Jakarta,Suaranusantara.co-Kita tidak sedang membenci Sains. Bukan juga sedang meremehkan kemampuan para ilmuwan. Namun kita sedang meragukan suatu keyakinan buta, bahwa penerapan sains ke dalam teknologi itu bersifat obyektif dan bebas nilai. Kita sudahi kenaifan di hadapan fakta. Para ilmuwan di Laboratorium membutuhkan dana untuk melakukan riset.
Militer tahu peluang itu demi kemajuan pertahanan. Pemerintah juga punya agenda untuk mewujudkan proyeknya. Para pengusaha berlomba-lomba untuk menguasai inovasi-inovasi. Para ilmuwan, dalam kerjasama dengan mereka, juga tidak akan menyia-nyiakannya.
Tentu saja harapannya adalah Sains tetap berdiri teguh pada tugasnya sebagai peneliti murni. Namun demikianlah dunia: selalu ada ketegangan antara idealisme dan realisme. Para ilmuwan juga pernah tergoda untuk memasuki kepentingan politis dan ekonomis.
Simbiosis mutualisme antara sains, kepentingan, dan kekuasaan adalah wilayah bukan sembarangan orang. Warga negara tidak dengan mudah memasukinya. Ada warga terdidik yang begitu polos yakin akan “netralitas” sebuah riset. Dan begitu utusan-utusan dari “pusat” datang dengan barisan para ahli, biasanya mereka cepat takjub.
Sekali lagi, ada gejala umum untuk melupakan sejarah kekecewaan. Bahwa Kemajuan Sains dan Teknologi seringkali tidak sejalan dengan maksud awalnya. Demikian juga kehendak politik yang baik, tidak selalu berakhir adil. Sebab, kita cenderung naif, mudah silau akan konsep kemajuan tertentu, dan sembrono.
Hari ini semakin panas dengan perdebatan soal proyek Geothermal. Salah satunya di Wae Sano dan akan menyusul di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hari ini hampir semua orang yang tahu tentang krisis Ekologi akan mendukung gerakan Energi Bersih dan Terbarukan. Tetapi tetap ada orang-orang yang meragukan Industri ekstraksi Panas Bumi tergolong dalam energi bersih dan terbarukan atau tidak.
Mereka mencurigai bahwa tindakan merusak daya ikat bebatuan dalam bumi akan menyebabkan gempa minor, amblesan tanah, serta pencemaran dan krisis air. Kalau masih ada yang meragukan resikonya lantaran sudah diberi “obat penenang” berupa data-data saintifik, mungkin perlu diingat betul kenyataan berikut.
Hampir tidak ada yang namanya Sains bebas nilai dan kepentingan. Mengingat bahwa pelakunya adalah manusia yang dikondisikan oleh lingkungan ekonomi dan politik. Lagipula, setiap penerapan sains ke dalam proyek konkrit, harus menyertakan data-data secara berimbang, baik pro maupun kontra; keuntungan maupun kerugian. Jika ada prepesentrasi energi Panas Bumi yang sekedar menyuguhkan jargon-jargon kebahagiaan belaka, maka di saat itulah kecurigaan (curiosity) dimulai.
Kecurigaan metodis ini bukanlah kebencian pada ilmu pengetahuan. Justru ini muncul dari riset ilmiah. Salah satu tokoh pentingnya adalah Karl Popper. Ia mengajarkan tentang prinsip falsifikasi. Suatu teori akan tetap diterima sebagai kebenaran untuk sementara waktu sejauh tahan uji. Jika eksperimen terhadap fakta-fakta berhasil menggugurkannya, teori tersebut harus ditinggalkan dan dicari teori spekulatif lainnya.
Semakin sering dilawan, suatu pernyataan ilmiah semakin bertambah bobot kebenarannya. Sebagai contoh: Kalau faktor-faktor resiko yang berpotensi menggagalkan proyek geothermal ditutup-tutupi atau dikurang-kurangi, maka dasar ilmiah proyek tersebut belum atau tidak siap diuji. Jangan dulu bicara untuk diterapkan.
Mengetahui informasi tentang dampak-dampak positif energi geothermal itu baik. Lebih baik lagi juga mengetahui dampak-dampak negatifnya. Jangan sampai kita setuju karena kurang informasi tentang resiko di masa depan. Kekurangan informasi bisa mengenai siapa saja.
Suara-suara sumbang yang menolak proyek Geothermal bukanlah sebentuk hasutan. Ini adalah cara kerja internal dalam Sains. Tujuannya agar kita mendapatkan bobot kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan dalam setiap penerapan ilmu pengetahuan.
Menyebut kritik dan argumentum ad contram sebagai “menghasut” bukanlah sikap ilmiah dan rasional. Ini hanyalah sekedar “baper” lantaran rekomendasinya tidak cepat-cepat dipenuhi. Mirip anak kecil yang merengek-rengek agar dibelikan permen, padahal sedang sakit gigi. Infantil dan merepotkan.