Oleh: Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia
Manusia dan Eksploitasi
Kemerdekaan berfikir dan bertindak adalah sifat dasar manusia. Sejak ia diciptakan dan lahir menapak di muka bumi sebuah kebebasan terus diperjuangkan. Perbudakan dalam sebuah sistem penjajahan manusia terjadi, menjadikan manusia hanya sebatas objek benda yang diperjual-belikan di pasar-pasar budak. Eksploitasi manusia dan segenap sumber daya alam, menjadikan manusia dan alam sebagai objek eksploitasi demi pemenuhan dahaga kapitalisme rempah global. Kebutuhan akan rempah secara global adalah akibat dari menyebarnya wabah pes dunia yang saat itu disebut sebagai Plague of Justinian pada tahun 542 M. Rempah diyakini sebagai obat yang mujarab untuk menyembuhkan wabah tersebut, sehingga bangsa Eropa berlomba memburu rempah dimanapun hingga ke Maluku (Fauziah, 2022).
Petualangan pencarian keuntungan bisnis rempah-rempah berubah menjadi ekspolitasi dan perbudakan di dunia timur. Keuntungan luar biasa dari sebuah perdagangan rempah dijalankan dengan tumpahnya darah manusia. Rempah tidak lagi diperoleh melalui dagang tetapi melalui penguasaan dan penindasan. Pedang diayunkan untuk menebas kepala para pemilik kebun rempah yang tidak menyerahkan hasil panennya. Di Sumatera Utara para buruh kuli dicambuk, diseret dengan kuda, kuku kaki mereka ditusuk dengan bambu. Kuli perempuan ditelanjangi, dan kemaluan mereka ditaburi merica (Zamzami, t.t.).
Manusia yang tertindas dalam sistem kapitalisme perdagangan rempah yang tidak adil, berupaya untuk keluar dari penindasan manusia atas manusia. Penindasan, eksploitasi manusia, penundukan, dan penjajahan berjalan dalam kabut kelam kapitalisme yang seakan tidak pernah berakhir. Perbudakan hingga perkosaan dijalankan untuk meraih keuntungan secara penuh. Tidak hanya rempah tetapi manusiapun diperjualbelikan sebagai sebuah komoditas yang diperdagangkan di pasar-pasar budak. Ia digunakan untuk menjalankan beragam pekerjaan kasar mulai perkebunan hingga pertambangan.
Agama menjadi sebuah paradoks, ketika ia disebarkan dalam semangat penjajahan melalui gagasan gold, glory and gospel. Penyebarluasan ajaran nilai kasih sayang Tuhan dijalankan dalam sebuah semangat eksploitasi rempah-rempah hingga perbudakan manusia. Gospel yang seharusnya bernuansa keluhuran budi manusia bertuhan disatukan dengan pencarian kekayaan dunia (gold) serta penyebaran kekuasaan politik manusia (glory). Manusia bertuhan yang penuh nilai kasih dalam ajaran agama, menjadi manusia tak bermoral ketika ia bersanding dengan semangat eksploitasi kapitalisme. Sebuah paradoks atas perilaku hewani manusia yang dijalankan oleh ras manusia kulit putih Eropa kala itu.
Nilai Perjuangan Manusia Indonesia
Manusia yang tertindas dalam proses ekploitasi kapitalisme global ini terus berusaha berjuang keras mencari celah bernafas. Ia berjuang mewujudkan hakikat manusia yang bebas dari segala penindasan dan eksploitasi. Manusia yang didorong oleh jiwa anti penindasan memperjuangkan kebebasannya. Dari kebodohan yang menyelimuti akal hingga tubuh yang tercambuk, manusia Indonesia terus berupaya menemukan kebebasan walau harus dibayar dengan nyawanya.
