Ruteng, Suaranusantara.co – Dalam tulisan ini, saya memilih frase demokrasi kewargaan, namun dalam ulasannya demokrasi yang di maksud adalah demokrasi kewargaan dalam konteks pengawasan Pemilu.
Sebagaimana di ketahui, salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang di lakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, bukan hanya demokratis dalam pembentukannya tetapi juga demokratis dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Oleh karenanya, Pemilihan Umum menjadi satu hal rutin bagi sebuah negara yang menyebut diri sebagai sebuah negara demokrasi. Walaupun kadang-kadang praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap di jalankan untuk memenuhi tuntutan normative. Yaitu sebagai sebuah prasyarat demokrasi. Apalagi Pemilu masih menjadi mekanisme paling demokratis dalam peralihan kekuasaan yang berlangsung secara damai.
Jika di tilik dari pemahaman konvensional, demokrasi adalah sistem pemerintahan representative yang di ciptakan melalui Pemilu. Pemerintahan representative memang sangat penting, namun saya percaya itu harus berdiri di atas landasan kewargaan yang tidak sekedar suara untuk memilih para pemimpin politik.
Demokrasi Langsung
Saya berbicara mengenai demokrasi langsung melalui Pemilu yang di landaskan pada sebuah demokrasi kewargaan, yang bekerja dengan warga. Untuk menyelesaikan masalah-masalah bersama dan memproduksi hal-hal yang menguntungkan semua orang. Hal-hal yang juga akan membantu lembaga pemerintahan representative bisa bekerja dengan efektif.
Lembaga survei, Cyrus Network, merilis tingkat kepuasan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilihan umum (Pemilu) Serentak 2019. Masyarakat menilai pemilu berjalan baik.
“Sebesar 93 persen pemilih menyatakan Pemilu 2019 berjalan aman dan tertib. Hanya sedikit yang menyatakan tidak puas dengan Pemilu 2019,” kata Managing Directory Cyrus Network, Eko Dafid Afianto, di Hotel Ashley, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2019.
Penilaian Masyarakat
Masyarakat menilai pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan legislatif (pileg) berjalan dengan baik. “Sekitar 90 persen menyatakan pileg berlangsung jujur dan adil, sedangkan 88 persen menyatakan pilpres berlangsung jujur dan adil,” ujar Eko.
Pemilu yang berjalan demokratis dengan partisipasi warga dalam seluruh prosesnya melahirkan pemerintahan yang representative memenuhi harapan warga. Survei Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebesar 69,1 persen. Sementara, responden yang menyatakan tidak puas sebesar 30,9 persen.
“Tingkat kepuasan secara umum, itu berada pada hasil survei terakhir April ini berada 69,1 persen. Artinya ini memang tidak jauh berbeda, meskipun memang ada tren kenaikan di bandingkan survei kita pada Januari 2021, sebesar 66,3 persen,” kata peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu, dikutip dari siaran Instagram Harian Kompas, Senin (3/5/2021).
Nah, untuk membangun sebuah ekosistem demokrasi kewargaan yang tangguh, warga harus menjadi produsen bukan sekedar konsumen. Warga negara harus terlibat aktif membangun dan merawat demokrasi yang berpusat pada warga. Masalah utama demokrasi kita tidak bisa dipecahkan tanpa keterlibatan warga negara yang sadar.
Namun apa persisnya, apa kira-kira peran yang bisa dijalankan warga negara dalam membangun ekosistem demokrasi dan bagaimana membangun kesadaran berdemokrasi warga dalam konteks pemilu. Apakah menjadi pemilih, menjadi penyelenggara pemilu, relawan, menjadi pemantau pemilu, atau menjadi tim pemenangan kandidat tertentu dalam Pemilu atau pun pemilihan. Intinya bagaimana membangun demokrasi dalam konteks Pemilu yang berpusat pada warga sehingga Pemilu menjadi lebih berintegritas dan bermartabat.
