Oleh: Altris Gibun (Anggota OMK Paroki Sta. Familia Wae Nakeng)
Diary Petualangan
Petualangan mencari ketenangan, healing, dan refreshing adalah perihal mencari ruang bebas dan kebahagiaan melepas penat menghadapi hiruk pikuk dan hal privat kita sebagai makhluk yang bekerja. Manusia sebagai makhluk bekerja adalah manusia yang terus mencari cara untuk bertahan hidup, baik sebagai karyawan dalam perusahan atau instansi maupun sebagai pemilik modal atau boss pada usaha-usaha tertentu.
Semua manusia meluangkan hari libur kerjanya untuk menciptakan kenangan-kenangan dan petualangannya masing-masing. Ada yang mendaki gunung, berkunjung saudara dan saudari, dan adapula yang ke mall-mall.
Kami, OMK Paroki Sta. Familia Wae Nakeng, memilih ke pantai, karena memang tempat tinggal kami hanya sekitar 20 menit dari rumah. Misalnya saja Pantai Watu Weri di Lembor Selatan. Tetapi, destinasi kali ini terbilang lokasinya baru untuk kami semua. Boleh diakui, hari ini merupakan impian tertinggal dan sudah digenapi pada Minggu, 10 Juli 2022.
Kami bersama rombongan pada technical meeting kali lalu memutuskan bertamasya ke Wae Tiong. Tujuan wisata ini adalah bagian dari representasi mencari ketenangan, healing dan refreshing. Karena semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, jadi kami memilih waktu yang tepat yaitu hari ini, Minggu, 10 Juli 2022.
Perjumpaan bersama alam, memilih untuk mengisi liburan dengan mengunjungi sebuah Pantai. Bahkan pantai yang kami kunjungi adalah pantai yang mungkin jarang dibicarakan oleh khalayak umum. Ibarat kata, masyarakat biasa menjadi informan dan sumber inspiring itu sendiri. Siapa yang menceritakan tentang pemandangan dan keindahan maka kami mencari tahunya sendiri. Usai Minggu Gereja, kami bergegas mengemas niat untuk bepergian ke Pantai Tiwu Roa Wae Tiong, Desa Benteng Dewa.
Persiapan Bekal
Teman-teman mempersiapkan segala sesuatu dari rumah masing-masing dan di Pastoran Paroki Wae Nakeng juga, yaitu bekal-bekal yang perlu dipersiapkan untuk dibawa. Segera ketika semua terkumpul, kami pun bergegas mengais jejak langkah menuju Nangalili. Kendaraan roda dua di parkir di pelabuhan Nangalili. Sambil menunggu mobil yang dikendarai oleh Rm Aldo di pelabuhan tersebut.
Kami mengisahkan tentang sungai tersebut. Sungai di Nangalili tersebut namanya, “Wae Jamal”. Wae Jamal juga merupakan tempat saya bermain ketika saat masih kecil dulu. Dulu, kami pernah tinggal di Golo Jong sekitar 1988 hingga 2001. Saat itu ingatan masa SD.
Uniknya di Wae Jamal, masyarakat meyakini adanya buaya. Saya sendiri belum pernah melihat secara langsung buaya-buaya tersebut. Jadi, untuk sementara saya menganggap itu biawak yang tubuhnya besar.
Beberapa di antara kami, ada yang yakin itu cerita rekaan fiktif belaka dan ada pula yang yakin itu adalah kisah nyata. Sama-sama tidak memiliki bukti empiris yang real. Tetapi, hal tersebut dibenarkan oleh salah satu lelaki muda yang saya temui di sana, ia mengatakan “itu benar”. Sekali kepala saya mengangguk setuju dan tidak enak jika menggelengkan kepala. Karena, jika itu yang saya lakukan, bisa jadi kami berdua akan berpetualang mencari buaya di Nangalili dan resikonya ditanggung sendiri.
Usai cerita singkat itu, kami siap-siap menaiki perahu. Ada yang baru pertama kali merasakan semilir angin di Nangalili ketika di atas perahu, cemas itu mulai mengusik senyuman. Tetapi semua terbayar, ketika sudah sampai di seberang. Joneng, itulah namanya. Sambil menunggu mobil pick up jemput. Ada yang mengabadikan kenangan melalui take a selfie. Kami menunggu mobil Pickup untuk menjemput kami. Yang lain memilih untuk berjalan kaki sambil menunggu pickup tersebut menghampiri. Seolah-olah, kami juga mau jemput pickup itu sendiri.
Ketika Pickup tersebut sudah sampai, kita pun berangkat. Dari Joneng hingga Wae Tiong Pantai Tiwu Rao sekitar 15 menit. Dalam perjalanan batuan menjadi teman kami bercerita. Bebatuan yang ada pada tubuh jalan itu diperkirakan di bangun sekitar tahun 2000-an oleh warga setempat.
