Labuan Bajo, Suaranusantara.co – Komite I DPD RI melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Senin, 15 September 2025. Kunker untuk menginventarisir berbagai masalah terkait penataan ruang.
“Ini tugas kami dalam melakukan pengawasan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kami ingin tahu bagaimana pelaksanaan UU itu di lapangan. Apa masalah-masalah yang muncul terkait kehadiran UU tersebut,” kata anggota Komite I dari Provinsi NTT, Abraham Liyanto.
Kunker dipimpin Wakil Ketua Komite I yang sekaligus anggota DPD RI dari Jawa Tengah, Muhdi. Ada delapan anggota Komite I yang mengikuti Kunker tersebut.
Mereka bertemu dengan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi, Wakil Bupati Yulianus Weng, Sekda Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo, Ketua DPRD Manggarai Barat Benediktus Nurdin, Kepala Kantor Pertanahan Manggarai Barat Danial Imanuel Liunesi dan unsur Muspida Manggarai Barat.
Abraham menjelaskan dari berbagai masalah yang ada, akan menjadi masukan bagi Komite I untuk merumuskan revisi UU tersebut. UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah waktunya direvisi karena telah berusia hampir 20 tahun. Banyak aturan yang sudah tidak relevan dengan berbagai persoalan terkini.
“Sebuah UU harus ter-update juga. Bisa jadi berbagai konflik agraria yang terjadi selama ini karena keterbatasan aturan. Makanya perlu revisi,” ujar Abraham.
Ketua Badan Sosialisasi MPR RI ini melihat kehadiran tata ruang sangat penting bagi suatu wilayah. Alasannya, pembentukan tata ruang yang baik, akan mempermudah proses pembangunan. Tata ruang yang baik juga mencegah terjadinya konflik agraria dan sengketa batas.
“Kalau sudah jelas daerah mana yang boleh dibangun dan mana yang tidak, itu memudahkan pengusaha berinvestasi. Mereka tidak takut digusur, tidak takut merusak alam, atau mengganggu kepentingan umum,” ujar pemilik Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang ini.
Dalam pengamatan senator yang sudah empat periode ini, praktik yang terjadi selama ini adalah adanya ketidaksinkronan antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah dengan RTRW Nasional. Kondisi ini menyebabkan tumpang-tindih pemanfaatan ruang, konflik agraria dan kesulitan dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang.
“Di Labuan Bajo ini, konflik agraria sangat banyak. Banyak terjadi sertifikat ganda, mafia tanah, konflik perebutan lahan, sengketa batas. Ini penyebab utama masalah tata ruang. Kalua tata ruang bagus, sudah jelas mana yang boleh dibangun, mana yang tidak, mana tanah ulayat dan mana yang bukan, saya yakin pasti tidak terjadi konflik,” tutur pemilik Hotel Harper Kupang ini.
Sementara Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi mengatakan persoalan rumit di Labuan Bajo selama ini adalah ada berbagai instansi lain yang memiliki otoritarisasi langsung dari pemerintah pusat. Diantaranya adalah Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) dan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF).
Kemudian ada berbagai balai atau satuan kerja (Satker) dari pemerintah pusat yang ada di Labuan Bajo seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan, Kementerian Agraria dan sebagainya. Semua memiliki kewenangan masing-masing.
“Kami tidak bisa mengatur kapal-kapal di pantai itu karena itu bukan kewenangan kami. Kami tidak bisa melarang pembangunan hotel di tengah laut karena bukan kewenangan kami. Semua dari pusat. Dan kami tidak boleh sentuh. Tetapi giliran ada sampah, kami harus menanggungnya. Giliran ada masalah, kami harus atasi. Padahal pajak tamu-tamu yang menginap di kapal tidak ada masuk ke Manggarai Barat. Ini yang sulit di sini,” ungkap Edi.
Dia berharap ada perbaikan kedepan. Kehadiran berbagai Satker atau Badan di Labuan Bajo harus bisa diatur oleh Kepala Daerah setempat. Karena yang punya wilayah adalah kepala daerah. Yang tahu masalah juga kepala daerah.
“Jangan bangun bangun negara di dalam negara di sini. Kalau itu terus terjadi, Labuan Bajo tidak akan pernah maju-maju. Masyarakat setempat hanya akan menjadi penonton terhadap pembangunan Labuan Bajo,” tutup Edi.