Bagi penulis, aktivitas menulis adalah sesuatu yang menyenangkan. Di sana mereka merasakan dan menemukan sensasi. Sama seperti yang dialami pesepakbola saat bermain bola atau seorang penyanyi ketika menembang. Bahkan, menulis menjadi keseharian hidup.
Mereka bisa menulis di mana dan kapan saja. Di stasiun, bandara, perpustakaan, bahkan di kamar mandi sambil buang air besar. Mereka ingin agar ide-ide di kepala segera diabadikan dalam sebuah tulisan.
Namun menulis bukan pekerjaan ringan juga. Pelakunya kadang lelah. Sebab mereka harus berpikir (keras) untuk bisa memproduksi sebuah tulisan. Namun mereka menikmati kelelahan itu. Inilah yang disebut dengan passion.
Mereka merasa lelah, tetapi kelelahan itu menyenangkan. Yang tidak mencintai aktivitas menulis, tentu saja sulit mengalami sensasi serupa.
Perlu diketahui, beberapa penulis sampai merasa begitu gelisah tanpa menulis sehari saja. Saya pernah mendengar celoteh dari seorang profesor filsafat. “Saya itu begitu gelisah kalau sehari saja tidak menulis,” katanya.
Celoteh sang profesor terbukti dalam karier intelektualnya. Ia sudah menelorkan lebih dari lima buku filsafat dan ratusan artikel, baik di jurnal nasional maupun internasional.
Bagi dia, menulis sebetulnya soal kebiasaan. Semula dia tidak suka menulis. Namun, kadang-kadang, tuntutan pekerjaan mengharuskannya untuk menulis. Karena sudah terbiasa menulis, dia malah menjadi penulis yang maniak.
Beliau begitu gelisah kalau pengalaman hariannya tidak ditulis dalam catan hariannya. Lama-kelamaan, dia malah mencintai aktivitas yang pernah dibencinya itu.
Membaca
Syarat utama menulis, kata dia, tidak lain adalah membaca. Tanpa menjadi pembaca, siapa pun sulit menjadi penulis.
Aktivitas membaca tidak hanya menambah wawasan. Lebih dari itu, kita diajari tentang hal-hal teknis dalam hal menulis. Misalnya, kita akan tahu membedakan kata depan “di” dan imbuhan “di”. Dengan begitu, kita mampu menguraikan isi kepala kita dalam sebuah tulisan yang baik.
Dari pengalaman tersebut, saya kemudian berpikir bahwa sebetulnya kita semua bisa menjadi penulis. Yang penting, kita membiasakan diri dengan aktivitas membaca dan menulis.
Membaca dan menulis memang bukan termasuk aktivitas yang bertujuan memuaskan tubuh. Membaca dan menulis tidak termasuk kebutuhan biologis. Kedua aktivitas ini lebih memenuhi kebutuhan batin ketimbang fisik.
Membaca dan menulis tidak seperti bermain game, menikmati makanan lezat, berhubungan seksual atau menikmati pemandangan indah. Oleh karena itu, aktivitas membaca dan menulis begitu membosankan bagi orang-orang yang cenderung mengikuti keinginan tubuh.
Harus diakui bahwa menulis dan membaca adalah kemampuan yang dibiasakan atau diwariskan. Kedua kemampuan ini diperoleh melalui warisan (didikan) yang umumnya diterima di sekolah.
Merenung
Salah-satu kemampuan terberi manusia yang tidak diperoleh dari pihak lain adalah kemampuan merenung. Tanpa dilatih pun, setiap manusia pasti mampu melakukan aktivitas ini. Merenung tidak lain adalah fakultas khas manusia. Anjing mustahil merenung.
Para penulis adalah mereka yang benar-benar memanfaatkan kemampuan ini dalam menulis. Aktivitas merenung membuat mereka mampu menceritakan pengalaman sederhana dalam sebuah tulisan yang indah menarik.
Mereka selalu meluangkan waktu untuk ‘merenung sebentar’ dan kemudian menulis. Setiap peristiwa yang mereka alami atau saksikan, kemudian dipikirkan. Dalam proses itu, mereka menemukan sesuatu di balik peristiwa.
Peristiwa kecil yang mungkin dianggap biasa-biasa saja oleh sebagian orang, malah menjadi materi tulisan yang menarik bagi seorang penulis. Merenung itu seperti usaha melihat sesuatu yang tak kelihatan dari sekian banyak yang kelihatan.
Para penulis adalah mereka yang gelisah ketika apa yang tak kelihatan itu lupa diabadikan dalam sebuah tulisan. Mereka adalah para filsuf. Filsuf yang baik tidak hanya sampai pada merenung, tetapi ia harus menulis. (Venan Jalang)