Oleh: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Living Law adalah respon terhadap positivisme hukum yang mereduksi hukum sekadar kepada hukum yang tertulis yang disusun oleh negara dan menomorduakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Wignjosoebroto, 2013).
Sementara aliran hukum positif memandang perlunya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dengan kata lain, pemisahan antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya (antara das Sein dan das Sollen). Dari perspektif kaum positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa, atau law is a command of the lawgivers.
Sore itu, saya dan beberapa rekan berdiskusi di pelataran dekat perpustakaan kampus, tentang kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Kasus ini melibatkan mantan Kadiv Propam, eks Jendral bintang dua, Ferdy Sambo, dan pelaku lainnya, termasuk Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal Wibowo, dan Richard Eliezer selaku penembak korban.
Saat proses penyidikan, LPSK tampil sebagai lembaga negara memberikan perlindungan bagi saksi dan korban. Mulanya Richard Eliezer alias Bharada E, dan Putri Candrawathi yang memohon perlindungan. Namun seiring waktu, hanya permohonan Bharada E yang mendapat persetujuan. Sehingga hanya Bharada E, satu-satunya terdakwa yang menjadi justice collaborator.
Hukum Mengikuti Dinamika Masyarakat
Masyarakat di dalam dan di luar negeri memberikan dukungan terhadap justice collaborator. Sampai dengan saat terakhir, diantara mereka mengusung the living law. Pengertian the living law adalah hukum yang lahir di tengah masyarakat karena adanya dinamika dimana masyarakat senantiasa berubah secara terus-menerus yang melahirkan pembaruan di segala bidang.
Contohnya, dalam teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pada mulanya di era ini tersedia sarana komunikasi tanpa batas yang terkoneksi melalui jaringan internet. Jumlah pengguna (user) internet ini berkembang pesat dan mereka membentuk forum-forum dan group di dunia maya. Dari sana muncul ide berbagai platform media sosial. Dari kehidupan dunia maya ini, para pengguna mulai berjualan dan bertransaksi.
Mereka membuka toko-toko online dan terhubung dengan media sosial untuk meraih pangsa pasar. Selanjutnya, online shops ini mendapatkan wadah berupa platform yang dikenal dengan istilah marketplace. Medium komunikasi yang awalnya web-based semakin berkembang pesat ketika mobile-based menjadi opsi. Dengan berbagai pilihan fitur aplikasi yang praktis, pengguna internet mulai banyak yang beralih berinteraksi melalui handphone.
Akan tetapi, di antara para pengguna ada pihak-pihak tidak bertanggungjawab, yang menyalahgunakan sarana dan fasilitas teknologi untuk melakukan penipuan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya, atau cybercrime.
Karena fenomena cybercrime inilah, pemerintah hadir dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE). Regulasi ini mengatur transaksi dalam penyelenggaraan e-commerce guna memberikan perlindungan bagi pengguna aplikasi dan platform di dunia maya.
Positivisme Hukum
Hukum pidana di Indonesia menganut sistem positivisme, yang artinya sanksi pidana (nestapa) berlaku terhadap pelaku tindak pidana apabila telah ada undang-undang yang ditetapkan untuk mengaturnya. Seorang terdakwa dalam suatu kasus menerima vonis majelis hakim, setelah jaksa mengajukan tuntutan. Terdakwa juga diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan.Mekanisme hukum beracara ini diterapkan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang.
Memang pada praktiknya di peradilan Indonesia, masih banyak terjadi penerapan hukum yang “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Pelaku tindak pidana menyelamatkan diri dari jerat hukum dengan melakukan daya upaya dengan cara menyuap dan mengeluarkan sejumlah besar uang. Pelaku pidana ingin lolos dari jerat hukum, atau mendapatkan vonis yang ringan.
Banyak terdakwa tindak pidana korupsi yang mendapatkan hukuman, yang oleh masyarakat dinilai tidak cukup memberatkan atau tidak setimpal dengan perbuatan mereka. Sementara terdakwa koruptor telah melakukan tindakan yang merugikan negara dan rakyat. Mereka menyalahgunakan dana kas negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, hingga mencapai milyaran bahkan trilyunan rupiah.
