Bali, Suaranusantara.co – Tradisi Perang Pandan Mekare-kare atau Mageret Pandan adalah budaya yang berlaku sejak turun-temurun di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Bali.
Perang Pandan Mekare-kare ini merupakan rangkaian dari upacara keagamaan saat pelaksanaan upacara Sasih Sembah. Kaum pria mengenakan pakaian adat madya berupa sarung, selendang dan ikat kepala serta bertelanjang dada. Sedangkan para perempuan memakai pakaian khas Tenganan, berupa kain tenun Pegringsingan.
Hanya kaum pria yang menginjak usia dewasa saja yang boleh mengikuti Perang Pandan Mekare-kare. Sebelum mulai dengan acara puncak, seluruh peserta berkeliling desa untuk memohon keselamatan.
Saat perang berlangsung, peserta berdiri berhadap-hadapan satu lawan satu, dengan wasit di tengah-tengah. Setiap peserta membawa seikat daun pandan, sebagai simbol gada, di tangan kanan. Sedangkan perisai berada di tangan kiri.
Setelah mendengar aba-aba, kedua peserta saling dengan merangkul sambil memukulkan pandan di punggung lawan. Sambil di pukulkan, pandan juga di geret, sehingga di sebut Upacara Mageret Pandan.
Semua peserta bergantian berperang selama kurang lebih 3 jam. Setelah selesai, luka pada bagian punggung peserta diobati dengan obat-obatan tradisional. Tidak ada dendam dalam hati maing-maing peserta karena tradisi untuk upacara persembahan yang harus dilakukan dengan tulus ikhlas.
Masyarakat Desa Tenganan di Bali adalah penganut agama Hindu, namun yang menjadi dewa tertinggi mereka adalah Dewa Indra. Ini berbeda dengan keyakinan warga Hindu lainnya yakni dewa Tri Murti yang tertinggi, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.
Jadi pelaksanaan Tradisi Perang Pandan Mekare-kare ini adalah bentuk penghormatan kepada Dewa Indra sebagai Dewa Perang. Hal ini juga bertujuan untuk menghormati para leluhur, yang di gelar pada bulan Juni bertepatan dengan upacara Ngusaba Kapat (Sasi Sembah).