Buntunya Penegakan Hukum
Bawaslu mengungkap data, terkait banyaknya kasus politik uang yang mendominasi pada pemilu 2019. Namun pihaknya menemui jalan buntu dalam penegakan dan putusan hukum terhadap pelaku politik uang. Dari 380 putusan yang berkekuatan hukum tetap (incraht) di pengadilan negeri (PN) maupun oleh pengadilan tinggi (PT). hanya ada 45 putusan yang berkaitan dengan politik uang.
Artinya kasus politik uang masih belum menjadi prioritas penegakan hukum kita. Banyak proses hukum yang terhenti di pemeriksaan atau penuntutan saja. Regulasi yang kurang jelas (tumpang tindih hukum) disinyalir menjadi pemicu para penegak hukum tidak melanjutkan berbagai persoalan politik uang.
Pada pemilu 2019 lalu, kasus yang sama juga, terjadi dalam wilayah pengawasan Bawaslu Manggarai Timur, NTT. Dugaan politik uang yang menyeret seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), berprofesi Guru pada salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Kota Komba. Temuan dugaan pelanggaran politik uang itu diproses dan bukti-bukti dikumpulkan berupa uang tunai Rp.50,000 dan copyan alat peraga surat suara caleg dari salah satu partai politik. Pelaku dugaan tindak pidana politik uang itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah melalui pembahasan yang alot di Sentra Penegakan Hukum Terpadu, Penyidik Polres Manggarai dari unsur Sentra Gakkumdu Kabupaten Manggarai Timur dan didampingi pihak Bawaslu Kabupaten Manggarai Timur menyerahkan sejumlah berkas perkara, tersangka dan sejumlah alat bukti kepada pihak Kejaksaan Negeri Manggarai untuk kemudian dilakukan upaya penuntutan. Dugaan politik uang dan kampanye di luar jadwal ini melanggar pasal 523 ayat 1 atau 2 , junto pasal 492 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pengaturan pasal pidana politik uang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 515 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana degan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta”.
Kasus ini kemudian diputuskan pada lembaga peradilan tingkat pertama yaitu di Pengadilan Negeri Ruteng. Pelaku money politik itu pun dinyatakan bersalah. Namun sayangnya, setelah dilakukan banding ke Pengadilan Tinggi di Kupang, pelaku politik uang itu pun dinyatakan bebas. Putusan ini menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum dalam kasus politik uang di negeri ini.