Ruteng, Suaranusantara.co – Yayasan Perguruan Tinggi Tunas Karya (YPTTK) Ruteng menyebut somasi yang dilakukan oleh Lucius Proja Moa melalui kuasa hukumnya dinilai tidak tepat dan salah alamat.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua YPTTK Mariyati Helsako F. Mutis melalui surat tanggapan yang diterima media ini pada Sabtu (29/3/2025).
Helsa sapaan Mariyati menjelaskan, YPTTK tidak terlibat dalam pengambilan keputusan sanksi yang diberikan kepada Lucius. Keputusan tersebut merupakan mutlak kewenangan Program Studi, Ketua dan Senat STIE Karya.
“Seluruh persoalan ini sepenuhnya adalah urusan Program Studi, Ketua dan Senat STIE Karya. Demikianpun tujuan surat keberatan saudara Lucius adalah Ketua STIE. Karena itu somasi ini tidaklah tepat ditujukan kepada YPTTK,” jelas Helsa.
Lanjut dijelaskan Helsa, hingga saat ini YPTTK belum mengeluarkan keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lucius disebut masih terdaftar sebagai dosen STIE Karya pada Program Studi Manajemen.
Helsa menambahkan, Lucius karena kesalahan dan kelalaian yang dilakukan mendapat sanksi tidak diberikan tugas mengajar. Namun tetap diberikan tugas menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi.
“Ia masih memiliki kewajiban untuk menghadiri jam kerja sesuai dengan aturan yang telah digariskan baik dalam Peraturan Kepegawaian, Kode Etik Dosen dan Surat Perjanjian Kerja Nomor 017/YPTTK/III/2024 yang telah ditandatangani oleh yang bersangkutan,” tambahnya.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Helsa, Senat Dosen STIE Karya tidak memberikan jam mengajar setelah tidak menemukan penyesalan atas kesalahan dan kelalaian yang telah dilakukan Lucius.
Lucius selanjutnya diberikan ruang oleh Senat Dosen untuk mengundurkan diri jika tidak menerima keputusan tersebut.
“Saat diberi kesempatan untuk menanggapi putusan, saudara Lucius tidak menunjukkan penyesalan dan tidak mengakui dirinya bersalah,” jelasnya.
Kesimpulan PHK yang dinyatakan kuasa hukum dalam somasi dianggap keliru. Kebijakan Senat Dosen mempersilahkan seseorang untuk mengambil keputusan bebas tanpa paksaan siapapun, tidak bisa ditafsir sebagai PHK.
“Jikalau tetap memilih sebagai karyawan YPTTK yang dipekerjakan di STIE Karya, maka saudara Lucius harus mematuhi peraturan yang berlaku di lembaga ini,” ujar Helsa.
Bantahan Terhadap Keterangan Lucius Proja Moa
Pemberian Sanksi Sesuai Tahapan dan Mekanisme
YPTTK membantah pengakuan tidak bersalah yang disampaikan Lucius Proja Moa. Bantahan tersebut, ia dasarkan pada bukti-bukti kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan.
Kesalahan dan pelanggaran yang dimaksud diantaranya tidak hadir pada jam kerja, mengganti waktu perkuliahan, bekerja pada Panwascam saat Pemilu dan mengikuti tes ASN tanpa ijin pimpinan lembaga.
YPTTK juga mengaku, sanksi yang diberikan kepada Lucius Proja Moa sudah sesuai tahapan dan mekanisme. Surat Peringatan telah diberikan sebanyak dua kali pada 18 September dan 18 Desember tahun 2023.
Peringatan juga dilakukan oleh Ketua Prodi pada 12 Desember tahun 2024 hingga dipanggil oleh Ketua STIE Karya pada 4 dan 5 Maret 2025.
Upah Kerja atau Gaji Yang Tidak Layak
Bantahan juga disampaikan pihak YPTTK terhadap klaim yang menyebut upah tidak layak yang diberikan dan tidak sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Helsa menjelaskan, semua karyawan termasuk Lucius telah menerima dan menandatangani Perjanjian Kerja Nomor 017/YPTTK/III/2024 yang diterbitkan Yayasan.
Dalam poin (a) dan pasal 3 perjanjian tersebut dijelaskan upah kerja atau gaji, tunjangan dan penghasilan lainnya diatur sesuai ketentuan yang berlaku di STIE Karya.
Ketentuan serupa juga termuat dalam poin (b) pasal yang sama yang berbunyi ‘jika ada kenaikan gaji dan honorarium dibayarkan sesuai dengan perubahan atau kenaikan gaji dan honorarium tersebut’.
Pihak YPTTK juga mengklarifikasi kesalahan informasi gaji yang disampaikan Lucius dalam keterangannya.
Dijelaskan, unsur gaji terdiri dari gaji pokok, tunjangan dan honor mengajar. YPTTK mengakui gaji pokok yang diberikan hanya Rp. 600.000,00. Hal tersebut dikarenakan lembaga STIE Karya baru bertumbuh dan jumlah mahasiswa masih terbatas.
