Labuan Bajo, suaranusantara.co — PT Logam Bumi Sentosa milik Jimy Lasmono dinilai apatis terhadap protes warga yang dirugikan akibat aktivitas penggilingan batu dan penambangan material galian C yang berlokasi di Ra’ong, Dusun Compang Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT
Operasi tambang galian c yang dilakukan oleh PT Logam Bumi Sentosa [LBS] milik Jimy Lasmono ini sudah beroperasi sejak 2020 lalu mendapat protes warga saat itu, lalu vakum selama beberapa bulan, kini beroperasi lagi warga tetap protes namun tidak dihiraukan.
Informasi ini diperoleh suaranusantara.co dari warga setempat yang diwakili oleh Sainal asal Ra’ong yang memberitahukan bahwa PT. LBS sudah beroperasi lagi, ada kegiatan penggalian material, penggilingan batu dan penjualan material.
Sementara kata dia ada beberapa kesepakatan yang belum ditepati dan letak crusher itu juga dekat dengan lahan dan pemukiman warga akibatnya debu dari crusher tersebut merusak tanaman sayur milik warga.
Awak media ini telah berusaha menghubungi Jimy Lasmono selaku pemilik perusahan dan pihak humas perusahan tersebut melalui WhatsApp pada Rabu (2/3)2025).
Pesan yang dikirim tercentang dua berwarna biru dan sudah terbaca namun Hingga saat ini pihaknya, Jimy Lasmono tidak menghiraukan konfirmasi wartawan media ini.
Pesan yang sama dikirim kepada pihak yang mengaku sebagai humas perusahan bernama Lodi. Ia membantah pernyataan warga yang mengatakan perusahan itu sudah beroperasi lagi.
“Untuk saat ini memang belum beroperasi. Beberapa Minggu lalu hanya kasih panas mesin,” kata Lodi
Selanjutnya ia mengatakan “Karna sudah lama sekali tidak dihidupkan,” sambungnya.
Setelah itu Lodi langsung mengirimkan link berita media infolabuanbajo.id yang berjudul ” Kehadiran PT. LBS di Kampung Ra’ong disykuri warga sebut bisa nikmati akses jalan hingga mengubah warna kampung,”.
Beberapa nara sumber yang disebutkan dalam berita tersebut menurut Sainal adalah orang yang bekerja di PT. LBS jadi tidak heran jika keterangan mereka dalam pemberitaan media itu cendrung memuji PT LBS.
Sebagai warga yang peduli terhadap nasip generasi di kampung Ra’ong ke depan yang dirugikan akibat aktivitas PT. LBS, Sainal tak segan-segan melayangkan protes melalui media sejak tahun lalu.
Protes itu bermula ketika Sainal merasa dirugikan akibat pengerukan yang dilakukan oleh PT. LBS.
Sainal menyebut, PT LBS telah merubah aliran sungai yang menyebabkan air naik hingga membanjiri lahan warga.
Kata Sainal, sebelum PT milik Jimmy Lasmono itu beroperasi, ada kesepakatan yang harus dilakukan.
Kesepakatan itu berupa beberapa butir permintaan warga yang harus diamini oleh Jimmy Lasmono.
Beberapa kesepakatan itu adalah PT. LBS tidak diperbolehkan mengeruk dua meter ke bibir kali atau ke tebing, Mengerjakan jalan Rabat Beton dan beberapa buah deker.
Sebagai timbal balik, warga Ra’ong membubuhi tanda tangan kesedian yang juga menjadi syarat utama bagi Jimmy Lasmono mengurus izin operasi.
Namun, tak menunggu izin keluar, Lasmono mengerahkan alat beratnya untuk memulai operasi.
Bagi Lasmono, surat kesedian dari warga Ra’ong menjadi tameng untuk beroperasi.
Warga yang tidak memahami arti dan prosedur perizinan, tak pernah menghiraukan operasinya alat berat milik Lasmono.
