Politik Hukum
Dari berbagai penambahan kewenangan di atas, terlihat adanya politik hukum pembentuk UU untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu sebelumnya yang hanya bersifat rekomendasi, kini memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan. Hal ini secara tidak langsung mentransformasi sifat kelembagaan Bawaslu. Sehingga menjadi quasi peradilan selayaknya lembaga seperti Komisi Informasi Pusat (KIP). Atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Demikian Fortunatus Hamsah menyampaikan.
Namun peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan nyatanya tidak menunjukan efektivitas dalam penyelesaian sengketa pemilu. Tidak efektifnya peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan tampak dalam perkara-perkara berikut, perkara pertama melibatkan Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua Umum Partai Hanura. Terkait Calon Anggota DPD yang tidak di perkenankan terlibat sebagai anggota partai politik. Sejatinya Mahkamah Konstitusi RI melalui Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 telah menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak di perkenankan memiliki pekerjaan lain. Atau yang mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.
Namun oleh karena saat di keluarkannya Putusan tersebut tertanggal 23 Juli 2018, proses pencalonan Anggota DPD telah berjalan. Maka kepada calon anggota DPD yang berasal dari Partai Politik tetap di berikan kesempatan untuk menjadi Calon Anggota DPD. Sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaannya sebagai pengurus partai politik.
Pengumuman KPU
Ketentuan tersebut kemudian tercermin pula dalam pengumuman KPU tertanggal 1 September 2018,. Melalui Pengumuman KPU Nomor 992/PL.01.4-PU/06/KPU/IX/2018. Tentang Pengumuman Daftar Calon Sementara Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Pemilu Tahun 2019 yang memuat nama OSO di dalamnya.
Pada tanggal yang sama di terbitkan Putusan Bawaslu sebagai hasil dari fungsi kuasi peradilan yang dimiliki Bawaslu. Yang pada pokoknya memerintahkan KPU untuk tetap memasukkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Dengan syarat OSO wajib menyampaikan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura. Paling lambat satu hari sebelum penetapan calon terpilih anggota DPD oleh KPU.
Oleh karena OSO tidak kunjung memberikan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik, KPU pada akhirnya tidak menetapkan nama OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Dan tidak menyerah begitu saja, OSO melawan dengan mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung RI (MA). Tujuannya untuk menguji Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut “PKPU 26 2018”) dan Surat Nomor 1043/PL.01.4-SD/06/KPU/IX/2018 tertanggal 10 September 2018 perihal Syarat Calon Anggota DPD adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, serta menegaskan asas non-retroaktif yang tertuang dalam Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, MA menyatakan bahwa Pasal 60A PKPU 26/2018 tetap berlaku sepanjang tidak berlaku surut.