Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara,co – Iran dan Palestina VS Israel – Sejak zaman dahulu, konflik antara Iran, Palestina, dan Israel telah menjadi isu yang kompleks dan penuh dengan ketegangan. Sengketa wilayah, perbedaan ideologi, dan keinginan untuk mendominasi satu sama lain telah menciptakan jurang yang sulit ditutup. Namun, di tengah segala kerumitan dan pertikaian ini, muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah terdapat keseimbangan hukum alam yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut?
Perang & Hukum Alam
Perang yang dilakukan Israel di tanah Palestina sejatinya tidak layak dinyatakan sebagai perang yang beradab. Korban yang terjadi bukan hal yang diperkenankan dalam Konvensi Jenewa, karena sasaran yang ditarget adalah anak-anak, lansia, dan wanita. Sebanyak 10.600 anak, 7.200 perempuan, serta 1049 lansia telah menjadi korban pembantaian dalam pembantaian Israel (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240117010814-120-1050454/10600-anak-palestina-tewas-selama-serangan-israel-di-gaza).
Serangan Iran
Pada saat yang lain Iran melakukan serangan atas Israel. Serangan yang dilakukan Iran terhadap Israel juga merupakan bentuk balasan atas serangan yang dilancarkan oleh Israel sebelumnya yang telah membom Konsulat Iran di Suriah, dan hal ini diperkenakan dalam ketentuan Pasal 51 Piagam PBB. Israel telah beberapa kali melakukan serangan ke tanah Iran, sejak ia melakukan serangan yang membunuh ilmuwan nuklir Iran, hingga yang terakhir menyerang Kedutaan Iran di Suriah yang menimbulkan korban pimpinan Iran di Suriah. Sebuah ide keadilan yang dilakukan oleh Iran dengan mendasarkan pada legitimasi Pasal 51 Piagam PBB (https://www.un.org/en/about-us/un-charter/full-text).
Perang Dalam Kajian Hukum Alam
Peperangan dalam sejarah peradaban manusia bukanlah hal yang baru, melainkan telah ada sejak awal mula peradaban manusia itu sendiri. Dalam sudut pandang hukum alam, perang dapat dipandang sebagai perilaku yang diperbolehkan selama dilaksanakan dengan menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan. Perang tidak seharusnya dipandang sebagai bentuk kebencian yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Konflik-konflik perang yang kerap terjadi pada umumnya lebih merupakan bentuk destruktivitas terhadap nilai-nilai humanisme.
Ia membunuh dan menghancurkan siapapun dan apapun. Inilah perilaku kebiadaban yang terjadi atas nama dehumanisasi seperti yang dilakukan Israel pada warga khususnya anak-anak, wanita, dan orangtua yang lemah di Gaza Palestina.
Bagaimanakah perang dapat difahami dalam konteks hukum alam? Hukum alam menjadi salah satu mazhab hukum tertua yang berkembang di dunia. Hukum alam mempertanyakan hakikat hukum: apa itu hukum dan keadilan, dan bagaimana kerja hukum yang adil itu? Dalam konsep yang dikembangkan oleh hukum alam, manusia selaku subjek tidak bertindak untuk merekayasa alam atas kehendakanya. Alam memiliki keteraturan normatifnya sendiri, dan manusia sejatinya mengikuti apa yang telah ditentukan oleh alam pada dirinya.
Hukum Alam mencoba memberikan pemahaman bahwa alam bekerja dengan mekanismenya sendiri yang berfokus pada gagasan keadilan. Keteraturan dibentuk oleh alam sebagai sebuah metode untuk mengendalikan dirinya sendiri. Eksistensi manusia menurutnya adalah ketertundukan dan kepatuhan dalam sistem kerja alam semesta. Jikapun ada kehendak manusia, maka kehendak itu selaras dengan kerja alam, dan tidak bertentangan dengannya. Hukum-hukum positif yang dikembangkan oleh manusia adalah integral dari ide keadilan itu sendiri. Dalam kasus Iran & Palestina versus Israel konflik yang terjadi adalah bentuk nilai tertingginya yaitu moral dan keadilan. Maka perbuatan perang dilakukan atas munculnya ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh Palestina dan Iran.
