Ruteng, Suaranusantara.co – Buku Pedagogi Kemasyarakatan, yang diterbitkan oleh Penerbit JPIC OFM Indonesia pada pertengahan bulan September lalu, akan di-launching pada Sabtu (25/09/21) secara daring.
Acara launching tersebut akan dirangkaikan dengan pembedahan buku tersebut yang akan menghadirkan dua pembedah. Pertama, Dr. Fransiskus Borgias, MA (Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kedua, Dr. Max Regus (Imam Keuskupan Ruteng-Dekan FKIP Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng).
Sementara moderator adalah Natalia Widiasari (Dosen Komunikasi UNIKA Atma Jaya Jakarta). Panitia acara launcing dan bedah buku mengundang (menghadirkan) para pemerhati dan pegiat pendidikan, mahasiswa dan pelajar, serta alumni SMP Kemayarakatan Ndoso Tentang-Flores yang telah ada di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.
Perihal Buku Pedagogi Kemayarakatan
Buku Pedagogi Kemasyarakatan adalah hasil karya para pemerhati dan pegiat pendidikan. Buku ini dieditori oleh tiga orang, yaitu Kasmir Nema (Mahasiswa Doktoral dalam bidang Komunikai Pembangunan di University of Philippines Los Banos/UPLB); Benny Denar (Mahasiswa Doktoral bidang Teologi Kontekstual di STFT Widya Sasana Malang; Frumens Gions (Mahasiswa doktoral di Alfonsiana Roma-Italia).
Ada dua tujuan utama buku ini diterbitkan. Pertama, untuk memperkenalkan konsep pedagogi dan pendidikan yang berbasis masyarakat. Pedagogi yang secara implikatif terlaksana dalam usaha-usaha pendidikan (edukasi) secara fundamental adalah bagian dari cara menjaga keberadaan diri sebuah masyarakat.
Maka pedagogi dan edukasi adalah proses yang terjadi secara inheren dalam masyarakat. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sebelum Indonesia merdeka, proses-proses pendidikan sudah sangat maju di berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk di Flores.
Peletak dasar pendidikan di Flores, bukanlah aktor negara, melainkan lebih merupakan bagian dari karya misi Gereja Katolik yang didukung penuh oleh masyarakat. Data sejarah menunjukkan bahwa pendidikan formal (sekolah) di Flores telah dirintis oleh seorang Imam Projo Belanda, Romo Caspar Johanes Fransiscus Franssen yang kemudian dilanjutkan oleh para imam Jesuit.
Pada tanggal 3 Desember 1862 (pesta St. Fransiskus Xaverius), Romo Franssen mendirikan sekolah pertama di Flores, tepatnya di Posto, Larantuka, menggunakan sebagian dari ruang Gereja, seluas 10 x 10m, dekat pintu masuk. Angkatan pertama berjumlah 25 orang, terdiri dari 24 laki-laki dan 1 perempuan, puteri raja Larantuka.
Sekali lagi, pedagogi dan pendidikan pertama-tama adalah usaha masyarakat. Dengan demikian, pedagogi kemasyarakatan bukanlah konsep baru, melainkan pertama-tama adalah sebuah penamaan terhadap fakta eviden bahwa pedagogi dan usaha-usaha pendidikan secara otentik berjalan bersamaan dengan perkembangan masyarakat.
Oleh karena pedagogi dan pendidikan berjalan bersamaan dan demi kepentingan masyarakat, maka isi atau meteri pokok yang termuat di dalamnya bersifat kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Jadi konsep pedagogi kemasyarakatan menjelaskan dua hal sekaligus. Pertama, terkait hakikat pendidikan yang secara inheren berada dalam masyarakat dan secara faktual dapat diselenggarakan oleh masyarakat itu sendiri.
Kedua, pedagogi kemasyarakatan hendak menerangkan kebutuhan akan model pendidikan yang benar-benar adaptif, kontekstual dan relevan dengan kultur serta kebutuhan masyarakat.
Dalam pemaknaan yang kedua, konsep pedagogi kemasyarakatan memiliki beberapa keunggulan pokok. Pertama, dia mencegah dominasi dan sentarlisasi pendidikan. Artinya dia menghargai dan mengakomodasi kultur, kearifan dan kebutuhan masyarakat lokal.
Dengan demikian konsep hidup baik dalam satu masyarakat dominan, tidak dipaksakan untuk diajarkan di kelompok masyarakat yang berbeda. Kedua, konsep pedagogi kemasyarakatan mencegah intervensi politik berlebihan dalam proses pendidikan. Pedagogi kemasyarakatan ingin menolak kurikulum pendidikan yang hanya merupakan bentuk indoktrinasi dari suatu rezim politik untuk mengekalkan kekuasaannya.
Jadi pedagogi kemasyarakatan sebenarnya merupakan bagian dari dari upaya untuk menghadirkan demokratisasi pendidikan.
Kedua, buku ini dihadirkan sebagai peringatan 50 tahun berdirinya SMP Kemasyarakatan Ndoso – Manggarai Barat – Flores. SMP Kemasyarakatan Ndoso merupakan sekolah yang sejak berdirinya pada tahun 1971 sungguh mengembangkan model pedagogi dan pendidikan kemasyarakatan.
Pastor Florianus Laot, seorang biarawan Fransiskan adalah salah satu tokoh pendiri yang memberikan nama SMP Kemasyarakatan Ndoso terhadap sekolah tersebut. Apa yang diuraikan sebagai konsep pedagogi dan pendidikan kemasyarakatan di atas secara genuine benar-benar terlaksana dalam visi pedagogis Pater Flori Laot tatkala turut serta mendirikan SMP Kemasyarakatan Ndoso – Tentang.
Cita-cita pedagogis Pater Flori, yakni bahwa pendidikan merupakan tindakan komunikatif, ekspresi kultural dan basis bagi transformasi suatu masyarakat. Pedagogi Pater Flori ini menggarisbawahi “kemasyarakatan” sebagai suatu dimensi pedagogis yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah).
Sekolah sudah semestinya menjadi tempat orang bisa belajar, menimba beragam pengetahuan dan memperkaya perspektif. Namun demikian, tak boleh dilupakan bahwa pengetahuan bisa juga diperoleh dari pengenalan langsung dan keterlibatan penuh simpati dengan warga masyarakat.
Pada tahun-tahun awal setelah sekolah ini berdiri, para peserta didik dibekali dengan pengetahuan dan latihan praktis di bidang keterampilan menjahit, karya tangan, dan pengenalan masyarakat dan seluk-beluk pertanian.
Keyakinan dasar Pater Flori adalah bahwa “kemasyarakatan” dalam pendidikan itu tak boleh dan tak bisa diabaikan. Karena itu, siapa saja yang peduli dengan kelanjutan masyarakat dan kebudayaannya pasti juga menaruh cinta dan mewujudkan cinta itu dalam perhatian yang nyata terhadap pendidikan.