Jakarta, Suaranusantara.co – Menko Polhukam Mahfud MD menyebut kewenangan mengubah masa jabatan presiden ada di tangan MPR. Secara konstitusi, Presiden tidak punya kewenangan untuk mengubah hal tersebut.
“Kalau mau mengubah, itu urusan MPR, bukan wewenang Presiden,” kata Mahfud dalam akun twitter-nya @mohmahfudmd yang diunggah pada Senin, 15 Maret 2021.
Ia menjelaskan salah satu alasan penting pembubaran Orde Baru dan reformasi 1998 adalah ingin membatasi masa jabatan presiden. Hal itu karena masa jabatan pimpinan Orde Baru. Dalam hal ini terkait Presiden Soeharto tidak ada batas. Dengan alasan itu, MPR melakukan amandemen UUD 1945 dengan membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode.
“Presiden Jokowi tak setuju adanya amandemen lagi,” tegas Mahfud.
Ia menyebut jika ada yang hendak mendorong perpanjangan masa-jabatan presiden tiga periode, Jokowi menyebut orang tersebut sedang cari muka kepadanya. Jokowi sama sekali tidak setuju atas usulan itu.
“Bahkan pada 2/12/2019 mengatakan bahwa kalau ada yg mendorongnya menjadi Presiden lagi maka ada 3 kemungkinan. Yaitu 1. Ingin menjerumuskan; 2. Ingin menampar muka; 3. Ingin mencari muka. Kita konsisten saja, batasi jabatan Presiden 2 periode,” tutup Mahfud dalam twit-nya.
Penambahan Masa Jabatan Presiden Cederai Reformasi 1998
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengemukakan wacana penambahan masa-jabatan presiden tidak layak masuk dalam agenda amandemen kelima UUD 1945.
Agenda itu tidak penting dan substansial. Selain itu, usulan tersebut mempertontonkan kebodohan dan ambisi politik kotor yang dulu pernah menyeret bangsa ini ke jurang otoritarianisme.
“Usulan itu bertentangan dengan tujuan reformasi yang menginginkan adanya pembatasan masa-jabatan presiden. Khittah perjuangan sistem presidensial purifikasi kita adalah membatasi masa-jabatan presiden,” kata Pangi di Jakarta, Selasa, 16 Maret 2021.
Ia tidak melihat ada alasan substantif dan rasional terkait usulan tersebut. Dia menyayangkan situasi yang terjadi sekarang adalah publik digiring masuk dalam perdebatan dan wacana politik ke dalam dukung-mendukung terkait usulan tersebut. Perdebatan layaknya oposisi melawan pemerintah atau perdebatan Pilpres 2019 yang tidak produktif dan minus argumentatif.