Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, suaranusantara.co – Berawal saat saya bertanya sambil menunjuk kata ‘epistemologi’ pada cover buku Dr. Fokky, yang menggambarkan hubungan antara Pancasila dengan agama. Siang itu dialog pemahaman falsafah Pancasila dalam kajian filsafat ontologi, eksiologis dan epistemologi pun berlanjut.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia ini menjelaskan terlebih dulu, bahwa epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kajian epistemologi Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai sistem pengetahuan.
“Namun kajian filsafat timur agak berbeda dengan filsafat barat. Karena filsafat timur lebih menggunakan pendekatan metafisika. Artinya, filsafat timur menyandarkan pada kesadaran bahwa yang ‘ada’ merupakan proyeksi dari eksistensi di belakangnya. Eksistensi ini ada, tapi wujudnya hanya bisa ditangkap dengan rasa. Sehingga pendekatan filsafat timur sifatnya lebih abstrak,” jelas Dr. Fokky.
“Sementara filsafat barat mengandalkan logika rasional, bahwa sesuatu itu ada apabila wujudnya ada. Ini karena pikiran manusia yang bersandar pada logika meyakini hal-hal bendawi untuk wujud yang diyakini ada” lanjutnya.
Berangkat dari sini, pembahasan kemudian ‘mengupas’ satu-persatu kedalaman makna sila-sila Pancasila yang merupakan suatu susunan yang sistemik yang saling terkait.
“Pancasila itu bukan agama. Pancasila itu digali dari keyakinan manusia itu sendiri yang meyakini eksistensi Tuhan menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Itulah rasa. Itulah ada,” tegas Dr. Fokky.
Menggali Falsafah Pancasila
Dr. Fokky menjelaskan bahwa masih banyak orang yang mispersepsi terhadap sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Padahal kata ‘Ketuhanan’ pada sila ini sesungguhnya justru mencerminkan sifat manusia yang bertuhan itu yang ‘bagaimana’. Bukan tentang Tuhan, sebagaimana pengertian dalam ajaran agama.
“Kemudian manusia yang berketuhanan itu yang bagaimana? Ini terkait dengan sila kedua, ‘Kemanusiaan Yang Beradil dan Beradab’. Jadi manusia yang memiliki keyakinan berketuhanan akan memperlakukan manusia lain sebagai selayaknya manusia yang berketuhanan,” tambahnya.
Sampai disini saya mengerti, bahwa jika kita memahami filsafat Pancasila, maka hubungan antara Pancasila dengan ajaran agama sesungguhnya serasi dan selaras. Karena agama mengajarkan bagaimana sepatutnya manusia menjalani kehidupan sebagaimana yang tercermin pada sila pertama dan sila kedua Pancasila.
“Untuk mencapai tujuannya yang sama itulah maka manusia hidup bersama, hal sebagaimana tercermin dalam sila ketiga ‘Persatuan Indonesia’. Hidup bersama, rukun, guyub, bersatu. Dalam kebersamaan itu, manusia dapat duduk bersama jika ada permasalahan dan bermusyawarah untuk menyelesaikannya. Inilah sila keempat ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan’ yang menjadi cerminannya, sehingga tercapailah “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia,” lanjutnya.
Pendampingan Pelaku Teroris
Dialog semakin seru ketika Dr. Fokky membahas tentang teroris yang memiliki tendensi destruktif terhadap diri mereka sendiri dan manusia lain di sekitarnya. Dalam upaya memberikan pencerahan kepada teroris di lapas, Dr. Fokky berdialog dengan mereka dengan pendekatan filsafat timur terhadap nilai-nilai Pancasila.
“Mereka belum memahami filsafat Pancasila yang bicara tentang rasa dan kesadaran. Bahwa manusia yang berketuhanan itulah yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Lingkungan merekalah yang membentuk mereka sehingga memandang Pancasila dari perspektif ideologi. Pancasila sebagai sebuah ideologi memang sarat kepentingan dan dogma sehingga ‘menakutkan’. Namun demikian, kita tetap membutuhkan ideologi sebagai benteng pertahanan bangsa dan negara,” ungkap Dr. Fokky.
Pendekatan terhadap pelaku terorisme dengan menggunakan filsafat Pancasila lebih efektif, karena setiap manusia memiliki rasa. Mereka lebih mudah mencerna pemahaman mengenai sila-sila Pancasila secara lebih mendalam karena menggunakan kesadaran dalam penyampaiannya.
Wah! Sampai pada titik ini kami pun sepemikiran bahwasanya sila-sila Pancasila itu sesungguhnya bersifat universal. Bagaimana tidak, karena di belahan bumi manapun, tanpa memandang perbedaan suku, agama dan ras, pada hakikatnya sama, bahwa setiap manusia di alam bawah sadarnya membutuhkan rasa aman sehingga membutuhkan sandaran filosofis. Thanks a bunch, Dr. Fokky! (Red/SN)