Pantai Tiwu Rao Wae Tiong Desa Benteng Dewa
Di bibir pantai, ombak berdesir berirama. Ia mengabari tentang kehidupan. Kehidupan manusia yang kadang bahagia dan kadang sedih. Dan ombak itu adalah tawaran paling berharga, bahwa hidup semestinya disyukuri.
Adalah suatu Diary dialog kelas bebas kami kali ini petualangan menemukan pelukan dan pantai dan sejuknya mata akan sebuah kejutan. Seperti biasa insomnia adalah bawaan saya selaku penulis diary petualang aneh yang sibuk merangkai dan mengemas cerita dalam kehidupan. Pada belahan Indonesia Timur, kita seringkali menyebut itu sebagai surga kecil semesta di bumi. Pada sebuah desa kecil yaitu Desa Benteng Dewa di kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Semalaman sebelumnya kami diskusi tentang “Alam sebagai Representasi Semesta” melalui Wujud Pantai. Kendati usai bercerita dan bertengkar diskusi di sebelah kanan Gereja. Kami semua berkumpul di Pastoran Paroki Sta. Familia Wae Nakeng, menyiapkan segala sesuatu, baik makanan maupun minuman.
Traveling dan petualangan juga sebenarnya mengajarkan kita tentang karakter kita sebagai makhluk komunitas yang berperan aktif dalam sebuah perkumpulan baik dalam gereja maupun lainnya. Kebetulan, kami semua adalah anggota aktif Orang Muda Katolik Paroki Sta. Familia, kami memilih petualangan mengenal identitas semesta dalam wujud alam melalui kunjungan yang kami adakan pada Minggu, 10 Juli 2022.
Kami berjalan bersama Pastor Paroki Rm. Charles dan Pastor Kapelan Rm. Aldo serta Fr. Kiven dan orang muda katolik. Melewati persimpangan tikungan di beberapa jalan mulai dari Malawatar hingga berhenti dan memarkirkan kendaraan di Pelabuhan Nangalili. Pada dasarnya, kendaraan bermotor itu biasanya dimuat dengan menggunakan perahu kecil.
Biaya terbilang cukup murah sekitar Rp. 15.000 sekalian dengan pengendara itu sendiri. Usai kami tiba di Joneng, kami segera dijemput oleh Bapak Dusun Poco Sesok yang bernama Isidorus Idris Ngadu.
Dia menyatakan,”Harapan kami masyarakat di Desa Nangebere tentu perihal tentang Listrik, air dan jalan harus diperbaiki oleh pemerintah, apalagi di Desa Benteng Dewa, Wae Tiong ada keindahan pantai yang tergeletak bebas memanjakan pesona mata hati terlebih bagi mereka yang suka mengisi liburan di pantai. Pantai Kolong dan Pantai Tiwu Rao itu merupakan sebuah surga kecil di sudut Lembor Selatan.”
Bapak Isidorus sendiri diperkirakan sekitar usia 50-an tahun, ia begitu semangat menyambut kami semua selaku wisatawan lokal. Ia juga menceritakan tentang berbagai harapan dan angan-angan pada jendela masa depan desa yang ia tempati. Salah satunya adalah kepedulian dan kepekaan pemerintah dalam menghadirkan infrastruktur jalan, dan penerangan.
Terkait jembatan sendiri, apabila di sana ada jembatan maka perputaran ekonomi untuk angkutan sungai akan mengalami defisit, sehingga mungkin sebaiknya perbaikan jalan di sebelah mulai dari Joneng hingga ke desa lainnya adalah alternatif terbaik untuk menjemput tempat wisata di bagian selatan khususnya di Desa Benteng Dewa.
Perjalanan kami diperkirakan berjumlah 20-an orang. Masa muda adalah masa paling indah menciptakan pengalaman yang tak lekang terlupakan pada saat usia menjemput uban. Banyak di antara kami mungkin punya ceritanya masing-masing tentang bagaimana mencari ketenangan di lingkungan pesisir pantai. Berlibur ke pantai merupakan aktivitas yang paling disukai pada orang-orang yang mencintai ketenangan dengan mengunjungi pantai di sekitar mereka berada.
Di pertengahan perjalanan kami juga temui jembatan yang hampir runtuh. Hal tersebut bila tidak segera diperbaiki mungkin beberapa tahun ke depan ia akan hilang. Selain kami ada juga beberapa orang yang ke sana tadi. Menurut Pak Dusun, “Angan-angan kami cuman tiga, jalan diperbaiki, listrik, dan air”.
Hampir di belahan sudut-sudut desa. Semua memiliki impian yang sama. OMK sta. Familia Wae Nakeng diperkirakan di Pantai Tiwu Roa sekitar sampai Pukul. 16.00 Wita. Usai menikmati indahnya Pantai dan jalan bebatuan kami pun kembali pulang dengan membawa kenangan masing-masing.