Oleh: Muhammad Agil Yulkhaizar Panuh, Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Restorative justice yang kini dikenal di kalangan masyarakat dan penegak hukum, merupakan suatu upaya penyelesaian perkara. Penyelesaian ini melibatkan korban, pelaku, dan pihak terkait yang secara bersama menemukan solusi secara adil. Upaya ini merupakan proses pemulihan pada kondisi semula dan tidak melakukan pemidanaan.
Tujuan pemidanaan harapannya bisa mencapai berbagai hak banyak pihak, dengan tidak memakai paradigma retributif melainkan dengan restorative justice yang memberikan pemulihan kondisi yang semula sebelum terjadi peristiwa tersebut.
Restorative justice atau keadilan restoratif memiliki dua indikator yang menjadi dasar, yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanismenya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif menjaid pertimbangan kembali.
Mengapa Restorative Justice?
Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang menjadi dasar pengancaman dan penjatuhan pidana. Dalam pengertian ini, yang alasan pemidanaan adalah pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan. Atau dengan kata lain, pembalasan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu.
Pemenjaraan membawa akibat bagi keluarga narapidana. Sistem yang berlaku sekarang nyatanya tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang menjadi penekanannya adalah resolusi konflik. Gagasan Restorative Justice ini sudah masuk dalam RUU KUHP, yaitu pengenalan terhadap sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat.
Keadilan restoratif munculnya keterlibatan dari berbagai pihak terjadi secara bermakna dan maksimal. Di samping korban dan pelaku maka keluarga dari keduanya serta masyarakat sebagai pihak yang sudah mengalami kerugian dengan tindakan dari pelaku. Selain itu sistem ini juga memposisikan nilai yang lebih tinggi pada keterlibatan secara langsung bersama beberapa pihak.
Dengan demikian, korban dapat melakukan pengembalian kontrolnya. Sementara pelaku mendapat dorongan untuk bertanggungjawab yang menjadi langkah perbaikan kesalahan akibat perbuatannya. Terdapat kesempatan bagi pelaku untuk memberikan bukti akan kemampuan maupun kualitasnya selain mengatasi perasaan bersalah dengan pembinaan. Melalui fokus terhadap kerugian yang menjadi akibatnya, memulihkan kerugian dari korban dan mengurangi kerugian yang terjadi di masa depan melalui upaya mencegah tindakan kejahatan.