Kebebasan patut diperjuangan atas nama keadilan, bahwa manusia adalah sederajat di mata Tuhan. Bahwa penindasan manusia berkulit putih Eropa yang menjuluki manusia non-Eropa sebagai uncivilized atau tak beradab patut dihentikan. Tidak ada manusia atas dasar warna kulit lebih mulia dari yang manusia lainnya. Dunia menjadi tempat yang begitu tidak adil dalam hubungan antar manusia. Perjuangan digerakkan atas nama kebebasan sebagai makhluk Tuhan. Jutaaan manusia meregang nyawa dalam proses eksploitasi dan sisanya dalam proses perjuangan mencari sebuah kebebasan dan kemerdekaan manusia di Bumi Nusantara.
Dehumanisasi yang tampak dihadapan mata menyadarkan bahwa perjuangan wajib dilakukan. Sebuah usaha yang tampaknya begitu sulit untuk dilakukan karena keterbatasan sumber daya serta hinggapnya kebodohan yang merata pada sebagian besar manusia Nusantara. Perjuangan dijalankan dengan sebuah kesadaran bahwa tidak cukup hanya dengan semangat dan kekuatan fisik, tetapi juga melawan kebodohan sebagai musuh utamanya.
Kesadaran untuk menjadi manusia yang cerdas perlu dibangun untuk mengatasi dunia yang tidak adil akibat penjajahan. Tindakan rasialisme melalui pemisahan warga berdasarkan warna kulit perlu dilawan melalui penciptaan sebuah ruang kemerdekaan. Merdeka dalam menentukan pilihan hidup tanpa adanya penghinaan dan penindasan juga eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya.
Format perjuangan tidak hanya berwujud perlawanan secara fisik, tetapi yang sangat penting adalah peningkatan intelektual manusia Nusantara melalui pendidikan. Kesadaran intelektual dibangun melalui beragam metode, mulai pembangunan sekolah bagi warga pribumi, pendirian organisasi sosial hingga partai di era penjajahan yang berawal dari politik etis dan mendukung mesin birokrasi Hindia Belanda, tetapi setidaknya ia telah memberikan kesadaran bagi manusia untuk keluar dari belenggu kehinaan sebagai warga jajahan (Supardan, 2017). Perlahan mulai bermunculan tokoh intelektual yang berdiri tegak dari kalangan bumiputera dengan suara lantang mengajak semua komponen bangsa terjajah untuk melawan tirani kolonialisme.
Manusia bukan sebuah objek yang dikendalikan oleh pemegang kuasa kapitalis. Manusia adalah subjek yang berkehendak bebas, memiliki kehormatan sebagai makhluk berfikir yang harus dihormati. Ras kulit putih sebagai pendukung kolonialisme mulai tersadar bahwa manusia Nusantara terjajah dan bodoh ini telah menemukan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan yang patut mendapat penghormatan. Tidak boleh ada lagi ruang eksploitasi dan penindasan atas nama imperialisme Eropa.
Bangsa yang besar mulai bertumbuh, kesadaran atas sebuah kebebasan manusia mulai tertanam dalam benak manusia di Bumi Nusantara. Bahwa hanya ada satu cara untuk melawan perilaku kolonialisme, menyatukan segenap komponen anak bangsa untuk bergerak bersama menuju kemerdekaan manusia dan bangsa. Manusia Nusantara terus membangun kekuatan dengan melakukan konsolidasi kekuatan dari timur hingga barat di bawah lindungan Tuhan. Setiap jiwa manusia Indonesia menyatu atas nama Tuhan dalam sebuah kekuatan besar untiuk menghancurkan dinding kolonialisme yang berdiri angkuh.
Kesadaran menjadi bangsa yang menegara dalam wujud Indonesia kini telah berdiri tegak di atas reruntuhan puing-puing kolonialisme Eropa. Bahwa kesadaran berbangsa nan menegara dalam rumah bangunan baru yang bernama Indonesia harus dijaga oleh siapapun juga. Bahwa lautan yang berisi putihnya garam, dan daratan tempat tumbuhnya gula merah telah menyatu. Merahnya sinar matahari yang menerangi pagi, dan putihnya cahaya sinar bulan di malam hari kini bersama menerangi bumi Indonesia.
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut,” (Qs. Al-Anfal: 9).