kemanusiaan kita jauh di atas semuanya itu. Tenunan keikhlasan adalah sesuatu yang harus di terima dan berjalan seperti sedia kala. Merajut kembali kasih dan tali persaudaraan adalah nilai lokalitas yang senantiasa terus tumbuh dan berkembang dalam diri masyarakat desa.
Tentu ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Perihal perjuangan, kerja keras dan kerja kolektif masih terpatri dalam sanubari yang kadang memunculkan banyak tanya. Kenapa saya kalah, sedangkan dia menang? Dari nubari terdalam, ada satu jawaban yang sedikit menguatkan hati bahwa pertandingan memang telah usai. Tetapi darah (sesama manusia) masih mengalir deras yang terus merajut kasih kita untuk selamanya.
Sudahlah tentang semua yang terlewatkan. Saya sendiri memahami psikologis baik calon maupun pendukung. Sebab kerja perjuangan itu tak sebanding dengan kerja apa pun. Tatkala ruang hati ini disesaki dengan dua oposisi biner perasaan di atas, saya mencoba untuk menghadirkan wajah mereka yang menjadi “wasit” dalam kompetisi yang syarat dengan ketegangan ini.
Panitia Pilkades
Tak ada kata istimewa dan spesial untuk menyebut mereka, selain “Panitia Pilkades”. Mungkin “diri mereka” seketika hilang bersamaan dengan selesainya pertandingan ini. Tidak ada riak-riak dan ucapan apresiasi untuk di sematkan pada mereka. Toh mereka juga tak butuh pujian. Intinya mereka sudah menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan memberikan kepuasan bagi masyarakat pemilih.
Dalam posisi “ideal”, panitia adalah kelompok yang selalu menjaga “titik keseimbangan”. Tidak ada istilah memihak atau “berat sebelah”. Hati mereka “tulus seperti merpati”. Selalu memastikan semua kondisi aman, tertib dan damai. Itu yang ideal atau yang diharapkan.
Dalam tataran praktis, kadang titik keseimbangan tersebut menjadi tak seimbang karena faktor kepentingan. Kehilangan titik keseimbangan pada akhirnya akan melahirkan polemik, kebencian, kecemburuan bahkan kehilangan kepercayaan (trust). Baik saya maupun pembaca tentu tidak melihat hal ini dilakukan oleh panitia Pilkades di 27 desa di Manggarai Timur tahun 2021.
Hati saya tergerak untuk memberikan apresiasi kepada panitia pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Rana Mbeling. Tentu ini bukan semata-mata karena saya anak kandung dari Desa Rana Mbeling, tetapi lebih kepada membaca dan memahami “sisi berbeda” yang mungkin selama ini absen dari cara berpikir orang lain.
Sosok Kandidus Nabi, tampil dan dipercayakan sebagai Ketua Panitia. Sosok yang lama berkecimpung dalam dunia birokrasi, memanfaatkan momentum ini bukan untuk kepentingan “popularitas diri” tetapi lebih kepada upaya menghadirkan kembali “kedamaian” yang “mungkin” sempat tergerus.
Kepanitiaan ideal
Konsep berpikir yang cerdas, selalu adaptif dengan perubahan serta menjunjung tinggi nilai-nilai lokalitas menjadi misi utama dalam membangun tubuh kepanitiaan yang ideal. Memanfaatkan potensi anak muda sebagai anggotanya, Kandidus Nabi tampil dengan penuh percaya diri tanpa ada kata keraguan. Nilai-nilai lokal yang dipadukan dengan semangat integritas, independensi dan keseimbangan menjadi fondasi dasar dalam membuat aturan dan kebijakan . Oleh karenanya, berbagai celah masuk yang berusaha untuk mengkritisi kesalahan panitia, nyatanya tak tampak sama sekali.
Proses awal mulai dengan penjaringan calon hingga pada “waktunya” menetapkan pemenang selalu berlaku dalam asas keterbukaan. Siapa pun bisa menilai dan memberikan catatan kritis sepanjang itu untuk kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune). Ritual adat yang di lakukan oleh panitia kepada para calon kepala desa merupakan pertanda akan pentingnya nilai-nilai lokal sebagai wujud doa dan restu dari para leluhur. Pada titik inilah rasionalitas dan hal-hal yang sifatnya “mistis” terpdu menjadi satu-kesatuan.
Akhirnya ada suara yang begitu menggema bahwa Pilkades di 27 desa termasuk di Desa Rana Mbeling berjalan dengan lancar, sukses dan damai. Semua mata dan hati tertuju pada warga desa yang selalu mengutamakan persaudaraan dan kedamaian. Namun, apresiasi tinggi juga di sematkan kepada ketua panitia dan para anggotanya. Mereka sudah tampil maksimal untuk menjaga setiap lini berjalan dengan baik. Hingga permainan pun berjalan lancar.
Tak ada hasil imbang atau seri. Hanya ada pemenang. Meski pada titik tertinggi kita sepakat bahwa pemenang sesungguhnya adalah “warga desa itu sendiri”. Panitia sudah bekerja dengan sangat maksimal. Harapannya, pemenang juga mampu bekerja lebih dari itu. Kiblatnya sama yakni untuk kepentingan masyarakat desa seluruhnya. Jiwa dan ragaku kupatrikan untuk desa. Selamat untuk panitia dan untuk seluruh masyarakat desa. Terus berjalan dan berkembang dalam alam demokrasi yang sehat bukan yang “sakit-sakitan”.