Tantangan Pemilu Serentak 2024
Desain kepemiluan yang saat ini digunakan dengan berdasar pada Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memberi tambahan kerja ekstra bagi penyelenggara pemilu terutama pengawas pemilu. Pada 2024 akan diselenggarakan pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pilkada. Ketiga pemilihan tersebut akan berjalan secara maraton.
Menerka Pileg dan Pilpres 2024 yang akan di gelar pada Maret 2024 sebagaimana rencana desain yang di ajukan KPU akan membuat perangkat pemilihan (KPU dan Bawaslu) sudah siap bekerja sekitar Juli 2022 atau sekitar 20 bulan sebelum pemungutan suara di laksanakan untuk pileg dan pilpres. Kemudian persiapan pelaksanaan pilkada yang pemungutan suaranya akan di laksanakan pada November 2024 sebagaimana ketentuan dalam UU Nomor 10/2016 sudah di mulai setidaknya 11 bulan sebelum pemungutan suara atau setidaknya pada Desember 2023.
Masa kerja penyelenggara pemilihan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi juga akan habis pada 2023. Yang berarti proses pengisian komisioner baik KPU maupun Bawaslu sudah di lakukan saat memasuki tahapan pileg dan pilpres. Proses pemilu dengan memperhatikan waktu pelaksanaannya akan membuat tahapan akhir pileg dan pilpres belum selesai. Namun sudah di susul dengan di mulainya tahapan pilkada.
Bagi pengawas pemilu bukanlah sebuah perkara mudah terlebih tantangan terberatnya ada pada pengawas tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan/desa. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Pemilu Kelurahan/Desa (Panwaslu Kelurahan/Desa) akan di hadapkan pada beberapa persoalan. Pertama, area kerja yang luas secara geografis. Kedua, jumlah penduduk yang terlampau banyak. Ketiga, iklim politik yang panas di wilayah tertentu berpotensi terjadi konflik.
Tanggung Jawab
Bersama tiga lembaga lainnya, KPU dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu bertanggung jawab terhadap jalannya demokratisasi dalam pemilihan. Objek pengawasan Bawaslu adalah mengawasi kerja penyelenggara teknis (KPU) dan peserta pemilihan. Selain itu, Bawaslu juga harus mengawasi masyarakat yang menurut UU di larang memihak pada salah satu calon dalam pemilihan seperti Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sepak terjang Bawaslu lainnya adalah memberikan rekomendasi seperti saran perbaikan kepada KPU hingga diskualifikasi calon seperti yang terjadi di beberapa daerah pada Pilkada 2020, yakni Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Banggai, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Kaur, dan Kabupaten Ogan Ilir.
Rekomendasi Bawaslu dapat berupa temuan maupun laporan masyarakat. Kehadiran Bawaslu memudahkan masyarakat untuk mengadu terkait pelanggaran pemilu. Ke depan, Bawaslu harus tetap menjadi lembaga yang dapat di harapkan dalam menjaga kualitas demokrasi di tengah perang informasi. Yang dapat menuju pada situasi distrust terhadap banyak pihak termasuk dalam momentum pemilu.
Strategi Bawaslu Membangun Demokrasi Kewargaan
Partisipasi politik yang merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Salah satu misi Bawaslu adalah mendorong pengawasan partisipatif berbasis masyarakat sipil dalam rangka menyukseskan Pemilu dan Pemilihan serentak 2024.
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan Pemilu harus terlebih dulu melalui proses sosialisasi dan transfer pengetahuan dan keterampilan pengawasan Pemilu dari pengawas Pemilu kepada masyarakat. Sebelum sampai kepada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu, tantangan besar yang juga di hadapi Bawaslu adalah membangun kesadaran politik masyarakat.
