Maslihati Nur Hidayati, Prodi Hukum UAI
Depok, Suaranusantara.co – Kontroversi kasus Ferdy Sambo tidak berhenti pada kasus pembunuhan dan perintangan penyidikan (obstruction of justice), yang keduanya tengah disidik, namun juga dugaan korupsi sejumlah oknum Polri, serta problem manajemen
organisasi.
Kedua hal terakhir menjadi sorotan dengan beredarnya skema ‘kerajaan’ Sambo yang ditengarai dari internal Polri sendiri, yang mengelaborasi kuasa yang bersangkutan di lingkungan Polri (bahkan Menkopolhukam menyebutnya sebagai “ada Mabes di dalam Mabes”), dugaan keterlibatannya bersama sejumlah pihak dalam praktik beking judi, serta kekayaan fantastis beberapa pejabat Polri yang mampu membeli kendaraan, rumah, atau jam berharga selangit.
Banyak pihak melihat ini hanyalah puncak dari gunung es dari berbagai masalah lain di lembaga penting tersebut. Wajar jika kemudian publik bertanya, apakah berbagai masalah tersebut akan direspon tuntas oleh Polri dan negara?
Sementara ini, Kapolri baru berkomitmen menuntaskan kasus pembunuhan dan perintangan penyidikan, namun belum jelas nasib proses hukum atas dugaan beking judi dan kekayaan tidak wajar.
Dengan terbongkarnya kasus “Duren Tiga” sedikit banyak meninggalkan catatan penting untuk perbaikan institusi Polri ke depannya, utamanya terkait manajemen kepolisian.
Tidak adanya kontrol yang baik, akhirnya yang muncul adalah kepentingan-kepentingan pragmatis, seperti mencukupi kebutuhan-kebutuhan, gaya hidup hedon, kepentingan politik, titipan untuk promosi dan lainnya.
Apa yang terjadi dalam kasus Ferdy Sambo sebanyak 97 personel Polri diperiksa, hingga ada istilah “gerbong Sambogate” menjadi salah satu sisi negatif dari adanya budaya kakak-adik asuh yang lepas kontrol.
Kasus Sambo menjadi pelajaran besar bagi Polri untuk berbenah sehingga semakin profesional dan dipecaya oleh masyarakat dan bagi semua komponen bangsa untuk bersama-sama menjaga institusi Polri.(Red/SN)