Para koruptor dapat melakukan apa saja dengan sejumlah uang besar yang yang mereka peroleh secara ilegal,. Misalnya dengan melakukan praktik suap terhadap para penegak hukum atau melarikan diri, atau bersembunyi dan melanjutkan hidup di luar negeri. Terkait hal ini telah ada beberapa negara yang saling mengikatkan diri dengan menandatangani kesepakatan bilateral yakni perjanjian ekstradisi.
Ironisnya, karena kerugian dengan nilainya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan koruptor, ada maling ayam atau maling kambing yang ditangkap dan masuk pengadilan. Mereka ini tidak dapat meloloskan diri karena tidak punya hanyak uang. Sehingga seringkali dengan terpaksa mengikuti aturan hukum dan menerima vonis hukuman penjara atau denda.
Hukum dan Keadilan
Dalam praktik hukum acara pidana di Indonesia, ada alasan pembenar dan alasan pemaaf. Ada pula hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim, baik yang meringankan maupun yang memberatkan, saat menentukan putusan. Hukuman diberlakukan setelah hakim di pengadilan tingkat pertama mengetok palu. Namun terdakwa masih memiliki kesempatan menggunakan hak-haknya untuk mengajukan mengajukan banding, bahkan kasasi.
Hakim mempertimbangkan segala aspek menggunakan legal reasoning (penalaran hukum) dalam menentukan putusan mengumpulkan fakta-fakta materiil di persidangan, sebagaimana dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Hal yang memberatkan adalah para terdakwa berbohong, tidak menyesali perbuatannya dan berbelit-belit. Mereka yang mendapatkan sanksi lebih berat dari tuntutan jaksa, adalah Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal.
Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal melalui kuasa hukum mereka mengungkapkan akan menggunakan hak-hak mereka untuk mengajukan banding. Sementara kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, menyatakan mereka sedang mempertimbangkan upaya hukum selanjutnya.
Hakim mempertimbangkan antara lain sikap sopan Bharada E selama menjalani persidangan dan belum pernah dihukum sebagai hal-hal yang meringankan. Hakim juga mempertimbangkan untuk menerima status justice collaborator pihak yang bersangkutan, dan mendapatkan vonis 1,5 tahun penjara.
The Living Law
Masyarakat luas menyoroti kasus ini dan media-media mainstream terus memonitor langsung dari PN Jakarta Selatan, serta mengundang dan mewawancarai berbagai pihak terkait. Tak mengherankan jika pada hari di mana hakim membacakan vonis Bharada E, dukungan dari berbagai elemen masyarakat pantang surut, Bahkan akademisi dan kaum intelektual turut serta bersama masyarakat awam untuk mengawal dan menyerukan keadilan untuk justice collaborator ini.
The Living law seketika menjadi istilah populer yang berupaya ‘melawan’ positivisme hukum di Indonesia. Para pendukung Bharada E menyadari perlunya penegakan hukum, namun di sisi lain, menuntut pula adanya keadilan. Tindakan Bharada E yang membunuh Brigadir J merupakan tindak pidana dan aturannya telah ada dalam hukum positif di Indonesia.
Namun kesediaan Bharada E menjadi justice collaborator membuat the living law menjadi ‘magnet’ yang mendorong terwujudnya rasa keadilan di tengah masyarakat. Memang masih banyak pihak yang pro dan kontra dengan vonisnya, tapi setidaknya, kita sebagai masyarakat Indonesia sama-sama belajar bahwa ada nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat yang ‘memvalidkan’ makna keadilan.
Menurut saya, yang dapat menjadi highlight adalah bahwa the living law yang mengutamakan moralitas, dalam penentuan putusan hukum merupakan hal yang dapat menjadi pertimbangan. Sehingga penegak hukum semuanya tahu bahwa rakyat mengawasi kinerja mereka sehingga tidak semena-mena dalam menjalankan upaya penegakan hukum. Pelajaran lain dari kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini, adalah pentingnya peran justice collaborator, terutama pada saat kasus di persidangan minim pembuktian. Akan sangat luar biasa jika akan ada, dan semakin banyak, orang yang bersedia mengajukan diri sebagai justice collaborator, terutama dalam persidangan tindak pidana korupsi.