Kesadaran masyarakat atas kedaulatan yang di miliki dalam proses demokrasi nyatanya masih rendah. Kerendahan kesadaran tersebut salah satu pemicunya adalah minimnya pengetahuan rakyat mengenai demokrasi, pemilu dan pengawasan pemilu.
Di sisi lain, harus d iakui bahwa, berdasarkan evaluasi, Bawaslu belum secara maksimal menyediakan informasi tersebut bagi masyarakat. Hasil kerja-kerja pengawasan, penegakan hukum Pemilu dan penanganan sengketa yang di jalankan Bawaslu juga belum terdokumentasi dan teriventarisasi secara baik.
Bukan hanya media atau wadah penyampaian informasinya saja yang terbatas. Akses bagi masyarakat untuk mendapat informasi dan pengetahuan tersebut juga sangat terbatas. Oleh Karena itu, di butuhkan kolaborasi yang kuat antara Bawaslu dan masyarakat pemilih. Kelompok masyarakat yang memberikan perhatian besar terhadap pelaksanaan Pemilu yang berlangsung jujur dan adil berkomunikasi secara intensif dengan Bawaslu. Peningkatan kolaborasi antara Bawaslu dengan kelompok masyarakat sipil inilah yang menjadi kunci peningkatan partisipasi bersama masyarakat.
Bawaslu dalam tiga tahun terakhir menginisisasi program prioritas nasional yang di namakan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP). Ketua Bawaslu Republik Indonesia Abhan berharap SKPP menjadi stimulus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pemilu atau pemilihan 2024.
“Saya sangat mengharapkan kegiatan yang kita laksanakan kali ini bisa menjadi stimulus dan pendorong meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemilu atau pemilihan mendatang,” kata Abhan dalam pembukaan SKPP tingkat dasar di Kabupaten Buleleng, Senin (21/6/2021).
Abhan menjelaskan SKPP telah di laksanakan Bawaslu selama tiga tahun dan mulai tahun 2019, 2020, dan 2021. Dan merupakan peserta dengan jumlah terbanyak di bandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun ini merupakan ketiga kalinya Bawaslu menggelar Sekolah Kader Pengawas Partisipatif. Tahun ini merupakan tahun dengan jumlah peserta terbanyak mencapai 22.567 pelamar dari seluruh wilayah di Indonesia.
Pengawasan Pemilu
SKPP ini menjadi penting bagi Bawaslu sebagian upaya membumikan kerja-kerja pengawasan pemilu di masyarakat. Soal keterlibatan masyarakat dalam pengawasan praktek politik uang misalnya. Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan. Ia mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang.
Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu. Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu. Dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang di adakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021) lalu.
Karena itu, SKPP merupakan sebuah inovasi atau terobosan yang di buat oleh Bawaslu. Sebagai bentuk tanggung jawab Bawaslu kepada masyarakat yang ingin tahu soal pemilu, demokrasi, dan isu pengawasannya. Program SKPP yang telah berjalan sebelumnya hasilnya tidak mengecewakan dan sesuai dengan keinginan Bawaslu. Jumlah masyarakat yang terlibat terus meningkat dapat berimbas pada kualitas pengawasan pesta demokasi yang semakin baik.
Muaranya pada suksesnya penyelenggaraan pemilu atau pemilihan. Kesuksesan penyelenggaraan pemilu dan pemilihan bukan hanya monopoli atau otoritas penyelenggara saja, tapi banyak pihak yang berperan besar salah satunya adalah masyarakat itu sendiri.
Dengan program SKPP yang berjalan berkesinambungan di harapkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dan dampaknya kualitas demokrasi Indonesia semakin baik. Sekalipun Program SKPP tahun depan atau tahun 2022 tidak lagi masuk dalam program prioritas nasional, di harapkan Pemerintah Daerah dapat mendukung Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota untuk merealisasikan program ini di tahun-tahun mendatang. Demi membangun ekosistem demokrasi kewargaan, demokrasi yang berpusat pada warga.