Dr. Maslihati Nur Hidayati, S.H., M.H., Prodi Hukum UAI
Depok, Suaranusantara.co – Meninggalnya ratusan suporter dalam pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu (1/10) menjadi kisah pilu yang akan menjadi catatan kelam dalam sejarah sepak bola dunia.
Sejumlah perempuan, anak-anak, siswa SMP, SMA dan SMK di Kota Malang turut menjadi korban dalam tragedi kerusuhan tersebut.
Pemakaian gas air mata oleh aparat keamanan dalam pertandingan tersebut dituding sebagai pemicu jatuhnya banyak korban. Padahal, FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Berdasarkan pedoman ‘FIFA Stadium Safety and Security Regulation‘ Pasal 19 poin B, disebutkan tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa.
Komnas HAM mengungkapkan berdasarkan hasil investigasi dalam tragedi Kanjuruhan, didapati temuan serius bahwa tata kelola sepak bola di Indonesia tidak dilandasi oleh prinsip ketaatan terhadap hukumnya sendiri, dalam hal ini PSSI selaku badan induk sepak bola Indonesia, justru melanggar aturan yang mereka buat.
PSSI juga dinilai melanggar aturan yang dibuat oleh FIFA. Regulasi PSSI yang dilanggar adalah soal perjanjian kerjasama terkait pertandingan tersebut. Misalnya pelibatan pasukan huru-hara Brimob dan atribut kelengkapannya.
Pelanggaran lainnya, PSSI tidak menetapkan laga Arema FC versus Persebaya pada 1 Oktober sebagai pertandingan berisiko tinggi. Selain itu, PSSI juga tidak memperhatikan mekanisme untuk pertandingan berisiko tinggi.
Pada dasarnya telah terjadi pergeseran mentalitas yang luar biasa terhadap apa yang disebut klub sepakbola itu. Persepakbolaan di Indonesia adalah sebuah ‘perusahaan bisnis’ semata, yang kebetulan bidang usahanya adalah sepakbola. Klub sepakbola menjadi sebuah merek dagang (brand) yang menjual afinitas emosi lewat prestasi di lapangan hijau.
Sudah 3 bulan semenjak tragedi Kanjuruhan, seakan seperti tidak terjadi apa-apa. Pertandingan Liga 1 kembali berjalan meski tanpa penonton. Laporan TGIPF seakan dianggap angin lalu oleh PSSI. Membenahi PSSI merupakan hal yang sangat sensitif, mengingat independensi hukum yang dimiliki oleh PSSI.
Apabila terkait tata kelola sepakbola, PSSI wajib menginduk dan taat pada hukum yang diterbitkan oleh FIFA, adanya intervensi dari pemerintah terhadap PSSI akan berdampak pada ancaman sanksi pembekuan oleh FIFA.