Perang Dalam Konsep Keadilan dan Moralitas Manusia
Perang bukan semata kehendak balas dendam manusia, tetapi diletakkan dalam konsep keadilan dan moralitas manusia. Walaupun mekanisme kerja dan dinamika gerak alam termasuk terjadinya perang dalam peradaban manusia diyakini adalah bagian dari kehendak-Nya, tetapi inti dari sebuah peperangan adalah keadaban dan keadilan. Hukum perang dihadirkan sebagai bagian dari bagaimana perangpun dijalankan dengan norma manusia beradab sesuai tuntunan Tuhan.
Konvensi Jenewa & Keadaban Manusia
Perang dijalankan oleh manusia yang bermoral, ia tidak membunuh siapapun dan menghancurkan apapun. Perang dijalankan dengan keadaban dengan menunjung tinggi moralitas manusia. Ia memilih siapa yang dibunuh, bukan siapapun untuk dibunuh. Para pelaku tidak menjalankannya secara membabi-buta dengan menghancurkan bangunan rumah sakit, bangunan ibadah, menyiksa tawanan, membunuh anak kecil, orang tua yang lemah, dan perempuan lemah (https://ihl-databases.icrc.org/en/ihl-treaties/gciv-1949).
Perang dijalankan oleh sesama pelaku peperangan, kombatan versus kombatan. Perang dijalankan melalui norma-norma manusia beradab. Duniapun sudah memiliki norma yang disepakati melalui Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi acuan dalam peperangan. Konvensi mengatur bagaimana manusia beradab menjalankan sebuah peperangan. Bagaimana manusia memperlakukan manusia lainnya dalam sebuah pertempuran.
Norma Dalam Konvensi
Konvensi Jenewa 1949 membatasi kebiadaban sebuah peperangan. Konvensi ini melindungi orang-orang yang tidak terlibat peperangan tetapi ia berada di tenga-tengah peperangan, seperti: warga sipil, petugas medis, pekerja bantuan kemanusiaan. Juga mereka yang tidak dapat lagi terlibat dalam peperangan, seperti: tentara yang terluka, yang tertawan, yang sakit, atau yang karam. Norma dalam konvensi ini mengatur siapa yang telah melakukan pelanggaran berat. Mereka yang terlibat dalam pelanggaran berat harus dicari, diadili, atau diekstradiksi apapun kewarganegaraannya (https://www.icrc.org/en/document/geneva-conventions-1949-additional-protocols) .
Dalam perspektif hukum alam, sebuah perang adalah menjalankan perilaku dengan menghindari kebiadaban. Bahwa upaya membunuh juga berada dalam optik keadilan dan moralitas manusia. Ia dijalankan dalam konstruksi kemanusiaan dan kebajikan, bukan dengan menghancurkan segenap nilai-nilai kemanusiaan dengan menghadirkan kebiadaban perilaku. Konstruksi perang adalah jalan terakhir ketika semua jalan perbincangan dan diplomasi menemui jalan buntu. Walau perang diperbolehkan tetapi kehancuran yang ditimbulkan dirasakan oleh setiap manusia. Maka nilai moralitas kemanusiaan tetap ditegakkan untuk meminimalisasi dampak kerugian yang dirasakan.
Gagasan Utama Hukum Alam
Gagasan utama hukum alam adalah moralitas manusia dan keadilan, maka perang yang dijalankan adalah dalam bingkai menegakkan keadilan yang dijalankan oleh manusia bermoral. Inilah yang dituangkan dalam Konvensi Jenewa, sebuah perang yang dilaksanakan dalam konsep moralitas manusia. Hukum perang diadakan adalah membangun sebuah keadilan bagi manusia yang tertindas. Sebuah ruang hidup yang adil dirasakan oleh manusia. Maka hukum tampaknya menjadi sebuah sarana dan alat Tuhan untuk mendistribusikan keadilan bagi manusia. Thomas Aquinas meletakkan hukum alam sebagai hukum yang hakikatnya tak diketahui karena berada dalam kehendak Tuhan (https://www.britannica.com/topic/natural-law).
Perang bukan sekedar melampiaskan nafsu membunuh. Menangkap ide Tuhan sebagai entitas penggerak hukum merupakan hal penting yang ada dalam pengetahuan hukum. Bahwa sekalipun ia berada dalam kondisi perang sekalipun, tetaplah mengacu pada gagasan keadilan dan moralitas manusia. Hukum perangpun dijalankan untuk kepentingan manusia, dijalankan oleh manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi. Hukum bukan sekedar objek yang terkuantifikasi dalam jumlah banyaknya deretan peraturan perundangan, tetapi juga substansi yang terdalam yaitu keadilan dan moralitas manusia.