Jakarta, Suaranusantara.co – Kode Etik menjadi bagian penting dalam menjalankan suatu profesi. Pada dasarnya etika profesi diperlukan karena bertujuan agar suatu profesi tidak melanggar batas sesuai ketentuan sehingga tidak merugikan berbagai pihak.
Etika profesi memberikan batasan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan dalam menjalankan suatu profesi. Para pihak yang menjalankan suatu profesi harus taat dan patut terhadap aturan khusus dalam etika profesi.
Sebagaimana halnya dengan profesi akuntan yang menuntut seseorang untuk mampu bertindak secara profesional dan sesuai dengan etika. Profesi akuntan memiliki tanggungjawab besar, baik dalam pekerjaan, organisasi, dan diri sendiri. Dengan bertindak sesuai dengan etika maka kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan akan meningkat. Namun demikian, meski sudah paham tentang etika, masih banyak pihak yang menjalankan sebuah profesi namun melanggar etika profesinya di dunia kerja.
Kasus Pelanggaran Etika
Ada beberapa kasus yang cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia, salah satunya kasus penggelapan uang nasabah oleh seorang pegawai bank Citibank, Malinda Dee. Kasus ini menyebabkan krisis reputasi dan kepercayaan oleh masyarakat melanda Citibank mulai tahun 2011.
Kasus pembobolan dana nasabah Citibank oleh Malinda Dee, Senior Relation Manager Citi Gold di salah satu bank konvensional Citibank berlangsung selama 4 tahun, sejak 2007 s.d. 2011. Melinda diduga telah mengelabui 37 nasabah Citibank termasuk Rohli bin Pateni. Dana Rohli terkuras oleh Malinda Dee hingga 24 kali dengan nilai total nominal Rp 9.065.281.000 dan US$550.700.
Modus operandi yang dilakukan Malinda adalah dengan melakukan pengaburan transaksi dan pencatatan tidak benar terhadap beberapa slip penarikan dana rekening nasabah. Cara ini digunakan untuk memindahkan sejumlah dana milik nasabah tanpa seizin pemilik dana ke beberapa rekening yang dikuasai Malinda.
Pada tahun 2011 Malinda tercatat oleh jaksa melakukan 117 transaksi pembobolan dana nasabah. Transaksi tersebut terdiri dari 64 transaksi dalam rupiah dengan nilai Rp27.369.065.650 dan 53 transaksi dalam USD dengan nilai US$2.082.427. Jumlah keseluruhan dana nasabah yang digelapkan oleh Malinda kurang lebih sebanyak Rp46,1 miliar.
Selain memberikan kerugian secara material, Malinda Dee pun memberikan kerugian secara immaterial yang tidak ternilai seperti hal nya reputasi perusahaan, nama baik keluarga, kinerja para professional akuntan yang dipertanyakan dan pertanggungjawaban yang perlu diberikan oleh Malinda Dee secara pribadi.
Sanksi Pidana
Meskipun atas tindakannya, Malinda Dee dituntut 13 tahun penjara dan dikenakan denda Rp10 miliar, akibat telah melanggar kode etik professional seorang banker dan regulasi hukum yang ada di Indonesia, dimana Malinda Dee melanggar ketentuan Pasal 49 ayat 1 (a) dan 2 (b) UU No. 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang serta ketentuan yang terdapat pada Pasal 3 UU No.8 tahun 2010 maupun ketentuan Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Namun dalam memutuskan hasil sidang perkara, majelis hakim memvonis jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Vonis tersebut adalah hukuman 8 tahun penjara serta denda Rp10 miliar. Pemutusan pengembalian dana sesuai dengan tuntutan yang telah diberikan.
Namun untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana, dan sebagai contoh bagi masyarakat guna meminalisir kondisi yang serupa di masa mendatang, dan tanpa mengurangi rasa hormat dan menghargai keputusan yang telah terjadi, seharusnya majelis hakim perlu mempertimbangkan hukuman yang lebih berat seperti memiskinkan pelaku dengan menarik asset yang dimiliki, ataupun memperpanjang masa penahanan, yaitu selama 15 s.d. 20 tahun penjara di luar penilaian berperilaku baik pada proses penahanan setelah terjadinya putusan.
Hal ini untuk melihat kesungguhan seorang tersangka dalam mempertanggungjawabkan perilaku yang telah ia lakukan. Sekaligus untuk memberikan efek jera dengan secara tidak langsung memutus masa karir di masa mendatang setelah dibebaskan, karena telah adanya catatan buruk yang telah terekam di pengadilan, sehingga masyarakat dapat memikirkan perilaku apa yang akan dilakukannya mengingat tegas nya aturan hukum di Indonesia.
Perbaikan Citra Profesi Akuntan
Melihat apa yang telah terjadi, sebagai tindakan preventif (pencegahan) Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Institut Akuntansi Manajemen Indonesia (IAMI), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dengan para pihak akdemisi terkait termasuk dosen perlu bergerak cepat dalam meminalisir kasus serupa di masa mendatang terlebih untuk memperbaiki citra profesi akuntan khususnya di Indonesia.
Pihak regulator seperti hal nya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meninjau kembali tata cara pembelajaran yang baik dan efisien terkait dengan penekanan kode etik profesi akuntan, dilain sisi pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu melakukan pengawasan secara ketat dan melakukan supervise secara optimal.
Jika melihat pada sudut pandang lain, yaitu pada sudut pandang korban, selaku konsumen perlu meningkatkan minat membaca dan melakukan validasi sebelum mempercayai apa yang terjadi pada public, sehingga dapat menciptakan sinergi antara masyarakat sebagai konsumen, pihak pelaku usaha, para akuntan professional hingga pemerintah selaku regulator dapat memberikan dampak signifikan pada kondisi literasi keuangan yang baik.
______________________________
Penulis : Kanaya Azzahra, Nurul Sri, Rakhsan Ghifari, Zulfah