Lebih lanjut, honor mengajar pada kampus STIE Karya adalah Rp. 50.000,00 per SKS. Lucius disebut pernah mengajar 12 SKS dan diperkirakan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2.400.000,00 apabila rajin mengikuti kegiatan perkuliahan.
“Jikalau ditambah dengan gaji pokok maka ia memperoleh gaji sebesar Rp. 3.000.000,00 per bulannya,” terang Helsa.
Helsa juga menerangkan, dalam laporan keuangan, Lucius pernah menerima gaji Rp. 3.700.000,00. Jumlah gaji belum termasuk honorarium seperti UTS, UAS, Wisuda, Skripsi, KKN dan lainnya.
Intervensi Yayasan Dalam Kegiatan Akademik Kampus
YPTTK juga membantah penilaian sepihak Lucius tentang perubahan iklim kerja yang terjadi karena peralihan pimpinan dan intervensi Yayasan dalam kegiatan akademik kampus.
Helsa menjelaskan keterlibatan dirinya dalam aktivitas kampus bertujuan untuk membangun kondisi kerja yang kondusif.
Kehadirannya dalam rapat tertentu juga merupakan upaya kolaborasi dan bentuk tanggung jawab untuk memperkuat dan meneguhkan civitas STIE Karya.
“Kerja kolaboratif ini terbukti produktif karena dua instansi ini berjalan seiring-sejalan. Saya sangat paham batasan dalam kegiatan kampus terlebih khusus yang berkaitan dengan hal-hal akademik,” terang Helsa.
BPJS Ketenagakerjaan dan Pembayaran THR
Helsa menjelaskan, pihaknya memiliki Surat Perjanjian Kerja (SPK) yang ditandatangani oleh seluruh karyawan.
Salah satu aturan yang termuat dalam SPK tersebut adalah tentang BPJS kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Dalam pasal 3 poin (c) SPK nomor 017/YPTTK/III/2024 dinyatakan, yayasan dan karyawan masing-masing bersepakat menanggung 50 persen pembayaran iuran BPJS.
Dijelaskan oleh Helsa, terbatasnya kemampuan keuangan yayasan menyebabkan layanan tersebut belum bisa dilaksanakan.
Namun ia mengaku sudah mendiskusikan kerjasama dengan pihak BPJS Labuan Bajo. Sebagian karyawan juga telah secara mandiri mengikuti BPJS Ketenagakerjaan.
“Kondisi keuangan yayasan masih terbatas. Layanan ini belum dilaksanakan, tidak hanya untuk Lucius tetapi juga untuk semua karyawan,” jelasnya.
Keterangan Lucius perihal Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak dibayar juga dibantah oleh Pihak YPTTK. Semua karyawan disebut telah menerima THR dalam bentuk barang atau uang.
Kemampuan keuangan lembaga yang terbatas diakui oleh Helsa, THR yang diberikan kepada karyawan belum mencapai jumlah sebesar gaji. Kondisi tersebut telah disepakati oleh semua karyawan, termasuk Lucius.
Pemberian Sanksi
Helsa menjelaskan, sanksi yang diberikan kepada Lucius sudah sesuai dengan SPK Nomor 17/YPTTK/III/2024. Aturan tersebut disepakati oleh semua karyawan termasuk Lucius yang masih terikat kontrak kerja dengan YPTTK.
“Pihak Kesatu dapat menjatuhkan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa pesangon kepada Pihak Kedua apabila melanggar enam poin yang termuat dalam perjanjian”, jelas Helsa mengutip bunyi Pasal 7 dalam SPK tersebut.
Kendati telah terbukti melanggar aturan yang telah disepakati, pihak YPTTK memberikan dispensasi kewajiban pemecatan otomatis.
Lucius tetap diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dosen dan tidak menerima sanksi PHK.
Pemenuhan Hak Normatif
Tuntutan pemenuhan hak normatif yang diajukan Lucius melalui kuasa hukumnya juga ditolak oleh pihak YPTTK.
Tuntutan pemenuhan hak normatif yang diajukan Lucius melalui somasi juga dinilai tidak berdasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada keputusan PHK yang dilakukan YPTTK.
“Sampai 28 Maret 2025, YPTTK belum memutuskan hubungan kerja dengan Lucius. Karena itu, kami menilai tuntutan membayar yang dimuat dalam somasi tidak berdasar,” jelasnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah melalui sambungan WhatsApp, kuasa hukum Lucius, Melkhior Judiwan, SH. MH enggan memberikan komentar lebih terhadap tanggapan pihak YPTTK.
Melkhi menyebut surat tanggapan yang disampaikan pihak YPTTK tidak sesuai prosedur. Ia mengaku akan melanjutkan proses ini ke tahapan selanjutnya.
“Tidak penting bagi saya untuk menanggapi surat mereka. Tidak sesuai prosedur, somasi saya dibalas dengan surat tanggapan seperti demikian,” jawab Melkhi melalui pesan WhatsApp pada Minggu (30/3/2025).
Penulis: Patris Agat