Oleh: Anna Saraswati, FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Hukum Adat adalah istilah terjemahan dari “Adat-Recht” yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, seorang ahli sastra ketimuran berkebangsaan Belanda. Istilah ini dikutip oleh Van Vollenhoven untuk berbagai literatur saat itu sebagai istilah teknis-yuridis.
Saat penelitian, Van Vollenhoven menemukan bahwa masyarakat Indonesia yang tersebar dari Aceh sampai Marauke, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda telah memiliki aturan hidup yang mengatur, mengikat, dan ditaati oleh masyarakat di wilayahnya masing-masing.
Dalam buku “Het Adatrecht van Nederland Indie” Van Vollenhoven memberi penjelasan bahwa “Hukum Adat adalah suatu keseluruhan aturan tingkah laku positif, yang di satu pihak memiliki sanksi (dimana oleh karena itu disebut hukum) dan di lain pihak belum dikodifikasikan. Hukum Adat diartikan pula sebagai keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat-istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, dan terhadap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi.
F.D. Holleman sependapat dengan Van Vollenhoven, dan mengartikan Adat-Recht adalah norma-norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan, agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat. Tidak ada masalah apakah norma-norma tersebut ada atau tidaknya keputusan petugas hukum.
Ciri Khas Hukum Adat
Menurut F.D. Hollemann, corak atau sifat umum hukum adat di Indonesia sebagai satu kesatuan memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum lainnya yakni:
- Magis Religius (Magisch-Religieus)
- Komunal (kebersamaan)
- Demokrasi
- Konkret (visual)
- Kontan (tunai)
Gagasan pembagian wilayah berlakunya hukum adat di Indonesia digagas pertama kali oleh Van Vollenhoven. Klasifikasi ini memberi gambaran keberagaman bentuk masyarakat Hukum Adat dan keberagaman Hukum Adat yang berlaku, yang berbeda-beda di wilayah hukum adat, dan pembagian lingkungan hukum adat berdasarkan kenyataan yang ditemukan di masyarakat.
Wilayah Hukum Adat
Menurut Vollenhoven, hukum adat dapat dibagi menjadi 23 lingkungan adat, yaitu: Aceh, Gayo dan Batak, Nias dan sekitarnya, Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi (Bugis-Makassar), Maluku Utara, Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara dan Timor, Bali dan Lombok, Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran), Jawa Mataraman, dan Jawa Barat (Sunda).
Sistem Hukum Adat berdasarkan alam pikiran dan budaya bangsa Indonesia ini berbeda dengan cara berpikir sistem hukum Barat. Sehingga untuk memahami sistem ini perlu dipahami terlebih dahulu tentang cara berpikir masyarakat Indonesia, sebab sistem Hukum Adat berbeda dengan sistem Hukum sistem Eropa yang memisahkan antara hukum yang bersifat Publik (menyangkut kepentingan umum) dan hukum yang bersifat Privat (mengatur kepentingan perorangan atau hubungan antar masyarakat).
Misalnya Hukum Adat, terkait perkawinan, warisan dan tanah adat, berdasarkan sebagian wilayah masyarakat adat di Indonesia, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan (Dayak), Bugis dan Ternate, dan lain-lain.
Untuk wilayah DIY, Sri Sultan HB X melanjutkan tradisi dalam mengeluarkan sabdatama, sabdaraja, maupun dhawuh raja berdasarkan keputusan-keputusan dari raja-raja terdahulu sebagai pengumuman formal di dalam Kraton Kasultanan. Secara normatif, Sultan harus mampu memelihara fungsinya sebagai wakil Tuhan bagi terwujudnya kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sultan merupakan simbol tradisional Raja bernuansa Islam, yang mewujudkan keistimewaan dengan gelar yang tersandang dan langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan. Hukum yang dibuat oleh Sultan sebagai seorang raja ini tidak terbatas dan tidak dapat ditentang. Hukum, prinsip, dan nilai harus sejalan sebab merupakan satu kesatuan linier yang menggambarkan budaya hukum suatu masyarakat setempat.
Corak dan Sistem Hukum Adat
Hukum Adat memandang masyarakat sebagai paguyuban, artinya sebagai satu kesatuan hidup bersama, dimana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, interaksi manusia dengan sesamanya dengan segala perasaannya, sebagai cinta, benci, simpati, antipati, dan sebagainya, yang baik dan yang kurang baik, sebagai manusia yang sangat menghargai hubungan damai dengan sesama manusia, oleh karenanya berusaha menyelesaikan secara damai setiap perbedaan pendapat yang terjadi, secara kompromi, tidak hanya melihat benar salah, tetapi lebih pada keberlanjutan hubungan baik dimasa datang.
Di dalam Hukum Adat, apabila terjadi pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana, maka diputuskan sekaligus oleh fungsionaris hukum, yaitu ketua adat atau kepala desa. Hal ini berbeda dengan hukum barat dimana pelanggaran perdata diperiksa dan diputuskan oleh hakim perdata, dan pelanggaran yang bersifat pidana diperiksa dan diputuskan oleh hakim pidana.
Perbedaan kedua sistem hukum ini karena corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dengan Hukum Barat dan pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu pun berbeda. Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menginginkan hidup tenang dan damai, dengan suasana yang harmonis, sebagaimana alam pikiran tradisional yang bersifat kosmis bahwa manusia merupakan bagian dari alam.
Bila menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan (hukum positif) dalam sistem hukum Indonesia, sistem hukum nasional akan mendahulukan hukum tertulis dibanding hukum tidak tertulis bila ada benturan, jadi bila hukum tertulis tidak mengatur maka hukum tidak tertulis otomatis diberlakukan. Dengan demikian peran hukum adat sebagai hukum tidak tertulis bersifat anvullend (mengisi) terhadap hukum tertulis.
Sistem hukum tertulis dan hukum tidak tertulis keduanya saling melengkapi satu sama lain, sekalipun hukum tertulis mendapat prioritas. Walaupun berbeda dengan undang-undang, hukum adat tetap mempunyai kekuatan yang legal karena masyarakat tetap menaatinya. Baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis masing-masing mempunyai kebaikan dan kelemahan.