Warga hanya menunggu Lasmono memenuhi janjinya membangun jalan rabat beton dan beberapa buah deker.
Warga kesal, Lasmono tak membangun jalan dengan rabat beton, akhirnya, jalan yang dibangun hanya berusia seumur jagung. Apalagi kata Sainal, jalan itu sering dilalui oleh mobil distribusi material.
Selain dirugikan karena aktivitas galian, warga Ra’ong juga kesal karena aktivitas Crusher [alat pemecah batu] yang dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian warga.
Crusher ini, kata Sainal tidak dibicarakan ketika Jimy Lasmono meminta izin operasi kepada warga.
Warga mengaku kaget ketika Jimy Lasmono kembali mengoperasikan Crusher.
Sainal geram akibat debu dari Crusher yang merusak tanaman petani.
Menurut Sainal, Jimy Lasmono tak mengantongi izin galian. Lasmono kata Sainal hanya mengantongi izin Crusher dari pemerintah.
“Saya dan beberapa masyarakat yang memiliki lahan di sekitar kuari mengeluh karena tanaman sayur kami terlihat tidak sehat dan segar, diakibatkan debu batu dari kuari tersebut,” ungkapnya.
Kata Sainal, sekitar 30 pemilik lahan sayur tidak mengizinkan kuari tersebut ditempatkan di sekitar area perkebunan.
“Sekitar 30 an orang pemilik lahan sayur di sekitar lokasi Crusher yang mengeluh bahkan khawatir akan adanya dampak besar bagi kesehatan masyarakat yang akan terjadi kedepannya. Selain itu, sayur yang kami tanam ini tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga tetapi untuk dijual. Kami takut sayur yang terkena abu itu tidak ada yang beli karena teksturnya yang tidak bagus dan mengancam kesehatan bagi konsumen,” jelas Sainal.
Setelah melakukan protes melalui media, pada Kamis, 27 Maret kemarin, Sainal dipanggil oleh Tim Tindak Pidana Tertentu [Tipidter] Polres Manggarai Barat untuk dimintai klarifikasi terkait pernyataannya di media.
Sainal mengaku bingung karena ia tidak mengetahui siapa pelapor dari kasus tersebut. Sementara itu, Lasmono ikut diseret sebagai terlapor.
Saat diwawancarai oleh media ini pada Kamis, 27 Maret, Sainal mengatakan ia dipanggil untuk dimintai keterangan soal perusahaan milik Jimy Lasmono berizin atau tidak.
“Saya nenjelaskan [kepada penyidik] bahwa saya mengonfirmasi pertemuan baba Jimy dengan warga di rumah Haji Habid, dimana saat itu, warga menanyakan terkait izinannya. Baba Jimy menjawab, izinannya masih dalam proses. Sehingga, pada saat saya ditanya [oleh penyidik], saya menjawab, tidak ada izinan,” jelas Sainal.
Sainal menegaskan bahwa kalau masih dalam proses, itu artinya tidak ada izinan.
Harusnya, kata Sainal, PT. Logam Bumi Sentosa bisa beroperasi apabila ia telah mengantongi izin.
Penyidik juga bertanya soal siapa warga yang merasa dirugikan.
“Saya juga menjelaskan bahwa baba Jimy merubah aliran sungai. Ia membuat aliran ke kali Wae Lambos berbentuk selokan. Tetapi, waktu hujan, debit air meningkat sehingga air meluap ke perkebunan warga. Tadi, mereka [penyidik] juga bilang karena kondisi alam,” jelas Sainal.
Namun, kata Sainal, sebelum perusahaan milik Lasmono itu merubah aliran sungai, air sebesar apapun tidak pernah meluap ke perkebunan warga.
Sainal membantah tuduhan penyidik soal meluapnya air ke perkebunan warga sebagai bencana alam. Ia sangat yakin bahwa hal itu terjadi karena ulah perusahaan Lasmono yang telah merubah aliran sungai.