Oleh: Muhammad Agil Yulkhaizar Panuh, Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar Indonesia
Jakarta, Suaranusantara.co – Cybercrime merupakan kejahatan dengan memanfaatkan komputer untuk sarana kejahatan. Secara umum cybercrime termasuk usaha untuk masuk dan memakai upaya fasilitas dari komputer maupun jejaring komputer yang dilakukan dengan tidak sah bahkan melanggar hukum, baik menggunakan atau tidak mengakibatkan munculnya perubahan serta adanya kerusakan dalam penggunaanya.
Bentuk kejahatan cybercrime salah satunya yakni cyberbullying. Seringkali diketahui istilah bullying dalam ucapan maupun tatap muka yang memiliki tujuan (sebagai korban). Bullying memakai kontak fisik atau verbal. Akan tetapi kini bullying tak sekadar muncul di kehidupan nyata, akan tetapi muncul juga pada internet atau dunia maya. Maka aktivitas tersebut dikatakan sebagai “cyberbullying”.
Meskipun keduanya merujuk pada tindakan yang sama, yakni menindas orang lain, perbedaan antara cyberbullying dan bullying hanya terletak di media intimidasinya. Bullying adalah intimidasi dengan kontak sosial secara langsung, sedangkan cyberbullying dilakukan oleh pengganggu yang melakukan perundungan, serangan, ancaman, dan sebagainya terhadap target atau korban secara online atau menggunakan teknologi atau media sosial.
Cyberbullying dilakukan secara sengaja bahkan berulang kali untuk tujuan menyakiti individu lainnya sebagai wujud intimidasi yang mana pelaku melakukan pelecehan terhadap korban dengan ‘menyalahgunakan’ sarana teknologi. Dalam hal ini pelakunya menghendaki agar seseorang terluka, sehingga banyak upaya yang ia gencarkan untuk menyakiti korban melalui gambar maupun pesan brutal, kemudian menyebar pada khalayak agar membuat malu korbannya.
Bentuk-bentuk Cyberbullying
Kasus yang paling banyak ditemukan saat ini di media sosial adalah bentuk-bentuk cyberbullying yang dikenal dengan istilah berikut:
Flaming (amarah)
Melakukan pengiriman informasi teks berisikan kata dengan frontal dan amarah. Dalam hal ini mencakup interaksi yang memberikan hinaan, ejekan, menyampaikan kata tidak pantas serta senonoh tanpa memikirkan beberapa norma.
Harassment (gangguan)
Beberapa informasi mencakup gangguan yang memakai email, pesan, sms, teks pada jejaring sosial dilaksanakan dengan berkelanjutan. Isi pesan biasanya cacian, kebencian, dan kemarahan.
Denigration (fitnah/pencemaran nama baik)
Upaya mengumbar kejelekan individu di internet yang bermaksud merusak adanya reputasi maupun nama baik individu. Tindakan ini paling sering dialami oleh oleh publik figur.
Impersonation (peniruan)
Pelaku cyberbullying menggunakan akun palsu atau berpura-pura sebagai individu lainnya supaya identitas tidak diketahui serta melakukan pengiriman informasi yang buruk pada individu maupun melakukan pembuatan status dengan tergolong tidak baik pada sebuah media sosial.
Outing (menyebarkan)
Perbuatan secara sengaja dalam menyebarkan informasi rahasia maupun foto pribadi target dari cyberbullying pada publik yang bermaksud serta suatu tujuan. Informasi yang disebar berupa foto, video, dan tulisan yang sebenarnya tidak ingin diketahui orang lain.
Trickery (tipu daya)
Merayu individu dari cyberbullying melalui tipu dayanya supaya memperoleh foto ataupun rahasia pribadi yang memiliki tujuan dan suatu maksud. Pelaku dapat berupaya pura-pura baik dengan demikian korban dapat membagikan rahasia maupun data pribadi.
Exclusion (pengeluaran)
Mengeluarkan secara sengaja seseorang atau target cyberbullying dari grup online. Biasanya korban akan dikucilkan dari aktivitas suatu komunitas online atau tidak dimasukan ke dalam group chat teman-temannya.
Cyberstalking (menguntit)
Cyberstalking ada;ah mengirimkan adanya ancaman yang membawa bahaya ataupun informasi yang mengintimidasi melalui komunikasi secara elektronik. Seperti mengunggah informasi secara publik melalui media sosial dengan membuntuti korban melalui informasi-informasi pribadi korban.
Alat Bukti Cyberbullying
Apa saja alat bukti yang diperlukan jika korban bermaksud melaporkan cyberbullying? Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronil (UU ITE) Pasal 5 Ayat (1) Angka 2 dinyatakan:
“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Mengakoodasi alat bukti berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik yang sangat diperlukan dalam pembuktian tindak pidana tersebut. Alat bukti elektronik merupakan alat bukti sah yang berdiri sendiri dan bisa dipakai dalam pembuktian dalam persidangan berdasarkan ketentuan pada pasal 5 ayat (1).
Sementara ketentuan lain terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 mensyaratkan selama informasi itu dapat ditampilkan, diakses dan dijamin keutuhannya serta dapat di pertanggungjawabkan dan mampu menerangkan suatu keadaan maka informasi elektronik dianggap sah merujuk pada kesamaan dengan bukti surat.
Penerapan Restorative Justice Dalam Cyberbullying
Restorative justice merupakan konsep penyelesaian perkara yang harus diterapkan pada proses secara nyata. Implementasi berbagai prinsip maupun nilai pada pendekatan Restorative justice bisa ditinjau melalui bentuk serta model penyelesaian suatu perkara yang selama ini dilaksanakan masyarakat.
Proses tersebut bisa dilaksanakan dengan berbagai mekanisme, ditentukan oleh kondisi maupun situasi dan kebiasaan masyarakatnya. Begitu pula korban cyberbullying dengan memakai konsep penyelesaian perkara menggunakan restorative justice, dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme. Beberapa bentuk praktek penerapan Restorative justice yang telah berkembang, yaitu:
Victim Offender Mediation
Tujuan program ini memberikan kesempatan untuk berdialog antara pelaku dan korban. Korban akan menceritakan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dideritanya dan pada saat yang sama korban mempunyai kesempatan untuk mendengarkan penjelasan dari pelaku.
Family Group Conferencing
Tujuannya untuk mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ker masyarakat dan pertanggungjawaban bersama. tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku utama tapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman korban.
Circles
didefinisikan sebagai pihak-pihak yang yang berkepentingan dengan tindak pidana secara luas dan semua pihak yang berkepentingan tersebut duduk dalam sebuah lingkaran. Tujuannya untuk membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana.
Reparative Board/Youth Panel
Tujuannya menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara Bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku.
Community Panels Meetings
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal, dan sering melibatkan unsur mediasi dan negosiasi.
Informal Mediation
Model ini biasanya dilaksanakan oleh personil sistem peradilan pidana dalam tugas normalnya, yang umumnya dilakukan jaksa dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan.