Jakarta, Suaranusantara.co – Belajar Bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran yang di wajibkan pemerintah sejak sekolah dasar (SD). Bahasa Inggris juga dijadikan salah satu mata pelajaran wajib dalam ujian nasional (UN) sejak pendidikan dasar hingga menengah.
Namun belajar Bahasa Inggris bertahun-tahun juga tidak menjamin kita fasih menggunakannya dalam percakapan setiap hari. Bahkan, setelah tamat kuliah pun, kita masih susah berbahasa Inggris secara baik.
Peminat Bahasa Inggris yang menguasai grammar atau tata bahasa, belum tentu fasih berbicara. Karena itu, belajar Bahasa Inggris yang baik, tidak lain hanya dengan mulai menggunakannya. Lihatlah anak-anak yang menempuh pendidikan di sekolah yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai pengantar. Meski masih kanak-kanak, mereka sudah bisa dengan cas cis cus mempercakapkannya.
Namun itu hanya terjadi di kota-kota besar. Beda dengan anak-anak sekolah di pedesaan. Mereka kesulitan menemukan partner belajar yang sepadan. Kendala ini membuat kemampuan berbahasa Inggris mereka tidak berkembang dengan baik.
Kenyataan itu membuat saya gelisah. Saya khawatir orang beranggapan, belajar Bahasa Inggris hanyalah sebuah formalitas. Hanya untuk memenuhi persyaratan lulus UN.
Lingkungan yang tidak apresiatif juga sering menjadi tantangan peminat Bahasa Inggris. Berbicara Bahasa Inggris dinilai sok keren, show off, tidak nasionalis, sok pintar, dll. Intimidasi semacam ini membuat peminat Bahasa Inggris tidak percaya diri.
Namun komunitas pecinta Bahasa Inggris justru lahir dari situasi seperti ini. Komunitas seperti itu menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yang kesulitan menemukan partner belajar. Di sana, mereka sangat diapresiasi. Bisa bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris.
Saya sendiri bersyukur pernah hidup di Seminari Menengah St. Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini sebuah lembaga pendidikan khusus calon pastor Katolik. Seingat saya, seminari ini mengkhususkan hari Selasa dan Jumat sebagai English Day.
Semua anggota komunitas Semyopal II wajib berbahasa Inggris sepanjang kedua hari ini. Dalam kegiatan apa pun, semua bercakap dalam Bahasa Inggris. Termasuk di meja makan. Kebiasaan sederhana ini rupanya punya dampak yang besar bagi kemampuan berbahasa Inggris saya.
Kebiasaan menghafal kosa kata sejak seminari membuat saya berani berbahasa Inggris dengan wisatawan mancanegara.
Belajar Otodidak
Perkembangan teknologi komunikasi massa mempermudah aktivitas belajar Bahasa Inggris. Kita bisa belajar dari internet. Akses komunikasi dengan orang luar negeri dipermudah oleh sistem jejaringan sosial media. Kita bisa memanfaatkan instagram, facebook, twitter untuk berbicara Bahasa Inggris dengan orang Amerika, Inggris atau Australia.
Di samping itu, sosial media juga dapat dijadikan platform pembentuk komunitas pecinta Bahasa Inggris di dunia maya. Kita bisa membuat group whatsapp atau facebook pecinta Bahasa Inggris. Bila kita tidak menemukan partner belajar di real life, kita bisa bergabung di grup-grup semacam ini. Di sana, kita bisa saling sharing dengan berbahasa Inggris.
Saya sendiri adalah pecinta Bahasa Inggris. Semenjak “minggat” dari komunitas seminari, saya juga kesulitan menemukan partner belajar. Kondisi ini rupanya menjadikan saya sebagai pembelajar Bahasa Inggris otodidak.
Saya sering belajar Bahasa Inggris dari lagu, film dan konten youtube berbahasa Inggris. Kebiasaan ini setidaknya membuat telinga saya terbiasa dengan pronunciation Bahasa Inggris. Selain itu, kebiasaan ini menambah jumlah kata dan frase Bahasa Inggris di kepala saya. Dari aktivitas ini, saya kemudian paham kapan dan di mana serta konteks pemakaian sebuah kata atau frase tertentu dalam Bahasa Inggris.
Tuntutan Pekerjaan
Perlu diketahui, pekerjaan tertentu menuntut kemampuan berbahasa Inggris. Karena itu beberapa orang terpaksa mengikuti kursus Bahasa Inggris karena tuntutan lingkungan kerja. Banyak perusahan menjadikan kemampuan berbahasa Inggris sebagai syarat utama kaderisasi karyawan. Menghadapi dunia kerja seperti itu baru kita sadar, betapa kemampuan berbahasa Inggris itu sangat penting.
Tidak bisa berbahasa Inggris rupanya menjadi “momok” bagi para pencari kerja. Punya ijazah tanpa bisa berbahasa Inggris tidak berlaku di dunia kerja. Gelar magister tanpa pandai berbahasa Inggris kadang-kadang tidak ada gunanya di dunia kerja.
Saya sendiri menyesal karena tidak serius belajar Bahasa Inggris selama masa-masa sekolah. Kini, demi di terima di lingkungan kerja tertentu, saya terpaksa belajar Bahasa Inggris lagi.
Pentingnya kemampuan berbahasa Inggris rupanya di tanggapi baik oleh beberapa sekolah di tanah air. Itu makanya, ada beberapa sekolah yang bahkan menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Konsekuensinya, para pengajar di sekolah-sekolah ini harus fasih juga berbahasa Inggris.
Di sekolah seperti ini, lulusan Fakultas Teologi Katolik yang paham betul konsep-konsep dasar Teologi Katolik tidak akan di terima sebagai guru Agama Katolik,. Tanpa fasih berbahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Inggris telah menjadi taruhan kompetisi di dunia kerja.
Seminari adalah salah satu lembaga pendidikan di tanah air yang sudah sejak awal mengantisipasi hal ini. Siswa seminari dipaksa untuk satu hari penuh berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Dampak kebiasaan di seminari, kini telah saya rasakan.
Setidaknya, saya bisa memahami teks berbahasa Inggris dan mampu mengajak orang luar negeri berbicara Bahasa Inggris. Dulu, saya mempelajari Bahasa Inggris karena suka. Kini, saya mempelajari Bahasa Inggris karena tuntutan pekerjaan. Saya kemudian menyadari bahwa belajar Bahasa Inggris bukan lagi sebuah hobi, melainkan taruhan dalam mencari nafkah.